YANG sibuk tapi berkepala dingin dalam soal "Palapa" adalah
Menteri Emil Salim. Langkahnya menunjukkan kesan bahwa ia
mengendalikan persoalan ruwet ini dengan tenang dan hati-hati.
Ia tidak menganggap laporan harian New York Times itu hanya
sekedar sensasi murahan.
Ia tidak mencoba mengada-ada untuk membela diri. Sebaliknya ia
juga ingin mengetuk hati nurani masyarakat untuk tetap berpegang
pada prinsip hukum the presumption of innocence: Jangan dulu
menjatuhkan vonnis bersalah sebelum terbukti bersalah.
Emil Salim pernah jadi kolomnis suratkabar dan majalah. Mungkin
karena itu keterangannya kepada DPR awal Pebruari memberikan
kesan, bahwa ia mengerti seluk-beluk jurnalisme. Berita NYT,
katanya, "jangan ditafsirkan sepotong-sepotong, tetapi harus
dilihat secara keseluruhan. . . Kita jangan terlalu cepat
mengambil langkah untuk menuduh, membawa ke pengadilan . . .
Yang dituntut siapa?"
***
Seperti juga keterangan Emil Salim yang belum menganggap
persoalan ini berakhir sampai di sini, sangkaan yang dilontarkan
dalam NYT itu pun belum sepenuhnya konklusif. "Tidak dapat
dipastikan secara independen bahwa uang memang telah dibayarkan
oleh Hughes Aircraft... Juga tidak diketahui berapa besar
pembayaran itu dan kepada siapa", kata laporan itu.
Tetapi bila kita telaah tulisan Seymour M. Hersh ini, jelas
laporan itu telah memenuhi syarat jurnalistik. Ia melakukan apa
yang disebut cover both sides, meminta keterangan kepada kedua
fhak yang bertentangan. Ia bahkan mencari penjelasan dari semua
fihak: bantahan, atau sekurang-kurangnya penjelasan, para
pejabat Eximbank A.S., kalangan pemerintah dan swasta Indonesia
termasuk Emil Salim, para pejabat Kedutaan Besar A.S. di Jakarta
dan pemimpin General Telephone and Electronics.
Walaupun demikian, kesangsian Emil Salim bahwa "... yang
dituntut siapa?" tidak boleh dilewatkan begitu saja. Wartawan
Hersh menyebutkan sejumlah nama - di samping ada yang
identitasnya minta dilindungi - sebagai sumber pemberitaan ini.
Kalaupun mereka tidak hendak dituntut di depan pengadilan,
setidaknya kita patut meminta kepada mereka keterangan yang
lebih terperinci tentang sangkaan yang pahit ini.
Tanpa usaha ini, tanpa tindakan yang menghentikan persoalan itu
terus-menerus mengapung di udara, orang pada masa depan yang
lama akan selalu mengenang proyek Palapa sebagai sumber korupsi.
Sebetulnya NYT bukan yang pertama kali melontarkan sangkaan
penyuapan dalam kontrak jual-beli Palapa. Menjelang peluncuran
satelit komunikasi ini awal Juli tahun lalu telah beredar
mimeograf Pacifc Research dari Pusat Pengkajian Pasifik di East
Palo Alto, California. Tinjauan mengenai Palapa yang dimuat
dalam penerbitan Mei-Juni 1976 menyinggung sepintas-lalu
desas-desus penyogokan, tanpa menyebutkan siapa yang meminta,
siapa yang menerima dan berapa jumlahnya.
Juga Palapa bukan satu-satunya proyek yang jadi sorotan.
Menjelang akhir 1975, pemberitaan di berbagai suratkabar A.S.
mengutip dokumen yang terkumpul pada Subkomisi Senat, tentang
penyelidikan sogok-menyogok oleh Lockheed Aircraft Corporation
kepada sejumlah pejabat Indonesia.
Cerita suap-menyuap memang semakin dapat perhatian dalam pers
A.S. selama dua tahun terakhir. Presiden Ford dan Kongres
bertekad untuk mengakhiri korupsi perusanaan multinasional dalam
perdagangan internasional mereka. Soal ini juga dijadikan
resolusi oleh Majelis Umum PBB Desember 1975. Resolusi itu
"mengutuk semua praktek korupsi, termasuk penyogokan oleh
perusahaan transnasional dan lainnya, oleh fihak perantara serta
fihak lain yang terlibat". Baik negara tempat asal perusahaan
maupun pemerintah tuan rumah diserukan supaya "melakukan segala
tindakan yang perlu dan sepadan untuk mencegah praktek serupa
itu".
Dasar moral untuk itu tercermin dalam pendapat Mark B. Feldman,
wakil penasihat hukum Departemen Luar Negeri A.S. "Tidak
disangsikan lagi praktek penyogokan, pemerasan dan penggunaan
pengaruh . . . memperbesar biaya barang serta jasa di semua
negara, terutama di negara berkembang yang lebih sedikit lagi
kemampuannya untuk menanggung beban tambahan itu dalam neraca
pembayarannya. Lagi pula praktek korupsi . . . merusak
kepercayaan masyarakat . . . ".
Sorotan terhadap praktek begitu di Indonesia hanyalah akibat
logis dari kesibukan internasional untuk membereskan masalah
ini. Kasak-kusuk pers dunia tentang penyuapan di Indonesia hanya
mungkin berakhir, jika image dan kenyataan yang ada sekarang
berubah.
Lalu mungkin setelah itu kita bisa menuntut siapa saja yang
memfitnah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini