SUATU kali Haji J.C. Princen dari Lembaga Hak-Hak Asasi Manusia secara terbuka menyebut kewenangan menahan sering dipergunakan jaksa sebagai "penyanderaan terselubung". Yaitu menyekap si tersangka dengan maksud memerasnya atau menekannya untuk membereskan suatu perkara hutang-piutang. Di rumah tahanan di Bogor saja, kata Princen, dari 140 orang tahanan ada 50 di antaranya disekap hanya untuk urusan perdata. Berpangkal dari pernyataan Princen itu kemudian Kejaksaan Agung menindak dua orang pejabat di Kejaksaan Negeri Bogor belum lama ini. Dari kritik pedas dan sorotan tajam, "bahkan kadang-kadang terlalu kejam," menurut Jaksa Agung Ali Said SH ketika menyambut HUT Kejaksaan 22 Juli lalu, korps kejaksaan harus dapat mengambil "mutiara dan hikmahnya". Pun dari beberapa (dari yang mungkin banyak) kejadian seperti berikut ini. Nadrah: Rp 10.000. Hanya dengan selembar uang Rp 10 ribuan saja Nadrah Hasyim (26 tahun) tukang jahit di Tanjung Balai di Sumatera Utara, berhasil menjebak seorang jaksa. Belum lama ini, 3 Juli lalu, adrah membuat pengaduan ke Kejakaan Agung: menuduh Jaksa Msd dari iejaksaan Negeri Kisaran telah memerasnya. Surat tembusannya dikirim juga kepada Kepala Kejaksaan Negeri Kisaran, Jaksa Tinggi Medan dan tak lupa tentu saja ke Opstib Pusat di Jakarta. Nadrah punya urusan dengan kawannya, Nuraini alias Nunung, anak Yusuf. Nunung, menurut Nadrah, pernah meminjam barang perhiasan emas berupa kalung, gelang dan mainan kepadanya yang waktu itu (1978) ditaksir seharga Rp130 ribu. Hampir setahun urusan pinjaman ini terkatung-katung. Sebab, menurut cerita Nadrah, ternyata Nunung telah menggadaikan barang-barang itu kepada janda Boru Tobing untuk memperoleh pinjaman Rp 50 ribu. Nadrah bermaksud menebusnya. Tapi Boru Tobing, rupanya rentenir, dengan alasan tertentu telah menjual barang gadaiannya. Dengan dalih merasa tertipu dan digelapkan barang perhiasannya, Januari lalu Nadrah mengadu ke polisi. Tapi ternyata Kepolisian Resort 206 Asahan maupun Kodak II Sumatera Utara tak menggarap pengaduan Nadrah sebagaimana mestinya. Kemudian Nadrah mengadu ke kejaksaan. Ada juga hasilnya. Tak lama! dia mendapat panggilan untuk menghadiri sidang pengadilan yang sedianya akan diadakan 28 Juni. Tapi pada hari yang ditentukan, tak satupun dari ketiga terdakwa, yaitu Nunung, ayahnya, maupun Boru Tobing muncul di pengadilan. Hakim mengundurkan persidangan sampai 5 Juli berikutnya. Ketika itulah Nadrah diundang Jaksa SK untuk bicara di kantor Kejaksaan Negeri Kisaran. Di situ, menurut Nadrah, SK hanya menyampaikan pesan Jaksa Msd --penuntut umum perkaranya: sidang perkara Nunung dkk baru akan berjalan bila Nadrah bersedia memberikan semacam uang pelicin Rp 20 ribu. Nadrah sungguh kecewa. "Sudah kehilangan barang, dimintai uang lagi," keluhnya. Tapi berkat nasehat seorang kenalan, akhirnya Nadrah memenuhi permintaan SK. Maksudnya tak lain hendak menjebak jaksa sebagai pemeras. Bersama John Hendra, yang hendak dihadirkan sebagai saksi, Nadrah menyerahkan lembaran Rp 10 ribuan dalam amplop putih kepada SK. Nomor seri uang kertas tersebut sebelumnya telah dicatat. Jebakan meleset. Sebab setelah diketahuinya uang yang disodorkan Nadrah kurang dari yang diminta, SK menganjurkan agar uang tersebut diserahkan langsung saja ke tangan Jaksa Msd. Kali ini perangkap mengena. Hari itu juga, 3 Juli, merasa punya bukti yang cukup Nadrah lantas saja membuat pengaduan ke Kejaksaan Agung. Tapi hingga kini Nadrah belum tahu lagi apa hasil pengaduannya. "Wah, saya belum tahu ceritanya," kata Kepala Kejaksaan Negeri Kisaran, Oon Subandria, kepada Amran Nasution dari TEMPO. Soalnya pejabat ini memang baru saja kembali dari cuti. Tapi jika laporan Nadrah benar, katanya oknum kejaksaan itu pasti akan merasakan akibatnya. "Kalau ada buktinya, tak bisa ditolelir, orang begitu (oknum SK dan Msd - red) mesti out!" sentak Oon. Ruslan & Boeran: klop. Masih cerita dari Sumatera Utara. Hingga 6 Juni lalu Ruslan alias Inim (17 tahun telah menjalani masa penahanan setahun kurang 14 hari. Bagi Hakim Parluhutan Siregar SH, dari Pengadilan Negeri Tebing Tinggi (Deli), 'tak sukar' menentukan hukuman bagi pencuri kecil tersebut: 1 tahun kurang 14 hari penjara potong tahanan -- klop dengan masa tahanan. Jadi Ruslan segera bebas. Ruslan sebenarnya untung. Sebab tanpa bantuan seorang jaksa kenalan ayahnya, belum tentu ia bisa keluar dari rumah tahanan secepat sekarang. Coba saja berkas perkaranya tak dapat ditemui di kantor kejaksaan maupun pengadilan. Bersama Boeran (18 tahun), teman sepencurian, tahun lalu Ruslan ditangkap dan ditahan dengan tuduhan membongkar sebuah kedai dan mengambil lima bungkus rokok, susu, ikan kaleng dan beberapa botol minuman. Omset kejahatan mereka sekitar Rp 10 ribu. Boeran segera tertangkap. Ruslan menyusul sebulan berikutnya. Tiga bulan kemudian, 15 Nopember tahun lalu, Boeran bebas: karena ia dihukum persis selama masa tahanannya. Dan lagi untuk menyidangkan perkara terdakwa ini, hakim tak perlu repot-repot: jaksa toh tidak mengajukan saksi atau barang bukti apapun. Nasib Ruslan lebih payah dari rekannya. Selama berbulan-bulan dia mendekam dalam tahanan -- tanpa surat penahanan yang sah dan tahu kapan perkaranya akan dibereskan. Seorang jaksa kenalan ayah Ruslan, untung memperhatikan keadaannya. Berkali-kali jaksa ini menanyakan perkara Ruslan, jawab pejabat Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam tetap: "Berkas perkara sudah dikirim ke Pengadilan Negeri Tebing Tinggi dan tinggal menunggu penetapan hari sidang." Menurut buku ekspedisi, berkas telah dikirim ke pengadilan sejak Juni 978. Tapi pengadilan tak tahu menahu. Setelah koran Medan memberitakan tentang penahanan Ruslan, kejaksaan terpaksa meminta salinan berita acara pemeriksaan polisi untuk diteruskan ke pengadilan. Dalam waktu singkat dan sekali sidang singkat, 6 Juni lalu, pengadilan membebaskan Ruslan dari penahanan semena-mena. Tak beda dengan pengadilan Boeran yang berlangsung beberapa bulan sebelumnya, perkara Ruslan juga sampai ke muka hakim tanpa saksi maupun barang bukti. Hakim Parluhutan Siregar menanyakan kesediaan tertuduh diadili tanpa itu semua. Ruslan yang sudah ingin bebas tak peduli lagi. Dari sumber di Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam, Nian Poloan dari TEMPO mendapat keterangan, tak hanya Ruslan yang mengalami nasib demikian. Ada beberapa tahanan yang mengalami keterlambatan sidang. Sebab menurut Kepala Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam. Tubagus Kamaruddin SH, perkara harus berjalan 60 km dari tempat asalnya untuk mencapai pengadilan di Tebing Tinggi. La Yai & Yang Lari. Hanjoyo Putro SH, pengacara dari Tg. Pinang (Riau), punya kritik bagi kejaksaan: prinsip penahanan dilakukan semata-mata demi kepentingan pemeriksaan, "sering berubah menjadi: setiap tersangka harus ditahan." Beberapa orang kliennya mengalami perlakuan begitu. Seorang terlibat sengketa tanah. Jaksa mengurusnya sebagai perkara pidana, walaupun sebenarnya sejak semula diketahui sebagai perkara perdata. Buktinya, menurut Hanjoyo, setelah melakukan penahanan 20 hari jaksa melepaskan tersangka. "Dan perkaranya dianggap tak pernah ada --- apa itu bukan kesewenang-wenangan?" ujar pengacara ini kepada Rida K Liamsi dari TEMPO. La Yai, seorang penduduk Bangka, malah pernah ditahan setahun penuh karena dituduh sebagai penyelundup timah. Kalau saja pengadilan tidak enggan memperpanjang izin penahanannya sehingga kejaksaan terpaksa segera memproses perkaranya, mungkin La Yai masih harus mendekam di penjara entah sampai kapan. Sebab belakangan terbukti La Yai bukan seorang yang harus disangka sebagai penyelundup. Rupanya petugas salah tangkap. Tapi penahanan terhadap nelayan asing, yang dapat dirasakan sewenang-wenang menurut Kepala Bagian Operasi Kejari Tanjung Pinang, Andana, sulit dihindari. "Mereka ini, walaupun sudah ditahan lebih dari tiga bulan, sulit diberi tahanan luar -- tak ada jaminan, salah-salah bisa kabur," kata Andana. Pernah terjadi beberapa terdakwa kabur, ketika sidang pengadilan masih berlangsung. Jadi menurut Andana, "sepanjang pengadilan mengizinkan perpanjangan tahanan, prosedur itu kami tempuh." Bersamaan dengan berita ada dua oknum Kejaksaan Tinggi Jawa Timur menganiaya pesakitannya (EL), seorang nyonya di Madiun menuduh diperas seorang jaksa. Nyonya Ang Hong Hie cukup ternama di kalangan isteri pegawai pabrik gula di Madiun. Di samping membandari arisan nyonya-nyonya pabrik, (sekitar 34 orang), Nyonya Ang yang juragan pabrik minuman temulawak ini juga menerima "titipan" uang dari kenalannya. Dia menyediakan "pembagian keuntungan" 4% sebulan bagi penitipnya. Mula-mula semuanya beres: pabrik minuman temulawak "Lancar", arisan dan pengembalian bunga uang titipan semua lancar. Tapi belakangan, sekitar awal 1979, pabrik "Lancar" seret. Bisnisnya dengan nyonya-nyonya pabrik jadi mandeg -- bunga uang yang dititipkan kepadanya tak terbayarkan sampai berbulan-bulan. Mekanisme arisan terganggu. Tak begitu jelas berapa banyak tangungan Nyonya Ang terhadap relasinya. Tapi menurut pengacaranya, Marhaban Zainun SH dari Yogya, urusan Nyonya Ang masih dalam lingkup tanggungjawab perdata saja. Tapi sebelum didampingi penasehat hukumnya, Nyonya Ang sudah berurusan dengan kejaksaan. Rupanya setelah melihat ketidakmampuan membayar bunga uang titipan, mereka melaporkan bandar arisan Ang ke Kejaksaan Negeri Madiun. Tentu saja sebagai perkara pidana. Tanpa surat perintah penahanan apapun, 26 Maret lalu, tiga orang oknum kejaksaan mengambil Nyonya Ang dari rumahnya dan langsung menjebloskannya ke dalam sel. Tiga hari di sana Nyonya Ang terus dititipkan di penjara Madiun. Dalam pada itu, hampir sebulan ditahan, Nyonya Ang tak memungkiri ada berhutang kepada para pengadunya. Bukan tak mau bayar. Hanya minta waktu sampai merasa mampu melunasinya. Jaksa pemeriksa, AAGR SH, agaknya nemaklumi juga pesakitannya hanya dapat diurus secara perdata saja. Tapi untuk membebaskannya dari tahanan, menurut cerita Nyonya Ang sendiri, jaksa itu minta "uang buka pintu". Nyonya Ang sendiri menyanggupi sampai jumlah Rp 5 juta. Tapi suaminya, yang sudah dilanda krisis kepercayaan dari relasi, ternyata tak dapat mengumpulkan uang yang dibutuhkan isterinya. Melihat betapa alotnya "tersangka" satu ini, begitu cerita Nyonya Ang selanjutnya, Jaksa AAGR menurunkan permintaannya sampai Rp 500 ribu. Atau "berapa sajalah", desak AAGR menurut penuturan Nyonya Ang. Yang didesak tetap main mundur mengulur waktu. Apalagi setelah suaminya di luar dapat menghubungi pengacara yang menasehatinya agar tak usah mengeluarkan sepeserpun bagi oknum kejaksaan. Berkat pengacara Marhaban Zainun, tak sampai sebulan Nyonya Ang mendekam dalam tahanan. Perkara hutang-piutang atau uang titipan yang dicoba dipidanakan oleh kejaksaan, sampai Juni lalu belum ada tanda-tanda dilimpahkan ke pengadilan. Tapi terhadap Jaksa AAGR, yang dituduh pernah mencoba memeras Nyonya Ang, perkara agaknya akan berbuntut. Kewajiban Jaksa AAGR tak hendak berpanjang kata. Urusan, katanya, "saya serahkan kepada atasan -- kalau saya bicara nanti salah lagi." Sedangkan Kepala Kejaksaan Negeri Madiun, Abdul Jalal SH, seperti diduga, berkata: "Ya, kalau memang salah nanti kita tindak!" Kejaksaan Tinggi Jawa Timur sudah menurunkan Jaksa Syaf Effendy SH unruk memeriksa baik AAGR maupun Nyonya Ang. Apa hasilnya, Syaf belum menjelaskan. Tapi menurut seorang pejabat kejaksaan di Surabaya, AAGR membantah memeras Nyonya Ang. Bicara soal uang Rp 5 juta, katanya, itu ada hubungannya dengan kewajiban Nyonya Ang membayar hutang-hutangnya Mengapa kejaksaan yang mengurus soal hutang-piutang? Itulah .... Menurut pejabat kejaksaan tadi, dalam berita acara pemeriksaan, ternyata Nyonya Ang juga membantah pernah menuduh AAGR memerasnya. Mana yang benar? "Saya tetap berpegang pada keterangan saya, bahwa jaksa pernah minta uang supaya saya dapat keluar dari tahanan," kata Nyonya Ang kepada Latief Sunaryo dari TEMPO. Pernyataan demikian juga dibuat oleh Nyonya Ang, suami dan anaknya secara tertulis di muka notaris. Ketika Syaf Effendy menanyainya tentang hal itu katanya dia menjawab tegas benar! Tapi entah kenapa, katanya lagi, lain yang diucapkannya lain pula yang ditulis dalam berita acara -- yang, katanya pula, terpaksa ditandatanganinya karena "takut tidak bisa segera pulang".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini