Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kolonialis Bilang Kita Bangsa ...

Ceramah Mochtar Kusumaatmadja, Menkeh tentang konsepsi nusantara menjadi wawasan nusantara. Lebih menekankan aspek sejarah dari pada hukum laut. Sejarah deklarasi djuanda menjadi tap MPR 1973.

26 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI kursi-kursi tua di Taman Pejambon, 13 Desember 1957 malam terdengar percakapan begini: "Jadi berapa lebar laut teritorial tali". "Dua belas mil". "Kenapa tidak 17 saja?" "Yang ini saja bakal dapat reaksi". Si penanya adalah Chaerul Saleh, Menteri Veteran, dan si tertanya Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M, seorang dosen muda. Keduanya kemudian masuk ke dalam ruang sidang kabinet. Tak lama, Mochtar keluar. Malam itu juga selesai sidang kabinet diputuskan bahwa lebar laut teritorial Indonesia sejak saat itu menjadi 12 mil. diukur dari titik-titik terluar pulau atau hagian pulau terluar Indonesia. Keputusan ini tercantum dalam Pengumuman Pemerintah tentang Perairan Indonesia, jamak disebut Deklarasi Djuanda. Duapuluh tahun kemudian, Mochtar Kusumaatmadja, guru besar pada FH Unpad dan UI menceritakan sejarah Konsepsi Nusantara (secara umum namanya Konsepsi Negara Kepulauan) sampai menjadi Wawasan Nusantara. Memenuhi pemlintaan Yayasan Idayu & Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah & Museum Kebangkitan Nasional Mochtar menekankan bahwa ceramahnya lebih menekankan aspek sejarah daripada hukum. Walaupun hadirin tidak melimpah mau, orang-orang seperti Achmad Subardjo, bekas menlu dan ketua delegasi Indonesia ke Konperensi Hukum Laut I dan II PBB. Sunarjo. bekas menlu, Bung Tomo dan Nyonya Chaerul Saleh, cukup memberi kesan kesejarahan pada pertemuan Sabtu pagi dua pekan lalu itu. Kantong Laut Coba jadikan Laut Jawa menjadi laut pedalaman Mochtar mengulang ucapan Chaerul kepadanya. Mochtar waktu itu menjawab: "Kita akan coba". Tapi Chaerul menginginkan jawaban yang lebih tegas lagi. Akhirnya Mochtar mengerti dan segera teringat pada kasus perikanan Norwegia-lnggeris 1951. Di situ Nowegia - yang pantainya berliku-liku ditaburi pulau-pulau kecil, dimenangkan oleh Mahkamah Internasional dalam menggunakan sistem penarikan garis-garis lurus yang ditarik lari ujung ke ujung pulau-pulau terluar. Garis-garis lurus itu menjadi dasar untuk menentukan laut teritorial. Lepas dari kontroversi lebar laut teritorial yang diterima umum, sistim garis pangkal ini adalah lawan dari sistim garis air surut dari tiap-tiap pulau. Pada yang belakangan ini tiap-tiap pulau mempunyai laut teritorial sendiri, dengan akibat adanya kantong laut lepas antara pulau-pulau. Pada yang pertama kantong-kantong laut ini tidak lagi berstatus laut lepas, tapi laut pedalaman. Perbedaan status laut ini jelas ada: laut pedalaman merupakan wilayah negara pantai. Keputusan Mahkamah Internasional itu cukup berwibawa, hingga Konperensi Hukum Laut Jenewa 1958 menuangkannya ke dalam Konvensi mengenai Lebar Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Tapi toh bumi Norwegia tidak sama dengan bumi Indonesia. Sebab, biarpun ada pulau-pulau di seputarnya, Norwegia tak dapat dikatakan negara kepulauan seperti Indonesia atau Pilipina, atau Jepang, atau Inggeris. Pulau-pulau pada negara Norwegia hanya menambah bagian utama wilayah yang terletak di pinggir sebuah benua. Sama juga dengan India, biarpun ada beberapa pulau di sekitarnya, wilayah utamanya adalah benua. Urusan Belakang Dapatkah kasus Norwegia diterapkan pada negara-negara kepulauan di tengah laut (mid ocean archipelago) seperti Indonesia dkk.? Para sarjana banyak yang menentang hal ini. Perkara kepulauan bukan perkara mudah: sudah sejak 1930 negara-negara tidak berhasil bersepakat mengenai definisinya. Juga International Law Commission PBB, yang mempersiapkan rancangan konvensi untuk Konperensi Hukum Laut PBB 1958, gagal memberikan manusan. Lalu bagaimana? Sembari berjalan menuju peta yang terhampar di sebuah papan tulis lebar, Mochtar ketua delegasi Indonesia ke Konperensi Hukum Laut III - mengatakan bahwa bagi Indonesia sebenarnya "tinggal tarik garis saja" -- maksudnya garis-garis pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau atau bagian pulau terluar. "Urusan belakang", sela guru besar ini. Untuk memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia toh tidak menunggu sampai segala-galanya lengkap dulu, katanya. Sebenarnya Pemerintah waktu itu sudah membentuk sebuah panitia antar departemen untuk menyelesaikan masalah hukum laut Indonesia ini. Konsep Panitia yang diketuai oleh Kolonel Pirngadi ini berbeda dengan konsep Mochtar. Dicanangkan, laut teritorial akan menjadi 12 mil, tetapi tetap berdasar garis air rendah dari tiap-tiap pulau. Mochtar, pada pertemuan Sabtu itu, tak menyembunyikan kesulitan kedudukannya. Karena ia pun duduk dalam panitia yang resmi itu. Toh kesulitan tersebut buyar dengan sendirinya, ketika konsepnya kemudian menjadi Deklarasi Djuanda. Deklarasi menegaskan bahwa wilayah negara tidak hanya daratan plus pinggang laut teritorial masing-masing pulau. Tapi meliputi satu kesatuan daratan dan perairan yang menghubungkan segenap pulau, tanpa memandang jarak ataupun luasnya. Ini memang tindakan radikal. Berlayar Terus Dengan suara yang cukup keras, walaupun panitia ada menyodorkan mik tanpa kabel, Mochtar mengisahkan sejarah Deklarasi Djuanda hingga sampai menjadi Undang-Undang Perairan Indonesia 1960, dan kemudian menjelma dalam TAP MPR 1973. Di masa-masa itu Indonesia masih sibuk dengan kegawatan dalam negeri akibat pemberontakan. Sementara itu negara tersebut harus menentukan sikap tegas dalam menghadapi Konperensi Hukum Laut Jenewa, 1958 aan 1960. Masa ekstrim juga membayangi Konsepsi Nusantara tersebut. Sebab berbagai wawasan muncul pula, seperti Wawasan Dirgantara (AURI), Wawasan Bahari (ALRI) -- yang menurut Mochtar mengarah pada perpecahan. Kayaknya mereka hanya mementingkan bidang sendiri-sendiri. Padahal, "mana mungkin sebuah pesawat terbang terus di angkasa tanpa turun ke pangkalan, atau sebuah kapal berlayar terus tanpa kembali ke basis". Itulah sebabnya integrasi ABRI dewasa ini dipandangnya sebagai hal yang cocok dengan WN. Tahap kedua adalah bagaimana menjual klaim unilateral tersebut. Di sini terlihat besarnya pengakuan negara tetangga. "Bagaimana bisa mendapat pengakuan internasional, kalau negara tetangga saja memprotes", kata Mochtar sambil berjalan kembali menuju podium. Maka diadakanlah perjanjian batas laut wilayah dengan negara-negara yang berdekatan. Bermanja-manja Kemudian soal kekayaan alam di bawah laut. "Kalau Presiden Truman bisa masuk sejarah hukum internasional, kenapa presiden kita tidak?", fikir Mochtar waktu itu. Truman dengan proklamasinya memberikan pengarahan baru dalam pemanfaatan laut. Disebutkan bahwa demi kepentingan pencadangan energi AS, segala kekayaan alam yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya, di luar laut teritorial, sampai ke dalaman 200 meter (atau lebih dari itu sejauh kedalaman laut masih memungkinkan dilakukannya eksploitasi kekayaan alam) tunduk pada yurisdiksi negara itu. Bagian bumi tersebut dinamakan landas kontinen. Proklamasi yang sama juga dibuat oleh pemerintah Indonesia, dus Suharto masuk juga dalam sejarah hukum internasional. Pemerintah mengeluarkan Pengumuman tentang Landas Kontinen Indonesia, 17 Pebruari 1969. Ini dirangkaikan pula dengan persetujuan dengan negara-negara jiran tentang pembatasan landas kontinen masing-masing. Bagi Wawasan Nusantara (WN) sendiri, persetujuan dengan negara-negara tersebut (India, Malaysia, Muangthai dan Australia), secara tak langsung telah merupakan pengakuan pada WN. Sebab yang jadi basis bagi pengukuran landas kontinen adalah prinsip-prinsip yang dituangkan sejak Djuanda. Dan Pertamina pun amanlah menjalankan eksplorasi dan eksploitasi di suatu daerah yang biarpun di luar Indonesia, tapi kekayaan alamnya merupakan kekayaan alam Indonesia. Kalau sudah sejauh itu, masih perlukah WN mendapat pengakuan internasional? Dan buat apa? "Untuk sejauh mungkin mengurangi terjadinya konflik", jawab Mochtar. Ia membandingkannya dengan Eslandia, negeri yang 90% kehidupan ekonominya tergantung pada ikan, yang mengklaim zone perikanan negerinya dengan 200 mil --pada saat zone ekonomi 200 mil hampir diakui pula secara universil. Ketika terjadi sengketa dengan Inggeris, karena nelayan-nelayan negeri ini sudah biasa bermanja-manja di perairan orang, Eslandia dengan mudah dirnenangkan oleh Mahkamah Internasional. Bolak-Balik Konsepsi negara kepulauan, baru merupakan urusan sungguh-sungguh negara-negara Pilipina, Mauritius, Fiji dan Bahama, di samping Indonesia. Padahal ada juga negara-negara berbumi serupa (Inggeris, Jepang) tapi tak pernah mau pusing dengan konsepsi tersebut. Ini menurut Mochtar salah satu faktor yang menghambat perkembangan si konsepsi. Tapi untunglah dengan ikutnya Fiji, negara-negara Commonwealth telah menyatakan dukungan mereka. Setidak-tidaknya Inggeris tidak lagi menentang terang-terangan. Mauritius telah membawa banyak sokongan dari negara-negara Afrika. Dan dengan turutnya Bahama, AS tak begitu keras lagi bersikap anti terhdap konsepsi kepulauan tersebut. "Ini merupakan campuran perjuangan antara politik, hukum dan diplomasi", kata Mochtar sambil memandang ke arah Achmad Subardjo - yang menurut Mochtar tempat ia berguru diplomasi. Bangsa Petani Alhasil Mochtar menyimpulkan komposisi sikap negara-negara terhadap WN atau konsepsi negara kepulauan. Pertama, kelompok yang walaupun acuh tak acuh tapi menyokong Indonesia. Kedua, negara-negara yang punya kepentingan perikanan di laut, misalnya. Yang ketiga adalah negara maritim yang berindustri maju, dan keempat negara super power. Dari kesemuanya, menurut Mochtar, tak ada yang menolak WN secara prinsipil. Misalnya mengenai garis pangkal yang terpanjang, AS minta 80 mil, tapi Indonesia tetap bertahan 100 mil. Juga usul mereka supaya innocent passage diganti menjadi transit passage. Soalnya kapal selam nuklir sekarang tidak muncul di permukaan. Sedang dalam innocent passage kapal selam harus berada di permukaan air. Nah semua ini sedang dipelajari. Sementara itu Ketua Delegasi AS ke Konperensi Hukum Laut akan datang ke Indonesia. Sedang Mochtar sendiri diundang ke Moskow. Tapi Mochtar benar: Indonesia memang tak amat tergantung pada konperensi hukum laut. Yang penting tentu saja, adalah implementasi WN daiam segala bentuk kegiatan dalam negeri. Di samping minyak, bahan mineral lain suatu ketika mungkin perlu dikeruk dari dasar laut. (Perhitungan sekarang menunjukkan usaha itu amat tidak menguntungkan, lagi pula sumber-sumber alam di daratan masih berlimpah). Lalu bidang perikanan. Apa pengaruh yang dialaminya setelah WN efektif? Tak kalah menarik adalah peresapan faktor laut (yang bahkan dominan) dalam konteks kehidupan sehari-hari di bumi Indonesia. Apa lagi oleh orang-orang resmi. Peta-peta yang bertebaran di mana-mana, juga hingga sekarang baru menonjolkan unsur daratan. Bahkan belum semua undang-undang, yang ada kaitannya dengan wilayah, menunjuk pada WN yang sudah tertuang dalam hukum positif itu. Sarnpai mana kewenangan seorang gubernur - sebagai kepala daerah tingkat I - di laut, plus terhadap kekayaan alam yang terdapat di bawah (seperti bahan-bahan galian golongan C)? Tentu, bukan berarti semua orang Indonesia harus jadi pengarung samudera atau pemukat ikan. Tapi toh Mochtar yang juga Menteri Kehakiman itu tepat ketika mengatakan: "Kita bangsa pelaut. Kolonialis saja yang bilang kita bangsa petani".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus