DUA anjing pelacak Mabes Polri, Kuax dan Jakaria, untuk pertama kalinya akan mendapat penghargaan "Bintang Sidik Saksi" dari Kapolri. Mereka dianggap berhasil memberi petunjuk berharga, sehingga polisi bisa mengungkap misteri di balik ditemukannya mayat terpotong enam di Sukabumi. "Saya sudah memerintahkan aar membuat bintang penghargaan kepada anjing-anjing itu, dan didesain agar piagam itu dapat dikalungkan pada leher satwa-satwa tersebut," kata Kapolri Jenderal Pol. Drs. Sanoesi pekan lalu. Berkat jasa kedua hewan itu, polisi menemukan titik terang dalam kasus mayat terpotong enam, yang ditemukan 18 Mei lalu di Kali Cimandiri. Kedua anjing tersebut menemukan noda darah dan golok yang diduga dipakai memotong mayat korban. Hanya saja, hingga Senin pekan ini polisi masih belum bisa menentukan identitas korban. Meski begitu, pihak Polda Jawa Barat pekan lalu telah menahan dua orang tersangka, yaitu Nyonya 0tih, seorang dukun beranak dari Kampung Cirampo, dan seorang guru SD di kampung itu, Ujang. Kedua orang itu dianggap polisi terlibat pembunuhan atas wanita yang sedang hamil lima bulan tersebut. Menurut sumber TEMPO, otak kejahatan itu diduga seorang oknum ABRI. Jakaria dan Kuaxlah yang membawa pengusutan polisi ke arah itu. Mula-muia, pada 28 Mei lalu, polisi menurunkan Jakaria, yang keturunan Labrados. Dipawangi Sersan Satu Sumadi, Jakaria disuruh mengendus tumpukan batu di pinggir tanggul Kampung Cirampo. "Anjing itu melacak arah dari mana dan ke mana sisa darah itu berawal dan berakhir," kata Kepala Bagian Operasi Subdit Satwa Direktorat Samapta Polri, Letkol. Sapari Saputra. Setelah dilacak sekitar satu kilometer noda darah itu ternyata mengarah dan bermula di sekolah SD Cirampo. Di samping sekolah itulah Pak Guru Ujang, 24 tahun, yang masih bujangan, menetap. Jakaria menemukan noda darah pertama di halaman kebunnya. Ketika Ujang ditanyai polisi, guru itu menjelaskan, "Itu darah burung bekas disembelih." Tapi Jakaria tak berhenti di situ. Anjing itu menemukan pula noda darah di dinding tembok dan lantai bangunan SD Cirampo -- sekitar 15 meter dari rumah Ujang. Polisi mengambil contoh darah tersebut untuk diperiksa di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, dan sebagian lagi dikirim ke Laboratorium Kriminal Mabes Polridi Jakarta. Hasil penelitian di RSHS ternyata positif. "Noda itu bukan darah burung, tapi darah manusia. Dan sama dengan darah korban, AB," ujar sumber TEMPO di RSHS Bandung. Berdasar itu, polisi mendapat titik terang. "Misteri mayat terpotong di Sukabumi sudah 90 persen tersingkap," ujar seorang polisi yang enggan disebutkan namanya. Sejak itu, 1 Juni lalu, Ujang ditangkap Polres Sukabumi. Dan sejak itu pula tugas Jakaria digantikan Kuax, dengan pawang Kopral Satu Kasiran. Tak kalah gesit dengan Jakaria, anjing Herder itu menemukan pula barang bukti berupa golok diduga yang digunakan memotong korban -- di rumah Ujang. Kepada penyidik, Ujang mengatakan barang itu milik seorang tukang jagal. Mengapa berada di rumahnya, dan ke mana pemiliknya, belum jelas. Tapi, "Penemuan ini memperkuat dugaan semula bahwa Cirampo itu TKP utama," kata seorang anggota tim anjing pelacak. TKP adalah tempat kejadian perkara. Ujang pun diperiksa intensif. Akhirnya, kepada penyidik Ujang menyebut nama Otih. Maka, dukun beranak berumur 60 tahun itu diciduk. Selain mengusut Ujang, polisi juga mengorek keterangan dari warga Cirampo. Warga, kata polisi, selama ini lebih memilih tutup mulut. Untuk itu, menurut polisi dari Polsek Cikembar, "Saya terpaksa main ini ...," ujarnya sambil memperagakan cara menempeleng. Kalau tidak begitu, jangan harap mereka membuka mulut. Sebab, Nyonya Otih itu termasuk tokoh yang disegani, dan sebagian warga Cirampo masih bertalian darah dengannya. Beberapa warga yang dihubungi TEMPO membenarkan dukun beranak itu kondang ke mana-mana. "Kehebatan Otih menggugurkan kandungan memang mujarab. Jabang bayi yang berumur 5--6 bulan masih bisa digugurkannya," kata seorang warga. Sumber lain lagi menuturkan bahwa pemotongan mayat itu menyangkut nama seorang oknum ABRI. "Saya tahu semuanya, tapi saya takut dijadikan saksi," ujarnya kepada TEMPO . Masih menurut sumber TEMPO, pembunuhan itu akibat usaha pengguran kandungan korban. Tapi kali ini Otih gagal, dan malah berbuntut kematian korban. Untuk menghilangkan jejak, tubuh wanita setinggi sekitar 160 sentimeter, yang herbibir tipis dan berambut ikal potong pendek, itu dipotong-potong. Pemotongan diduga dilakukan oleh lebih dari seorang. Bagian tubuh yang dipotong adalah: kepala, badan, tangan, dan kaki. Hidung wanita itu juga dipapras. Setelah itu, potongan mayat dihanyutkan ke Kali Cimandiri. Sebagian di antara potongan itu, juga rok kulot cokelat, sepatu kanvas cokelat bertali warna merah milik korban, ditemukan penduduk. Dari hasil visum, diperoleh kepastian: golongan darahnya AB, umur 18-28 tahun. Ciri khusus yang diharapkan menguak siapa korban adalah: tahi lalat sebesar 4 x 7 sentimeter pada bagian punggung kanan bawah. "Tahi lalat itu termasuk jarang. Jadi, kami berharap ada anggota keluarganya yang mengenali," kata Kadit Serse Polda Jawa Barat, Kolonel Drs. I Ketut Astawa. Namun, dari 16 orang yang melapor kehilangan keluarganya, tak satu pun yang mengenali tubuh korban. Benarkah Ujang dan Otih terlibat? Polisi memang belum memberi keterangan secara resmi. Kapolres Sukabumi Letkol. Drs. Maman Sulaeman menolak segala konfirmasi dari wartawan. "Tak ada keterangan dari saya," katanya halus. Sementara itu, baik Kapolda Jawa Barat Mayor Jenderal Drs. Sidharto maupun Kadit Serse Polda Jawa Barat Kolonel Drs. I Ketut Astawa memilih diam. Tampaknya, PR -- pekerjaan rumah -- Polda Ja-Bar masih akan memakan waktu lebih lama.Widi Yarmanto, Riza Sofyat dan Hedy Susanto (Biro Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini