Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mungkinkah Seorang Difabel Melakukan Kekerasan Seksual?

Seorang difabel menjadi tersangka kasus kekerasan seksual. Jumlah korban mencapai 15 orang.

12 Desember 2024 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang difabel di NTB menjadi tersangka kasus kekerasan seksual.

  • Jumlah korban mencapai 15 orang yang semuanya perempuan.

  • Keberpihakan terhadap korban penting dalam penanganan kasus kekerasan seksual.

HALO, rekan-rekan Klinik Hukum Perempuan. Saya ingin bertanya tentang kasus kekerasan seksual di Nusa Tenggara Barat yang diduga dilakukan oleh seorang laki-laki difabel. Dalam pemberitaan disebutkan bahwa laki-laki tersebut tidak memiliki lengan sehingga saya bertanya-tanya, bagaimana kekerasan seksual bisa terjadi, sedangkan orang yang diduga sebagai pelaku memiliki keterbatasan fisik? Apakah dia bisa diproses secara hukum?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terima kasih.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Zara
Jakarta



Jawaban Tutut Tarida, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender:

Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Kita baru memperingati Hari Disabilitas Internasional pada 3 Desember 2024. Peringatan ini masih satu rangkaian dengan kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan.

Difabel memang rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi. Namun baru-baru ini kita justru dikejutkan oleh berita tentang kekerasan seksual yang diduga pelakunya seorang difabel. Berdasarkan sejumlah pemberitaan, jumlah korban dikabarkan mencapai 15 orang yang semuanya perempuan. Bahkan beberapa korban disebutkan masih anak-anak. Kasus ini seperti ingin menguji keberpihakan kita terhadap korban kekerasan seksual. Mengapa demikian?

Polisi telah menetapkan IWAS alias AG sebagai tersangka dalam dugaan kekerasan seksual ini. Untuk membela diri, AG selalu memberikan narasi yang menonjolkan kekurangan fisiknya. Kalimat yang berulang kali diucapkannya adalah, “Tidak mungkin saya melakukan kekerasan seksual, sementara saya enggak bisa buka celana sendiri, enggak bisa buka baju sendiri. Semua masih dibantu oleh ibu saya.”

Narasi itu secara konsisten ia sampaikan kepada penyidik dan jurnalis. Narasi ini pula yang belakangan membangun persepsi masyarakat untuk tidak mempercayai sangkaan terhadap AG. Paling tidak, persepsi masyarakat itu terwakili oleh kalimat, “Mana mungkin AG bisa melakukan kekerasan seksual, sedangkan dia tidak memiliki lengan”. 

Persepsi yang muncul di masyarakat menggambarkan dua hal. Pertama, menihilkan potensi difabel menjadi pelaku kekerasan seksual. Kedua, mempersempit bentuk kekerasan seksual.

Di Indonesia, mayoritas difabel hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan miskin. Kondisi itu terjadi karena adanya pembatasan, hambatan, kesulitan, dan pengurangan atau penghilangan hak difabel. 

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berupaya mewujudkan kesamaan hak dan kesempatan bagi difabel agar bisa hidup sejahtera, mandiri, serta tanpa diskriminasi. Adapun, berdasarkan Pasal 4 UU Nomor 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas dibedakan atas sejumlah kondisi, yaitu:

a. Difabel fisik: terganggunya fungsi gerak yang antara lain disebabkan oleh amputasi, lumpuh layuh, atau kaku, paraplegia, cerebral palsy, stroke, dan kusta.

b. Difabel intelektual: terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain lambat belajar, disabilitas grahita, dan sindrom Down.

c. Difabel mental: terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain psikososial, di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, ansietas, serta gangguan kepribadian dan disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis serta hiperaktif.

d. Difabel sensorik: terganggunya salah satu fungsi pancaindera, antara lain disabilitas netra, disabilitas rungu, dan/atau disabilitas wicara.

Kondisi disabilitas bisa dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh tenaga medis. Difabel ganda atau multi adalah penyandang disabilitas yang mempunyai dua atau lebih ragam difabilitas, antara lain difabilitas rungu wicara dan difabilitas netra. 

Lalu, bagaimana jika seorang difabel diduga melakukan tindak pidana? Apakah mereka bertanggung jawab atas perbuatannya?

Berdasarkan Pasal 35 UU Nomor 8 Tahun 2016, proses pidana bagi difabel dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum acara pidana yang berlaku. Namun, untuk difabel, perlu dilihat kondisi difabilitas apa yang disandang sehingga dapat ditentukan pertanggungjawaban pidananya.

Merujuk pada kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh AG (belum terkonfirmasi apakah kondisi difabilitas yang dialaminya bersifat tunggal, ganda, atau multi), kasus tersebut tetap dapat diproses atas perbuatan yang dilaporkan oleh korban. Dengan kata lain, AG tidak dikecualikan dari jerat pidana. Hanya, perlu diperhatikan bahwa proses hukum harus tetap memperhatikan hak difabel yang berhadapan dengan hukum.

Difabel Berhadapan dengan Hukum

Pemerintah wajib menyediakan bantuan hukum kepada difabel yang berhadapan dengan hukum. Bantuan ini harus diberikan dalam setiap pemeriksaan secara keperdataan dan/atau pidana. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 29 UU Nomor 8 Tahun 2016.

Untuk memeriksa seorang difabel, penegak hukum wajib meminta pertimbangan atau saran dari dokter tentang kondisi kesehatan fisik difabel tersebut. Selain itu, penegak hukum wajib meminta pertimbangan psikologi atau psikiater untuk memastikan kesehatan kejiwaannya. Penilaian dari pekerja sosial juga dibutuhkan untuk memastikan kondisi psikososialnya.   

Sekarang polisi sudah menetapkan AG sebagai tersangka. Kepolisian mengklaim telah memeriksakan kesehatan fisik dan kejiwaan AG. Semua dijalankan secara transparan, termasuk proses rekonstruksi.  

Seiring waktu, kepolisian menerima laporan dari sejumlah perempuan yang juga mengaku sebagai korban AG. Mereka baru berani melapor setelah yakin kasus ini benar-benar ditangani oleh polisi. Fenomena ini memberikan pelajaran tentang pentingnya pelindungan terhadap korban dan penegakan hukum bagi pelaku kekerasan seksual. Tidak terkecuali jika pelakunya adalah seorang difabel. 

Lalu kenapa polisi tidak menahan AG setelah menetapkan pria itu sebagai tersangka? 
Penahanan seorang tersangka tindak pidana sepenuhnya menjadi kewenangan penyidik. Dalam kasus kekerasan seksual di NTB, penyidik menempatkan AG dalam tahanan rumah. Alasannya, rumah tahanan yang tersedia tidak memiliki fasilitas yang ramah bagi difabel. Karena itu, penyidik menahan AG di rumahnya. Proses hukum terhadap AG tetap berjalan dengan pendampingan kuasa hukum. Ini merupakan salah satu upaya melindungi hak difabel berhadapan dengan hukum.

Sejauh ini, tercatat 15 orang yang mengaku sebagai korban AG. Dua orang di antaranya dikategorikan masih anak-anak. Semua korban adalah perempuan. Dari hasil pemeriksaan disebutkan bahwa AG menggunakan manipulasi emosional dan ancaman psikologis untuk memaksa korban menuruti keinginannya. Fakta ini memperlihatkan bahwa kondisi disabilitas fisik tidak menghilangkan potensi terjadinya tindak pidana.

Persepsi masyarakat yang berpikir AG, sebagai difabel, tidak mungkin melakukan kekerasan seksual, dapat mencederai psikologis korban. Padahal, dalam kasus kekerasan seksual, keberpihakan pada korban adalah bagian penting dari penanganan. Tanpa keberpihakan, hak pelindungan dan penanganan terhadap korban berpotensi terabaikan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus