Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ESTER Tanak dan Dara Veranita melangkah gontai menuju Direktorat Reserse Narkotika Kepolisian Daerah Metro Jaya. Keduanya, kali ini, hanya mengenakan baju sipil, bukan seragam korps kejaksaan. Diantar Kepala Seksi Prapenuntutan Kejaksaan Tinggi Jakarta Baharudin, Jumat siang dua pekan lalu, mereka memenuhi panggilan polisi.
Panggilan terhadap Ester, jaksa di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, dan Dara, jaksa di Kejaksaan Negeri Kuningan, Jawa Barat, ini terkait dengan tudingan Ajun Inspektur Satu Irfan, anggota Kepolisian Sektor Pademangan, Jakarta Utara. Irfan menyebut ekstasi di tangannya dipasok dua jaksa itu. Polisi memang perlu memeriksa keduanya. Karena menurut prosedur memeriksa jaksa harus ada izin dari kejaksaan, polisi pun melayangkan surat permintaan ke Kejaksaan Agung.
Dua kali pemanggilan, hingga terakhir Selasa, 17 Maret 2009, tak ada jawaban. ”Alasannya, mereka belum mendapat izin dari atasannya,” ujar Direktur Narkoba Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Arman Depari.
Baru pada Jumat lalu, kedua jaksa itu datang. Setelah menjalani pemeriksaan sekitar tiga jam, Direktorat Narkoba pun angkat bicara: mengumumkan Ester, 40 tahun, dan Dara, 37 tahun, sebagai tersangka dengan tuduhan menggelapkan barang bukti. Malam itu juga polisi menahan keduanya.
TERUNGKAPNYA kasus jual-beli barang bukti ini berawal dari informasi yang diperoleh polisi: terjadi penjualan barang bukti yang dilakukan oknum jaksa kepada polisi. Penyelidikan pun dilakukan. Tak sampai hitungan bulan, kata Arman, polisi bisa mengendus aksi penjualan barang bukti itu.
Polisi mendapat informasi, barang bukti yang telah diamankan polisi dan dibawa ke persidangan itu diedarkan kembali oleh lelaki bernama Zaenanto, seorang pesuruh di Markas Kepolisian Sektor Pademangan. Setelah mengantongi info itu, polisi pun merancang penyamaran, pura-pura menjadi pembeli.
Kontak bertransaksi dibuka. Aparat yang menyamar menyatakan akan membeli tiga butir ekstasi milik Zaenanto. Transaksi disepakati dilakukan di Jalan Budi Mulia, tidak jauh dari Polsek Pademangan, tempat Zaenanto bekerja.
Begitu Zaenanto muncul dengan barang bukti, polisi langsung menyergap. Ketika digeledah, di saku celananya ditemukan 100 butir ekstasi. Ia lalu digelandang ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jaya. Tiga jam diinterogasi, pemuda itu baru membeberkan siapa pemilik ekstasi itu.
Zaenanto menyebut ekstasi itu diperoleh dari Ajun Inspektur Satu Irfan, anggota reserse umum Polsek Pademangan. Mengingat buruannya seorang anggota polisi, Arman Depari menghubungi Kepala Kepolisian Resor Jakarta Utara, Komisaris Besar Polisi Rycko Amelza Dahniel, untuk meminta izin memeriksa anggotanya. Izin diperoleh. Kepala Polres bahkan memerintahkan dilakukan penggeledahan. ”Siapa pun yang tersangkut harus ditangkap,” ujar Arman menirukan ucapan Rycko.
Dukungan Kapolres membuat Arman leluasa menyelidiki kasus itu. Saat itu juga Ajun Inspektur Satu Irfan digelandang ke markas kepolisian. Ruangannya di Polsek Pademangan digeledah. Dari sana polisi menemukan 200 butir ekstasi yang disimpan di lemari meja kerjanya.
Sewaktu pertama kali ditangkap, Irfan sempat berkelit. Ia menolak mengakui barang bukti di tangan Zaenanto berasal darinya. Polisi memerlukan waktu dua hari untuk menginterogasi anggota yang lima bulan lagi memasuki masa pensiun ini. Namun, kata Arman, dengan sejumlah bukti yang dimiliki polisi, tersangka akhirnya tunduk dan mengakui 100 butir ekstasi di tangan Zaenanto berasal dari dirinya.
Belakangan, Irfan juga mengaku, selain barang bukti 200 butir ekstasi yang ditemukan di laci mejanya, ia juga membuang 43 butir ekstasi ke halaman belakang Markas. Barang bukti yang berserakan di antara rerumputan itu ditemukan polisi. Total, barang bukti yang disita dari tangan tersangka 343 butir.
Dari sinilah aksi jual-beli barang bukti narkoba terungkap. Telunjuk Irfan mengarah ke Ester Tanak dan Dara Veranita, yang sebelumnya bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara. Saat itu juga polisi memanggil dua orang jaksa yang disebut Irfan. Namun mereka sempat mangkir.
Menurut Arman, 343 butir ekstasi yang disita polisi diperoleh Irfan dalam dua tahap. Sebanyak 200 butir diperoleh Irfan dari Ester di ruang kerja jaksa itu. Sementara 100 butir lainnya diperoleh Irfan dari Dara. Transaksi dengan Dara dilakukan di dekat Pintu 3 Ancol, Jakarta Utara.
Semula transaksi itu hanya dilakukan antara Ester dan Irfan. Keduanya diketahui telah saling mengenal. Namun Dara, yang mengetahui aksi itu, tergoda. Alasannya, ujar Arman, ia ingin mendapatkan BlackBerry. Dara pun ”membuka hubungan” dengan Irfan.
Perangkat komunikasi yang sedang naik daun itu memang didapat keduanya. Ester menerima sebuah BlackBerry dan sebuah telepon seluler Nokia seri teranyar N82 yang harga pasarnya sekitar Rp 4 juta. Sedangkan Dara hanya memperoleh BlackBerry. Menurut Arman, dalam transaksi antara Irfan dan Ester maupun Dara tidak ada patokan harga. ”Soal harga mereka saling pengertian,” katanya.
Ekstasi itu diambil Ester dan Dara dari barang bukti kasus narkotik yang sedang ditanganinya. Ester memang tengah menangani kasus narkotik dengan terdakwa Mochamad Yusuf alias Kebot, yang tertangkap di apartemen Paladian Park, Kelapa Gading, Jakarta Utara, dengan barang bukti 5.000 butir ekstasi.
Ester sudah bertugas di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara tiga tahun. Sebelumnya, ia bertugas di Kejaksaan Negeri Palu. Untuk kasus narkoba ini, ujar seorang sumber Tempo di Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, ia baru pertama kali menangani.
Namun kepastian barang bukti mana yang digelapkan akan diketahui setelah polisi memeriksa barang bukti dalam perkara itu. ”Izinnya sedang dimintakan Pengadilan Negeri Jakarta Utara,” kata Arman
Untuk menyiasati pencurian barang bukti ini Ester dan Irfan bersekongkol mengkamuflase barang bukti yang dicuri dengan menukar ekstasi itu dengan obat asma yang dibeli di Pasar Glodok. Pil ini mirip ekstasi. Hanya pil ekstasi itu berlogo huruf S, sedangkan pil asma berlogo garis. ”Sekilas sangat mirip,” kata Arman.
Selain memeriksa Ester dan Dara, sebelumnya Direktorat Narkoba juga memeriksa jaksa Shofi Marissa. Namun polisi kemudian membebaskannya. Alasannya, keterlibatannya tidak terbukti. Menurut Arman, Shofi adalah teman satu ruangan Ester. Ia mengetahui saat Irfan bertemu Ester di ruang kerja koleganya itu. Hanya, apa urusan kedua orang itu, Shofi mengaku tidak tahu. ”Kalau memang tidak terbukti, kita lepas,” ujar Arman.
Begitu kasus ini mencuat, Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi memeriksa Ester. Menurut Asisten Pengawasan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Demar Sihombing, hasil pemeriksaan telah dilaporkan ke Kejaksaan Agung. Intinya, Ester dinyatakan menyalahi prosedur karena telah membawa barang bukti. ”Terlepas apakah mau dijual atau tidak, itu sudah salah,” ujar Demar.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M. Jasman Pandjaitan, pemeriksaan terhadap Ester berkaitan dengan penanganan perkara dan prosedur ketetapan penanganan barang bukti yang memang telah ada surat edarannya dari Jaksa Agung.
Pemeriksaan, kata Jasman, baru dilakukan kepada Ester, belakangan diketahui kasusnya tidak hanya melibatkan Ester tetapi juga Dara. Dara sendiri saat ini telah pindah tugas ke Kejaksaan Negeri Kuningan, Jawa Barat. Karena itu, pemeriksaannya diambil alih jaksa agung muda pengawasan di Kejaksaan Agung.
Polisi membidik Ester, Dara, dan Irfan dengan Pasal 60 dan Pasal 62 Undang-Undang Psikotropika Tahun 1997. Jika terbukti menyelewengkan barang bukti tersebut, mereka bisa dipenjara hingga 15 tahun. Karena telah berstatus tersangka, kedua jaksa itu, menurut Jaksa Agung Muda Pengawasan Kejaksaan Agung, Hamzah Tadja, diberhentikan sementara dari statusnya sebagai jaksa.
Menurut sumber kepolisian, kasus penjualan barang bukti yang terungkap ini ibarat gunung es. Praktek seperti itu sudah jamak terjadi. ”Jika terungkap, kemudian diselesaikan di dalam, tidak terungkap ke masyarakat,” ujar sumber itu. Sejumlah petugas di lapangan kerap jengah lantaran mereka tahu ada oknum yang menyalahgunakan barang haram hasil sitaan itu. ”Mereka hanya dapat capeknya,” ujar sang sumber sembari menunjuk ekstasi dan sabu-sabu sebagai jenis narkoba yang paling banyak diselewengkan demi perut pribadi oknum-oknum itu.
Kini tugas polisi mengungkap siapa lagi yang terlibat kasus memalukan ini.
Ramidi, Rini Kustiani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo