DARI kursi-kursi tua di Taman Pejambon, 13 Desember 1957 malam
terdengar percakapan begini:
"Jadi berapa lebar laut teritorial tali".
"Dua belas mil".
"Kenapa tidak 17 saja?"
"Yang ini saja bakal dapat reaksi".
Si penanya adalah Chaerul Saleh, Menteri Veteran, dan si
tertanya Mochtar Kusumaatmadja, SH. LL.M, seorang dosen muda.
Keduanya kemudian masuk ke dalam ruang sidang kabinet. Tak lama,
Mochtar keluar. Malam itu juga selesai sidang kabinet diputuskan
bahwa lebar laut teritorial Indonesia sejak saat itu menjadi 12
mil. diukur dari titik-titik terluar pulau atau hagian pulau
terluar Indonesia. Keputusan ini tercantum dalam Pengumuman
Pemerintah tentang Perairan Indonesia, jamak disebut Deklarasi
Djuanda.
Duapuluh tahun kemudian, Mochtar Kusumaatmadja, guru besar pada
FH Unpad dan UI menceritakan sejarah Konsepsi Nusantara (secara
umum namanya Konsepsi Negara Kepulauan) sampai menjadi Wawasan
Nusantara. Memenuhi pemlintaan Yayasan Idayu & Yayasan
Gedung-Gedung Bersejarah & Museum Kebangkitan Nasional Mochtar
menekankan bahwa ceramahnya lebih menekankan aspek sejarah
daripada hukum. Walaupun hadirin tidak melimpah mau, orang-orang
seperti Achmad Subardjo, bekas menlu dan ketua delegasi
Indonesia ke Konperensi Hukum Laut I dan II PBB. Sunarjo. bekas
menlu, Bung Tomo dan Nyonya Chaerul Saleh, cukup memberi kesan
kesejarahan pada pertemuan Sabtu pagi dua pekan lalu itu.
Kantong Laut
Coba jadikan Laut Jawa menjadi laut pedalaman Mochtar mengulang
ucapan Chaerul kepadanya. Mochtar waktu itu menjawab: "Kita akan
coba". Tapi Chaerul menginginkan jawaban yang lebih tegas lagi.
Akhirnya Mochtar mengerti dan segera teringat pada kasus
perikanan Norwegia-lnggeris 1951. Di situ Nowegia - yang
pantainya berliku-liku ditaburi pulau-pulau kecil, dimenangkan
oleh Mahkamah Internasional dalam menggunakan sistem penarikan
garis-garis lurus yang ditarik lari ujung ke ujung pulau-pulau
terluar.
Garis-garis lurus itu menjadi dasar untuk menentukan laut
teritorial. Lepas dari kontroversi lebar laut teritorial yang
diterima umum, sistim garis pangkal ini adalah lawan dari sistim
garis air surut dari tiap-tiap pulau. Pada yang belakangan ini
tiap-tiap pulau mempunyai laut teritorial sendiri, dengan akibat
adanya kantong laut lepas antara pulau-pulau. Pada yang pertama
kantong-kantong laut ini tidak lagi berstatus laut lepas, tapi
laut pedalaman. Perbedaan status laut ini jelas ada: laut
pedalaman merupakan wilayah negara pantai.
Keputusan Mahkamah Internasional itu cukup berwibawa, hingga
Konperensi Hukum Laut Jenewa 1958 menuangkannya ke dalam
Konvensi mengenai Lebar Laut Teritorial dan Jalur Tambahan. Tapi
toh bumi Norwegia tidak sama dengan bumi Indonesia. Sebab,
biarpun ada pulau-pulau di seputarnya, Norwegia tak dapat
dikatakan negara kepulauan seperti Indonesia atau Pilipina, atau
Jepang, atau Inggeris. Pulau-pulau pada negara Norwegia hanya
menambah bagian utama wilayah yang terletak di pinggir sebuah
benua. Sama juga dengan India, biarpun ada beberapa pulau di
sekitarnya, wilayah utamanya adalah benua.
Urusan Belakang
Dapatkah kasus Norwegia diterapkan pada negara-negara kepulauan
di tengah laut (mid ocean archipelago) seperti Indonesia dkk.?
Para sarjana banyak yang menentang hal ini. Perkara kepulauan
bukan perkara mudah: sudah sejak 1930 negara-negara tidak
berhasil bersepakat mengenai definisinya. Juga International Law
Commission PBB, yang mempersiapkan rancangan konvensi untuk
Konperensi Hukum Laut PBB 1958, gagal memberikan manusan.
Lalu bagaimana? Sembari berjalan menuju peta yang terhampar di
sebuah papan tulis lebar, Mochtar ketua delegasi Indonesia ke
Konperensi Hukum Laut III - mengatakan bahwa bagi Indonesia
sebenarnya "tinggal tarik garis saja" -- maksudnya garis-garis
pangkal lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pulau atau
bagian pulau terluar. "Urusan belakang", sela guru besar ini.
Untuk memproklamasikan kemerdekaan, Indonesia toh tidak menunggu
sampai segala-galanya lengkap dulu, katanya.
Sebenarnya Pemerintah waktu itu sudah membentuk sebuah panitia
antar departemen untuk menyelesaikan masalah hukum laut
Indonesia ini. Konsep Panitia yang diketuai oleh Kolonel
Pirngadi ini berbeda dengan konsep Mochtar. Dicanangkan, laut
teritorial akan menjadi 12 mil, tetapi tetap berdasar garis air
rendah dari tiap-tiap pulau. Mochtar, pada pertemuan Sabtu itu,
tak menyembunyikan kesulitan kedudukannya. Karena ia pun duduk
dalam panitia yang resmi itu. Toh kesulitan tersebut buyar
dengan sendirinya, ketika konsepnya kemudian menjadi Deklarasi
Djuanda. Deklarasi menegaskan bahwa wilayah negara tidak hanya
daratan plus pinggang laut teritorial masing-masing pulau. Tapi
meliputi satu kesatuan daratan dan perairan yang menghubungkan
segenap pulau, tanpa memandang jarak ataupun luasnya. Ini memang
tindakan radikal.
Berlayar Terus
Dengan suara yang cukup keras, walaupun panitia ada menyodorkan
mik tanpa kabel, Mochtar mengisahkan sejarah Deklarasi Djuanda
hingga sampai menjadi Undang-Undang Perairan Indonesia 1960,
dan kemudian menjelma dalam TAP MPR 1973. Di masa-masa itu
Indonesia masih sibuk dengan kegawatan dalam negeri akibat
pemberontakan. Sementara itu negara tersebut harus menentukan
sikap tegas dalam menghadapi Konperensi Hukum Laut Jenewa, 1958
aan 1960.
Masa ekstrim juga membayangi Konsepsi Nusantara tersebut. Sebab
berbagai wawasan muncul pula, seperti Wawasan Dirgantara (AURI),
Wawasan Bahari (ALRI) -- yang menurut Mochtar mengarah pada
perpecahan. Kayaknya mereka hanya mementingkan bidang
sendiri-sendiri. Padahal, "mana mungkin sebuah pesawat terbang
terus di angkasa tanpa turun ke pangkalan, atau sebuah kapal
berlayar terus tanpa kembali ke basis". Itulah sebabnya
integrasi ABRI dewasa ini dipandangnya sebagai hal yang cocok
dengan WN.
Tahap kedua adalah bagaimana menjual klaim unilateral tersebut.
Di sini terlihat besarnya pengakuan negara tetangga. "Bagaimana
bisa mendapat pengakuan internasional, kalau negara tetangga
saja memprotes", kata Mochtar sambil berjalan kembali menuju
podium. Maka diadakanlah perjanjian batas laut wilayah dengan
negara-negara yang berdekatan.
Bermanja-manja
Kemudian soal kekayaan alam di bawah laut. "Kalau Presiden
Truman bisa masuk sejarah hukum internasional, kenapa presiden
kita tidak?", fikir Mochtar waktu itu. Truman dengan
proklamasinya memberikan pengarahan baru dalam pemanfaatan laut.
Disebutkan bahwa demi kepentingan pencadangan energi AS, segala
kekayaan alam yang terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya,
di luar laut teritorial, sampai ke dalaman 200 meter (atau lebih
dari itu sejauh kedalaman laut masih memungkinkan dilakukannya
eksploitasi kekayaan alam) tunduk pada yurisdiksi negara itu.
Bagian bumi tersebut dinamakan landas kontinen.
Proklamasi yang sama juga dibuat oleh pemerintah Indonesia, dus
Suharto masuk juga dalam sejarah hukum internasional. Pemerintah
mengeluarkan Pengumuman tentang Landas Kontinen Indonesia, 17
Pebruari 1969. Ini dirangkaikan pula dengan persetujuan dengan
negara-negara jiran tentang pembatasan landas kontinen
masing-masing. Bagi Wawasan Nusantara (WN) sendiri, persetujuan
dengan negara-negara tersebut (India, Malaysia, Muangthai dan
Australia), secara tak langsung telah merupakan pengakuan pada
WN. Sebab yang jadi basis bagi pengukuran landas kontinen adalah
prinsip-prinsip yang dituangkan sejak Djuanda.
Dan Pertamina pun amanlah menjalankan eksplorasi dan eksploitasi
di suatu daerah yang biarpun di luar Indonesia, tapi kekayaan
alamnya merupakan kekayaan alam Indonesia.
Kalau sudah sejauh itu, masih perlukah WN mendapat pengakuan
internasional? Dan buat apa? "Untuk sejauh mungkin mengurangi
terjadinya konflik", jawab Mochtar. Ia membandingkannya dengan
Eslandia, negeri yang 90% kehidupan ekonominya tergantung pada
ikan, yang mengklaim zone perikanan negerinya dengan 200 mil
--pada saat zone ekonomi 200 mil hampir diakui pula secara
universil. Ketika terjadi sengketa dengan Inggeris, karena
nelayan-nelayan negeri ini sudah biasa bermanja-manja di
perairan orang, Eslandia dengan mudah dirnenangkan oleh Mahkamah
Internasional.
Bolak-Balik
Konsepsi negara kepulauan, baru merupakan urusan sungguh-sungguh
negara-negara Pilipina, Mauritius, Fiji dan Bahama, di samping
Indonesia. Padahal ada juga negara-negara berbumi serupa
(Inggeris, Jepang) tapi tak pernah mau pusing dengan konsepsi
tersebut. Ini menurut Mochtar salah satu faktor yang menghambat
perkembangan si konsepsi.
Tapi untunglah dengan ikutnya Fiji, negara-negara Commonwealth
telah menyatakan dukungan mereka. Setidak-tidaknya Inggeris
tidak lagi menentang terang-terangan. Mauritius telah membawa
banyak sokongan dari negara-negara Afrika. Dan dengan turutnya
Bahama, AS tak begitu keras lagi bersikap anti terhdap konsepsi
kepulauan tersebut. "Ini merupakan campuran perjuangan antara
politik, hukum dan diplomasi", kata Mochtar sambil memandang ke
arah Achmad Subardjo - yang menurut Mochtar tempat ia berguru
diplomasi.
Bangsa Petani
Alhasil Mochtar menyimpulkan komposisi sikap negara-negara
terhadap WN atau konsepsi negara kepulauan. Pertama, kelompok
yang walaupun acuh tak acuh tapi menyokong Indonesia. Kedua,
negara-negara yang punya kepentingan perikanan di laut,
misalnya. Yang ketiga adalah negara maritim yang berindustri
maju, dan keempat negara super power.
Dari kesemuanya, menurut Mochtar, tak ada yang menolak WN secara
prinsipil. Misalnya mengenai garis pangkal yang terpanjang, AS
minta 80 mil, tapi Indonesia tetap bertahan 100 mil. Juga usul
mereka supaya innocent passage diganti menjadi transit passage.
Soalnya kapal selam nuklir sekarang tidak muncul di permukaan.
Sedang dalam innocent passage kapal selam harus berada di
permukaan air. Nah semua ini sedang dipelajari. Sementara itu
Ketua Delegasi AS ke Konperensi Hukum Laut akan datang ke
Indonesia. Sedang Mochtar sendiri diundang ke Moskow.
Tapi Mochtar benar: Indonesia memang tak amat tergantung pada
konperensi hukum laut. Yang penting tentu saja, adalah
implementasi WN daiam segala bentuk kegiatan dalam negeri. Di
samping minyak, bahan mineral lain suatu ketika mungkin perlu
dikeruk dari dasar laut. (Perhitungan sekarang menunjukkan usaha
itu amat tidak menguntungkan, lagi pula sumber-sumber alam di
daratan masih berlimpah). Lalu bidang perikanan. Apa pengaruh
yang dialaminya setelah WN efektif?
Tak kalah menarik adalah peresapan faktor laut (yang bahkan
dominan) dalam konteks kehidupan sehari-hari di bumi Indonesia.
Apa lagi oleh orang-orang resmi. Peta-peta yang bertebaran di
mana-mana, juga hingga sekarang baru menonjolkan unsur daratan.
Bahkan belum semua undang-undang, yang ada kaitannya dengan
wilayah, menunjuk pada WN yang sudah tertuang dalam hukum
positif itu. Sarnpai mana kewenangan seorang gubernur - sebagai
kepala daerah tingkat I - di laut, plus terhadap kekayaan alam
yang terdapat di bawah (seperti bahan-bahan galian golongan C)?
Tentu, bukan berarti semua orang Indonesia harus jadi pengarung
samudera atau pemukat ikan. Tapi toh Mochtar yang juga Menteri
Kehakiman itu tepat ketika mengatakan: "Kita bangsa pelaut.
Kolonialis saja yang bilang kita bangsa petani".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini