Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Sembilan tersangka untuk satu yang mati

''bolomu wis matek sitok. marsinah wis matek. kon nggak rono?'' ada truf yang dimainkan marsinah. dalam rapat itulah, katanya, yudi astono melontarkan ucapan: ''bunuh saja marsinah.''

30 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMBILAN tersangka yang dituduh menghabisi Marsinah kini ditahan di Polda Jawa Timur. Mereka sebelum diserahkan kepada polisi adalah ''limpahan'' dari ''petugas tidak dikenal'' yang melakukan penangkapan di pabrik PT CPS Porong, Sidoarjo, pagi 1 Oktober lalu. Berikut ini peran sebagian tersangka yang dikumpulkan, baik lewat pelacakan wartawan TEMPO maupun yang tertuang dalam ''Pernyataan Sikap Keprihatinan dan Tuntutan Komite Solidaritas Untuk Marsinah.'' YUDI ASTONO (Direktur PT CPS Porong). Pagi 4 Mei, ketika karyawan melakukan pemogokan, Yudi menampakkan muka di hadapan pengunjuk rasa. Sekitar pukul 10.30 terjadi perundingan antara wakil buruh dan perusahaan, setelah datang utusan dari Departemen Tenaga Kerja dan Dewan Pertimbangan Cabang SPSI sebagai penengah. Di antara 33 orang yang hadir dalam perundingan itu ada Yudi Astono dan Marsinah. Menurut penuturan buruh yang hadir pada Komite Solidaritas Untuk Marsinah (KSUM), dalam pertemuan itu Marsinah sangat vokal. ''Ia bersikukuh pada tuntutannya, khususnya untuk butir pertama yang menyangkut tunjangan tetap. Ia tidak mau kurang dari Rp 550,'' kata teman-temannya, seperti dikutip KSUM. Menurut Marsinah, itu sesuai dengan keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 50/92 tentang kenaikan upah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Yudi Astono, 33 tahun, lulusan Universitas Bhayangkara. Sebelum di Porong, ia menjabat kepala personalia PT CPS di Rungkut, Surabaya. Dulu PT CPS memproduksi jam tangan, cop sepeda motor, dan handle pintu. Namun, karena sebagian besar produksinya adalah jam tangan, PT CPS lebih dikenal sebagai produsen jam tangan segala merek. Produknya dipasarkan di dalam dan ke luar negeri. Sumber TEMPO menuturkan, menurut hasil pemeriksaan, Yudi dituduh memberi komando untuk membunuh Marsinah. Konon pria kelahiran Kediri itu punya motif kuat untuk menghabisi Marsinah. Sebab di tangan Marsinah tersimpan kartu ''truf'', dan itu dibeberkan dalam surat yang disampaikan Marsinah, sekitar pukul 20.00, sebelum ia lenyap dari pondokannya. Surat itu ditujukan kepada direktur PT CPS. Oleh penerimanya, surat itu disampaikan kepada Yudi. Konon isinya semacam ''pemerasan''. Marsinah tahu ada kegiatan ilegal PT CPS. Malam itu juga Yudi mengadakan pertemuan. ''Pokok pembicaraan adalah soal surat Marsinah itu,'' kata sumber TEMPO. Dalam rapat itulah Yudi Astono melontarkan ucapan: ''Bunuh saja Marsinah.'' Namun istri Yudi Astono, Nyonya Indah, yakin suaminya tidak bersalah. ''Dari tanggal 4 sampai 8 Mei suami saya pulang kantor seperti biasa, sekitar pukul 5 sore,'' kata ibu tiga anak ini. Lagi pula, selama ini Indah mengenal suaminya sebagai seorang yang lembut hati. ''Ia bukan tipe ayah yang keras,'' katanya. Itu sebabnya Indah tidak habis mengerti mengapa suaminya dituduh terlibat dalam pembunuhan Marsinah. Sambil terisak, nyonya berwajah menarik ini mengatakan, ia merasa bersyukur dapat menjenguk suaminya di tahanan polisi, Kamis pekan lalu. YUDI SUSANTO (Direktur Utama PT CPS, Rungkut, Surabaya, induk PT CPS Porong). Sekitar pukul 22.00, menurut versi pemeriksa, Marsinah dibawa ke rumahnya di Jalan Puspita, Surabaya. Di rumah Yudi, direktur utama dan pemilik Catur Putra Surya ini Marsinah sempat disekap tiga hari. Namun, keluarga dekatnya yakin bahwa pengakuan Yudi Susanto, 42 tahun, waktu diinterogasi adalah akibat siksaan. ''Yudi membenarkan saja semua tuduhan itu. Sebab dia takut, kalau tidak mengaku malah mati,'' katanya. Ketika menjumpai Yudi di tahanan Polda Jawa Timur, menurut keluarganya, di tubuh ayah satu anak itu banyak bekas deraan fisik. Hari-hari sebelumnya, istri Yudi, Meliawati, kebingungan mencari suaminya. Enam hari sejak hilang, kerja Meliawati mondar-mandir di Markas Polda Jatim. Sia-sia. Akhirnya, ia memutuskan pergi mencari penyelamat, dengan menghubungi pengacara Pieter Talaway. MUTIARI (Kepala Bagian Personalia PT CPS Porong). Perempuan berwajah ayu ini, pengantin baru. Berusia 26 tahun, ia menikah dengan Hari Sarwono, Juli lalu. Mutiari, anak tengah dari tiga saudara keluarga Sumali, pegawai bagian mesin di PT PAL Surabaya. Sejak remaja Mutiari lebih dikenal keluarganya sebagai anak- rumahan. ''Kakak saya lebih banyak tinggal di rumah daripada main sama tetangga,'' kata Supandi mengenai kakaknya yang pintar masak itu. Kata suaminya, Mutiari adalah manajer rumah tangga yang baik. Kendati wanita karier, ia pandai mengurus rumah tangga. Sejak Januari 1992 Mutiari bekerja di PT CPS. ''Ia langsung diterima di bagian personalia,'' kata Hari. Sebagai kepala personalia, ia menerima gaji Rp 250.000 per bulan. Mereka menempati rumah baru di Simorukun, tiga hari setelah menikah. Menurut Hari Sarwono, istrinya orang yang tegas menerapkan aturan. Misalnya, dalam menyeleksi calon buruh. ''Ia hanya menerima mereka yang memang lulus tes, dan berani menolak rekomendasi dari siapa pun,'' kata Hari. Ketika terjadi bentrokan dengan karyawan, menurut Komite Solidaritas, Mutiari maju bersama Yudi Astono menghadapi para pengunjuk rasa. Menurut catatan KSUM, Mutiari mencoba menenangkan para buruh. Seperti yang dilakukan Yudi Astono, ia mengajak buruhnya kembali bekerja. Tapi, ia dihadang Marsinah. Ketika itu, menurut laporan KSUM, Mutiari menjawab, ''Ya, sudah, kalau nggak mau. Saya tidak memaksa teman-temanmu. Aku nggak suka sama kamu.'' Setelah itu Mutiari meninggalkan para pengunjuk rasa. Besoknya, 5 Mei, menurut catatan KSUM, Mutiari lagi-lagi menyatakan ketidaksukaannya pada Marsinah. ''Saya tidak suka caranya,'' kata Mutiari kepada rekan Marsinah, tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan ''caranya'' itu. Kejadian tersebut pukul 1 siang ketika Marsinah mencari kawannya yang baru dipanggil ke Komando Distrik Militer. Tapi, menurut Hari Sarwano, Mutiari tak mengenal Marsinah. Hanya pada malam sebelum Mutiari dibawa pihak keamanan, 30 September lalu, wanita itu pulang agak malam. Begitu sampai di rumah, Mutiari duduk termenung. Biasanya ia langsung mandi. ''Saya melihat ia agak gemetaran. Ia lalu bilang mudah-mudahan kasus Marsinah cepat selesai,'' tutur Hari. Ketika besoknya Mutiari terlambat pulang, Hari belum curiga. Sejak pertengahan Juni lalu, Mutiari sering pulang lebih malam. Sebab, bersama karyawan PT CPS, ia beberapa kali dimintai keterangan oleh Polres Nganjuk. Mutiari, kata Hari, pernah pula ditanyai polisi dari Markas Besar Kepolisian Jakarta. ''Tapi kata istri saya, petugas dari Mabes itu lebih banyak guyonnya daripada interogasi,'' kata Hari. Kabar terakhir, Mutiari merasa ditekan untuk mengaku terlibat dalam pertemuan pada 5 Mei silam yang membicarakan rencana pembunuhan Marsinah. SUWONO (Kepala Satpam PT CPS Porong). Para buruh menganggap Kepala Satpam PT CPS yang berkulit hitam dan berkumis ini angker. ''Pak Wono itu yang paling ditakuti oleh para buruh,'' kata seorang buruh bernama Lis. Sehari-hari ia sering melihat Suwono, pensiunan Angkatan Laut, itu main tampar, selain suka membentak. ''Buruh-buruh cewek juga suka digoda,'' ujar seorang buruh wanita lain. Ia ingat ketika terjadi pemogokan buruh, Suwono, 50 tahun, muncul di pabrik dengan seragam marinir. Lalu ikut merobek-robek poster dan spanduk para pengunjuk rasa. Juga menghalau buruh perempuan supaya mundur dari pintu masuk. Malah, menurut laporan KSUM, Suwono memaki karyawan dengan sebutan ''PKI''. Menurut pengakuan rekan Marsinah pada KSUM, Suwono pernah mengejeknya di pos keamanan. ''Bolomu wis matek sitok. Marsinah wis matek. Kon nggak rono?'' (Karibmu sudah mati satu. Marsinah mati. Kamu nggak ke sana?) Olok-olok ini juga ditujukan pada buruh yang lain. ''Rasain kamu, sekarang Marsinah sudah mati.'' Ucapan ini sempat dicek seorang petugas kepada Suwono. ''Tapi ia diam saja. Ini kan aneh, dari mana Suwono tahu kematian Marsinah, wong staf lainnya belum tahu,'' kata sebuah sumber. Ketika wartawan TEMPO Widjajanto mencari keterangan ke kediaman Suwono, di Desa Siring, rumah itu kosong. Tetang ganya mengatakan bahwa di kampungnya Suwono dikenal sok kuasa. Tukang-tukang ojek di situ juga merasa terusik. ''Dia sering menyerobot langganan kami,'' kata salah seorang penarik ojek. Rupanya, untuk mencari tambahan penghasilan, Suwono sering mengojek. Suatu kali Suwono pernah membantah keterlibatan PT CPS. Ini kata induk semang Marsinah, Nyonya Nyoman. Sekitar Juli lalu, ketika mengantar polisi mengambil barang bukti di pondokannya, ia ketemu Suwono. Suwono termasuk yang diangkut petugas pada 1 Oktober lalu. Menurut sumber TEMPO, Suwono bersama Widayat termasuk paling dicurigai. Kabarnya, pembunuhan Marsinah ini dilakukan oleh lebih dari seorang. Ada yang menjadi eksekutor dan lainnya yang membuang mayatnya. ''Dugaan sementara, pelakunya adalah Suwono,'' kata sumber tadi. AYIB (Kabag Produksi) alias Karyono, 37 tahun, berperawakan sedang. Rambutnya lurus dan kulitnya putih. Jebolan kelas 2 SMA ini beruntung mendapat kerja di CPS. ''Yudi Susanto dan saudara-saudaranya itu teman akrab Ayib sejak SMP,'' kata ibu Ayib, Nyonya Wongso, Selasa pekan lalu. Mulanya Ayib, yang hobi mengutak-atik mobil dan barang eletronik, menjadi orang kepercayaan Yudi Susanto di Rungkut. Belakangan Ayib dipercayai sebagai kepala bagian produksi di PT CPS Porong. Dengan jabatannya itu, Ayib, bersama Yudi dan Mutiari, banyak menentukan nasib buruh. Mereka ini yang maju berunding dengan buruh dalam pemogokan 4 Mei lalu. Ketika dilakukan penyelidikan awal di Polres Nganjuk, pertengahan Juni lalu, Ayib sempat bermalam di kantor polisi itu, untuk pemeriksaan intensif. Sebab, penyidik menemukan bercak darah di mobil perusahaan yang sering dikemudikan Ayib. Tapi, berdasarkan penyelidikan laboratorium kriminal Polda Jawa Timur, darah itu tidak sama dengan darah Marsinah. Ayib salah seorang yang dikeplak dengan gagang pistol ketika diciduk petugas misterius itu. SUPRAPTO (Bagian Kontrol). Rabu dua pekan lalu, putri pertamanya lahir ketika ia di tangan petugas keamanan. Tamatan SMP Porong ini baru beberapa bulan diangkat sebagai karyawan bagian pengawasan. Sebelumnya, sejak PT CPS beroperasi di Porong, ia bertugas sebagai satpam. Menurut istrinya yang tinggal di Desa Plataran Sewu, Tanggulangin, suaminya diperiksa karena pernah menerima surat dari Marsinah. ''Marsinah mengantar sendiri surat yang ditujukan kepada kepala bagian administrasi,'' kata Tini kepada Widjajanto dari TEMPO. Tini dulu pernah memburuh di pabrik PT CPS. Kepada penyidik, Suprapto mengaku memang ada menerima surat dari Marsinah, pada 5 Mei sekitar pukul 19.30 di pabrik PT CPS. Agaknya, inilah surat yang menurut sebuah sumber, yang kemudian diantarkan Suprapto ke rumah Yudi Astono. Bunga Surawijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum