SEKITAR seribu mahasiswa IAIN Walisongo cabang Pekalongan dan Kudus menggelar poster dan mengadakan acara pembakaran keranda bambu berisi sampah, Jumat dan Sabtu dua pekan lalu. Mereka memprotes Surat Keputusan Menteri Agama tahun 1992 tentang relokasi kedua kampus itu. Keduanya harus dipindahkan ke Solo. ''Kami tak mau dipindah-pindahkan seperti anak kucing. Setiap kali diboyong ke mana saja oleh induknya,'' demikian antara lain bunyi poster yang digelar di Kudus. Aksi unjuk rasa serentak di dua kampus IAIN itu, seperti sudah dipersiapkan sebelumnya, mengundang perhatian sejumlah mahasiswa dan dosen. Ratusan mahasiswa yang tengah mengikuti kuliah pun buyar meninggalkan dosennya menuju tengah lapangan. Pokoknya, ''Kami menolak relokasi,'' kata Nunik, mahasiswa Ushuluddin di Kudus. ''Kami harap Menteri Agama mencabut SK relokasi itu.'' Inilah puncak kekesalan mahasiswa setelah gagal menempuh jalur musyawarah. Sebelumnya, senat mahasiswa dari Pekalongan, berbekal tanda tangan sejumlah ulama, ormas Muhammadiyah dan NU, serta organisasi HMI, IMM, dan PMII, sebenarnya sudah mencoba menghubungi Menteri Tarmizi Taher bulan April lalu. Upaya itu gagal. Padahal, mereka menolak pindah kampus dari kedua kota itu. ''IAIN ini satu-satunya perguruan tinggi negeri dan jadi kebanggaan Pekalongan,'' kata seorang mahasiswa. Menurut SK Menteri Agama yang diteken Menteri Agama Munawir Sjadzali 15 Juli 1992, kampus IAIN Walisongo cabang Pekalongan dan Kudus harus diboyong ke cabang Surakarta yang baru berdiri tahun lalu. Kedua IAIN itu memiliki Fakultas Syariah (di Pekalongan) dan Ushuluddin di (Kudus) akan ditutup pelan- pelan. Keduanya tak boleh menerima mahasiswa baru. Ini dilakukan, menurut Menteri Munawir dalam amar pertimbangan putusannya, semata untuk meningkatkan mutu dan memenuhi daya tampung. Jadi, ''Ini memang untuk meningkatkan kualitas,'' kata Agustiar, Direktur Perguruan Tinggi Agama Departemen Agama. Yang menolak pemindahan IAIN Pekalongan dan Kudus itu bukan cuma mahasiswa. Beberapa dosen dan staf administrasi yang dihubungi TEMPO juga enggan pindah. Bahkan, tahun lalu IAIN Pekalongan masih ''membangkang'': menerima 170 mahasiswa baru. Tapi keputusan menteri itu toh harus dilaksanakan. Maka, Rozikin Daman, Pembantu Dekan II IAIN Pekalongan, kini tak bisa berbuat lain. ''Sebagai pegawai negeri, kami harus bersedia ditempatkan di mana saja,'' katanya. Begitu pula Mustofa Sonhadji, Dekan Fakultas Ushuluddin di Kudus. ''Terus terang kami harus tetap mengamankan,'' katanya, ''karena kami berada dalam satu sistem.'' Namun, Rozikin tetap menyayangkan relokasi. Dua IAIN cabang itu merupakan cikal bakal berdirinya IAIN Walisongo di Semarang tahun 1970. Dalam sejarahnya, semula IAIN Pekalongan berdiri di Bumiayu, tahun 1969. Kemudian, dengan alasan untuk meningkatkan kualitas, kampusnya dipindah ke Pekalongan tahun 1973. Begitu pula IAIN Kudus, yang berdiri tahun 1967. Mulanya IAIN ini cabang dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. IAIN Semarang lantas memboyong Fakultas Tarbiyah dari Kudus dan mengembangkan Fakultas Syariah. IAIN Semarang lalu menjadi induknya. Maka, wajar bila mahasiswa, beberapa dosen, dan sejumlah tokoh masyarakat keberatan atas pemindahan IAIN itu ke cabang Solo. ''Kami sedih karena banyak di antara kami yang sudah mengkredit rumah di sini,'' kata Rozikin. ''Pengalaman pindah dari Bumiayu ke Pekalongan dulu sangat berat,'' kata seorang staf administrasi di Pekalongan. Dan Bupati Kudus Sudarsono juga kesal karena tak diajak bicara. ''Relokasi itu penting. Mengapa tak melibatkan pemda?'' kata Gubernur Jawa Tengah Ismail. ''Harga suatu stabilitas itu mahal,'' katanya. Rencana mendirikan IAIN di Solo itu sendiri sudah lama. Menurut K.H. Ali Darokah, Ketua MUI Solo, dalam beberapa kali pertemuan, Menteri Munawir Sjadzali (ketika itu) menginginkan bangkitnya Mambaul Ulum, sebuah sekolah agama yang melahirkan sejumlah ulama terkenal dan menteri. Untuk itu, perlu didirikan IAIN. Caranya, seperti kata Kiai Ali, ''Adalah menarik IAIN yang sepi.'' Akhirnya, dipilihlah Pekalongan dan Kudus itu. Tapi rupanya, kata Mustofa, yang juga menjabat Dekan Ushuluddin IAIN Solo, proses belajar-mengajar di Solo kini, ya, sama saja. ''Sebagian besar dosennya juga dari Pekalongan, Kudus, dan Semarang,'' katanya. Sebenarnya, relokasi itu bukan hal baru. Sebelumnya, IAIN Sunan Ampel sudah menarik Fakultas Tarbiyah dari Bojonegoro ke Surabaya, tahun 1986. Dan itu dilakukan tanpa perlu surat keputusan menteri segala. Menurut Bisri Effendi, Rektor IAIN Sunan Ampel, relokasi atau rasionalisasi memang diperlukan, sebab IAIN cabang tak kompetitif dan sulit maju. ''Kalau perlu, semua cabang ditarik saja ke induknya,'' katanya. Sedangkan menurut Mastuhu, Pembantu Rektor IAIN Jakarta, sebenarnya yang diperlukan adalah restrukturisasi. ''Yang diperlukan adalah bentuk universitas, supaya lebih bisa mengantisipasi perkembangan,'' katanya. Menurut Agustiar, rencananya, Departemen Agama akan melakukan penataan kelembagaan IAIN di seluruh Indonesia mulai tahun depan. ''Di setiap IAIN nanti tak akan ada fakultas yang punya cabang di daerah,'' katanya. ''Malah akan ada fakultas yang dihapus,'' ujarnya. Agus Basri, Bina Bektiati, Kelik M. Nugroho, dan Bandelan Amaruddin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini