ADAKAH yang lebih menyakitkan seorang gadis, selain minggatnya sang Arjuna persis di hari perkawinan mereka? Itulah yang dialami Sriningsih, 25 tahun, tahun lalu. Di depan tamu dan undangan pada hari pernikahannya, ia menangis berguling-guling di lantai. Sebab, pengantin pria, yang sudah hampir tiga tahun memacarinya, Sukardi, 27 tahun, tak muncul di hari perkawinan itu. Luka Sriningsih itu, Kamis pekan lalu, "diobati" hakim Pengadilan Negeri Sukohardjo, Jawa Tengah. Hakim tunggal, P. Boerlian, menghukum Sukardi membayar ganti rugi Rp 10 juta kepada Srini -- sesuai dengan tuntutan gadis itu. "Kalau dibenarkan undang-undang, saya vonis lebih besar dari jumlah itu. Sebab, kehormatan seseorang tak bisa dinilai dengan uang," ujar Boerlian. Peristiwanya terjadi di akhir tahun silam. Sekitar 300 undangan telah hadir di rumah keluarga Harsosemito, di Desa Sukohardjo, di hari pernikahan Srini, 1 Desember lalu. Ternyata, sampai siangnya mempelai pria tak menampakkan batang hidungnya. "Padahal, sehari sebelumnya orangtua Sukardi sudah meyakinkan bahwa pengantin pria pasti datang," ujar ayah Srini, Harsosemito, mengenang. Akibatnya tentu saja keluarga Harsosemito bingung. Sementara Srini berguling-guling, kampung pun geger. Pernikahan gagal. "Kami dibuat malu. Muka kami dicoreng di depan orang banyak," ujar Harsosemito. Kejadian ini tak terbayangkan oleh Srini sebelumnya. Menurut Srini, ia sudah berpacaran dengan Sukardi sejak tiga tahun silam, ketika sama-sama duduk di sekolah menengah. Mereka, selain teman sekampung, juga masih famili -- kakak laki-laki Srini adalah suami almarhumah kakak Sukardi. Setelah lulus sekolah, Srini dan Sukardi berniat mengikat cinta mereka dalam perkawinan. "Orangtua Sukardi datang ke rumah kami untuk melamar, dan diterima dengan baik," kata Harsosemito. Kedua orang yang pernah berbesanan itu, kata Harso, sepakat menikahkan putra-putri mereka, awal Desember lalu. Setelah itu, cerita Srini, ia tanpa curiga menyerahkan kegadisannya kepada sang pacar. "Kami sudah sempat berhubungan badan," ujar Srini, gadis manis itu. Keluarga Harsosemito bahkan tak curiga ketika Sukardi minta izin untuk berangkat ke Jakarta. "Saya mau cari uang untuk biaya nikah," ujar Harsosemito, menirukan ucapan Sukardi. Calon mempelai itu berjanji akan kembali ke kampungnya paling lambat 6 hari sebelum perkawinan. Ternyata, itu tadi, sampai undangan memenuhi rumah Srini, Sukardi tak muncul. Akibat penghinaan itu, Srini terpaksa menyeret Sukardi dan ayahnya, Sorejo, 67 tahun, ke penadilan. Hakim ternyata memenangkan wanita itu. "Keputusan itu adil dan tepat. Agar laki-laki tidak seenaknya mempermainkan anak gadis dengan rayuan gombalnya," ujar pengacara Srini, Suroso. Sebaliknya, pihak tergugat kecewa dan menyatakan banding atas vonis itu. "Vonis itu tanpa pertimbangan dan tidak melihat status sosial," ujar pengacara keluarga Sorejo, Djoko Trisnowidodo. Sementara itu, Sorejo mnengatakan yakin anaknya tak pernah berpacaran dengan Srini. Sebab, sejak tiga tahun lalu, katanya, Sukardi bekerja di Batam dan tidak ada hubungan lagi dengan Srini. Apalagi merencanakan kawin. "Semua cerita itu bohong," ujar Sorejo. Tak hanya Sukardi yang harus menghadapi pengadilan gara-gara membatalkan rencana perkawinan secara sepihak. Seorang perawat di Jakarta, Nurhayati, Juli tahun lalu juga menggugat calon suaminya, Dadan Rahadian, karena hal serupa. Begitu juga Yuni di Wonosari, Yogyakarta, yang dua tahun lalu gagal menikah dengan tunangannya, Sumartono. Sebaliknya, di Bantul, Yogyakarta, dua pengantin pria dipermalukan pasangannya karena mempelai wanita kabur pada hari perkawinan. Salah seorang dari mereka, Suripto, terpaksa membawa bekas "calonnya", Maryanti, ke pengadilan. Ternyata, pengadilan memvonis wanita itu ganti rugi Rp 1.280.600. Emansipasi atau kesadaran hukum? Laporan I Made Suarjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini