MENJELANG minggu terakhir bulan Oktober 1993 paling tidak terdapat tiga kabar yang menarik bagi buruh. Yang pertama, rencana penyempurnaan keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342, No. 1108, dan No. 120 yang ketiganya bertahun 1986. Kedua, rencana kenaikan upah buruh untuk mendekati standar kebutuhan fisik minimum malai tahun 1994 di 21 provinsi. Ketiga, ihwal pengusutan kasus Marsinah yang kian intensif dengan memeriksa pimpinan PT Catur Putra Surya, termasuk direktur utamanya. Pengusutan yang tampaknya menuju ke pengungkapan secara menyeluruh. Keputusan Menteri Tenaga Kerja yang disebutkan di atas memang sudah seharusnya ditinjau kembali. Keputusan Nomor 342 itu misalnya, dua bulan silam sudah digugat atas prakarsa LBH melalui Gugatan Hak Uji Materiil. Atas kuasa yang diberikan empat mantan buruh (Suwarto, Hariyanto, Nali, dan S. Riyono) dan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1993, Tim Pengaju Gugatan itu meminta dengan hormat agar Mahkamah Agung antara lain menyatakan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 342 tersebut bertentangan dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1957 dan Undang-Undang No. 12 tahun 1964. Sebagaimana diketahui, Keputusan Menteri Tenaga Kerja tersebut memberikan otoritas kalangan militer untuk melakukan intervensi pemerantaraan dalam perselisihan perburuhan. Padahal, seperti dikemukakan oleh Tim Pengaju Gugatan Hak Uji Materiil, sekalipun terjadi kekerasan fisik, proses penyelesaian perselisihan perburuhan seharusnya mengikuti ketentuan yang diatur dalam KUHAP. Bukannya mengundang campur tangan Kodim dan Polres dalam proses pemerantaraan penyelesaian perselisihan perburuhan. Secara historis, keterlibatan unsur militer sebagai anasir pokok negara pascakolonial dalam masalah perburuhan dapat ditelusuri berkaitan dengan dua aspek strategis negara. Yakni, pada satu sisi untuk memenuhi tuntutan-tuntutan konsolidasi, terutama ketika terdapat ancaman desintegratif sejak dasawarsa pertama kemerdekaan. Pada sisi lain, untuk beradaptasi dengan pola baru yang berkembang dalam hubungan-hubungan ekonomi. Kecenderungan itu memperlihatkan sifat pro-aktif terutama sejak bekas panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) diangkat menjadi menteri tenaga kerja dalam Kabinet Pembangunan IV yang lalu. Akan halnya soal kedua, soal upah memadai bagi buruh, agaknya tetap harus menempuh jalan amat panjang. Sasaran untuk memacu upah buruh mendekati standar kebutuhan fisik minimum pada akhir Pelita V, apalagi menggantikannya dengan kebutuhan hidup minimum yang rata-rata 20% lebih tinggi dari kebutuhan fisik minimum dalam Pelita VI, sulit dicapai tanpa konsistensi pelaksanaan kebijaksanaan pengupahan nasional yang memadai. Berita ketiga tidak kurang menariknya, malah mungkin paling menarik. Sudah hampir setengah tahun, gugurnya Marsinah, aktivis buruh di PT Catur Putra Surya, Sidoardjo. Ia ditemukan tak bernyawa lagi dalam keadaan leher tergores bekas jeratan, dan sekujur tubuh memar akibat benturan benda keras, bahkan mengalami kerobekan vagina. Sampai pekan lalu, kematiannya belum terungkapkan. Cukup luasnya reaksi dari pelbagai kalangan masyarakat mahasiswa, LSM, aktivis buruh, bahkan kelompok-kelompok hak-hak asasi manusia internasional atas kejadian itu pada satu sisi telah menobatkan Marsinah sebagai monumen: ia menjadi simbol perlawanan. Pada sisi lain reaksi itu membuka lebar kenyataan, betapa ''politik kekerasan'' amat siap menelan korban. Sungguhpun begitu, ''politik kekerasan'' dengan segenap variasi dan tali-temalinya mustahil mampu menghadapi arus tuntutan ekonomi dan politik buruh yang tidak semata-mata berangkat dari ''persoalan perut''. Tapi, tuntutan itu itu kian bertolak dari semacam kesadaran sejarah menghadapi kenyataan pahit yang terus-menerus dialami buruh. Hal lain yang harus dipertimbangkan, satu kasus pelanggaran hak-hak asasi manusia yang serius sulit ditutup-tutupi agar tidak menjadi isu publik. Reartikulasi isu oleh kelompok aksi mahasiswa, LSM, atau pekerja bantuan hukum atau sosialisasi gagasan yang menolak ''politik kekerasan'' yang dikomunikasikan melalui media massa dan sarana komunikasi lain serta sorotan internasional merupakan faktor-faktor yang potensial untuk mengendalikan penggunaan kekerasan terhadap individu dan kelompok masyarakat. Individu atau kelompok masyarakat yang memang absah secara hukum maupun politik untuk menuntut dan mempertahankan hak-haknya yang sudah dijamin secara konstitusional. *)Penulis adalah dosen Sosiologi Hukum dan Kriminologi dan Pembangunan FISIP UI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini