Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengapa Kekerasan oleh Aparat Negara Terus BeruIang?

Penggunaan kekerasan yang sewenang-wenang oleh aparat keamanan terus berulang. Pengawasan negara masih minim.

15 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah polisi bersiaga saat simulasi sistem pengamanan kota (Sispamkota) di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Surabaya, Surabaya, Jawa Timur, 14 Agustus 2024. ANTARA/Didik Suhartono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus kekerasan yang dilakukan aparat keamanan terus terjadi.

  • Praktik kekerasan oleh aparat keamanan terjadi karena lunturnya profesionalitas.

  • Cara-cara menggunakan kekerasan seharusnya sudah tidak digunakan lagi dalam proses penegakan hukum.

KOMISI untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) baru-baru ini merilis data tentang kekerasan oleh aparat negara. Selama periode Juni 2023 hingga Mei 2024, Kontras setidaknya memantau 60 peristiwa dengan jumlah korban 92 orang, yang 18 di antaranya meninggal. "Angka tersebut lebih tinggi dibanding periode sebelumnya, yakni 54 peristiwa,'' kata Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy, Senin, 12 Agustus 2024. “Ini menunjukkan bahwa komitmen Indonesia terhadap penghapusan penyiksaan masih sangat minim.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Andi, praktik kekerasan oleh aparat keamanan itu seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah. Pada periode Mei-Agustus 2024, Kontras memberi perhatian khusus pada tiga kasus penyiksaan yang terjadi di Padang, Sumatera Barat; Medan, Sumatera Utara; dan Klungkung, Bali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk kasus di Padang, korbannya adalah kematian Afif Maulana, 13 tahun. Bocah itu diduga tewas dianiaya oleh polisi yang sedang menangani masalah tawuran. Sedangkan di Medan, korban bernama Mikael H. Sitanggang, yang diduga dianiaya anggota TNI. Adapun di Bali, polisi diduga menganiaya I Wayan Suparta, seorang pengusaha mobil rental.

Penggunaan kekerasan yang sewenang-wenang oleh aparat keamanan itu terus berulang karena tidak ada sanksi yang tegas terhadap para pelanggar aturan. Bahkan tidak jarang mereka lolos dari jerat hukum. “Jika pun diproses, hukumannya sangat ringan dan terbatas pada sanksi etik atau disiplin,” tutur Andi. “Ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk melindungi sesama aparat.”

Warga Rempang menggelar aksi di Jakarta, 14 Agustus 2024. TEMPO/Subekti

Kondisi ini menunjukkan kegagalan sistemik dalam penegakan hukum di Indonesia. Alih-alih melindungi hak-hak warga, aparat penegak hukum justru menjadi ancaman terbesar dalam pemenuhan hak-hak tersebut. “Bagi kami, ini bukan hanya masalah hukum, tapi juga masalah kemanusiaan dan keadilan,” ucap Andi.

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mengatakan aparat keamanan memang diizinkan menggunakan kekerasan atas nama negara. “Tapi kekerasan ini hanya diperbolehkan sebagai pilihan terakhir dalam upaya keamanan dan ketertiban masyarakat,” kata Bambang, 14 Agustus 2024. “Permasalahannya, kekerasan justru menjadi pilihan utama dibanding pilihan-pilihan lain yang lebih humanis.”

Khusus untuk institusi kepolisian, kata Bambang, sebenarnya sudah ada aturan yang secara khusus melarang penggunaan kekerasan. Larangan itu antara lain diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Peraturan Kapolri Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengawasan Operasi Kepolisian.

Bambang mengutip buku karya Hannah Arendt berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on The Banality of Evil. Dalam buku itu disebutkan bahwa kejahatan terjadi karena kebanalan atau kedangkalan berpikir, yakni ketidakmampuan untuk mencari solusi yang lebih manusiawi. “Ini terkait dengan kompetensi personel yang masih belum mumpuni,” ujarnya.

Integritas personel, kata Bambang, meliputi sistem kontrol dan pengawasan yang ketat. Persoalan ini berhubungan dengan sistem politik. Di dalam sistem politik yang mengarah pada otoritarianisme, kultur kekerasan justru akan menguat. “Kekerasan dimanfaatkan oleh rezim politik tertentu sebagai alat untuk mempertahankan atau mengekspansi kekuasaan.”

Pakar psikologi forensik Reza Indragiri mengatakan cara-cara kekerasan dalam bentuk penganiayaan dan sejenisnya seharusnya sudah tidak digunakan lagi dalam proses penegakan hukum. Apalagi Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Antipenyiksaan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia).

Berdasarkan konvensi tersebut, kasus penyiksaan yang tetap marak bisa dipahami sebagai kegagalan negara dalam mengedukasi dan membangun sistem pencegahan. Negara juga belum serius memperlakukan pelaku penyiksaan sebagai pelanggar hak asasi manusia.

Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso berpendapat, pada institusi kepolisian, praktik kekerasan biasa terjadi untuk mengejar pengakuan dari orang yang diduga melakukan tindak pidana. Padahal cara ini jelas tidak mencerminkan profesionalitas kepolisian. Mereka memaksakan penyelesaian kasus dengan cepat dan mengabaikan metode scientific crime investigation. “Ini terlihat dalam kasus kematian pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon serta kasus klitih yang terjadi di Yogyakarta,” katanya.

Wakil Koordinator KontraS Andi Muhammad Rezaldy (kanan) bersama TIM KontraS saat memberikan keterangan pers terkait Situasi Penyiksaan 2024 di Kantor KontraS, Jakarta, 12 Agustus 2024. TEMPO/Subekti

Bentuk kekerasan lain yang digunakan kepolisian sering terjadi dalam penanganan aksi massa. Polisi yang seharusnya bertugas menegakkan hukum justru lebih sering menjadi alat bagi pihak-pihak tertentu. “Sehingga polisi tidak ada bedanya dengan centeng yang bekerja untuk pemodal, seperti dalam kasus Rempang serta kasus konflik tanah di beberapa tempat di Indonesia,” ucap Sugeng.

Menurut ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, kultur kekerasan di institusi penegak hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Di antaranya kurangnya kesadaran aparat penegak hukum atas tugas utama mereka sebagai pelindung masyarakat. “Sikapnya sering kali arogan terhadap masyarakat, padahal gaji mereka sepenuhnya dibayar oleh masyarakat melalui pajak,” ujarnya.

Tempo berupaya meminta tanggapan dari Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko perihal data yang disampaikan Kontras itu. Namun, hingga semalam, ia tidak menjawab telepon maupun pesan pendek yang dikirim ke telepon selulernya. Begitu juga dengan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Abdul Karim.

Adapun Mayor Jenderal R. Nugraha Gumilar menolak untuk memberikan tanggapan karena sudah tak menjabat Kepala Pusat Penerangan TNI. Penggantinya, Brigadir Jendral Heriyanto, tidak bersedia memberikan pernyataan karena masih merangkap jabatan di Papua.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus