Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jurmlah korban kekerasan seksual di kampus naik dalam empat tahun terakhir.
Satgas PPKS tak tuntas menyelesaikan laporan kekerasan seksual.
Polisi bahkan menghentikan laporan kekerasan seksual dengan alasan kedaluwarsa.
BERANGKAT dari Pekanbaru, Riau, WJ tetap meyakini kasus kekerasan seksual yang menimpanya harus tuntas di tangan polisi. Pada Selasa, 19 November 2024, ia mendatangi Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk mengkonsultasikan kasusnya yang sebelumnya dihentikan penanganannya oleh Kepolisian Resor Kota Pekanbaru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WJ, 26 tahun, merupakan korban pelecehan seksual di kampusnya, Universitas Islam Riau (UIR). Ia menuduh dekannya, SAL, sebagai pelaku. Peristiwanya terjadi pada 22 Februari 2024. Kasus ini dilaporkan kepada Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) UIR pada 25 Agustus 2024. WJ juga mengadu kepada polisi lima hari kemudian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, Polresta Pekanbaru belakangan menghentikan penyelidikan. Itu sebabnya WJ mendatangi Bareskrim Polri untuk mengadukan Polresta Pekanbaru dan Kepolisian Daerah Riau. “Saya enggak mau menyerah,” ujarnya sambil meneteskan air mata setelah mengadu kepada Bareskrim.
WJ tak rela jika SAL masih menghirup udara bebas. Dia mengungkapkan, perbuatan SAL telah membuat kondisi psikologisnya terganggu. Apalagi SAL juga dituding pernah melakukan pelecehan seksual secara verbal kepada WJ pada 2021. Akibat berulangnya pelecehan itu, WJ merasa sedih dan kehilangan harapan selama berbulan-bulan. Ia juga menjadi kesulitan menahan emosi. Traumanya tak kunjung hilang meski ia sudah berlibur ke Jakarta.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polresta Pekanbaru Komisaris Berry Juana Putra mengatakan polisi sudah dua kali melakukan gelar perkara di Polda Riau. Gelar perkara pertama berlangsung pada Selasa, 1 Oktober 2024. Hasilnya adalah penerbitan surat rekomendasi agar penyelidik menggelar prarekonstruksi perkara dan mendalami keterangan para saksi. Total ada 11 saksi yang diperiksa, antara lain korban, pelaku, saksi mata di lokasi kejadian, dan anggota Satgas PPKS UIR. Tapi tak ada keterangan saksi yang mendukung WJ telah dilecehkan SAL.
Polisi akhirnya memutuskan unsur pencabulan dalam kasus ini tidak terpenuhi. Penyelidikan pun dihentikan lantaran WJ baru melaporkan kasus tersebut enam bulan selepas kejadian. Kesimpulan ini diambil dalam gelar perkara kedua di Polda Riau pada Kamis, 7 November 2024. “Sesuai dengan Pasal 74 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, laporannya sudah kedaluwarsa,” ucap Komisaris Berry.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Promosi Universitas Islam Riau Harry Setiawan mengatakan Satgas PPKS mulai memproses laporan WJ pada September 2024. Satgas telah menerbitkan rekomendasi, tapi Harry mengaku tak mengetahui isinya. Harry memaparkan, laporan WJ tinggal menunggu keputusan Rektor UIR Syafrinaldi. “Satgas sudah menyelesaikan tugasnya dan mengirimkan rekomendasi kepada Rektor,” tuturnya. Tapi hingga kini isi rekomendasi itu tak pernah terpublikasi.
Angka kekerasan seksual di kampus masih tinggi. Sejak pemberlakuan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, sebanyak 160 satgas PPKS kampus swasta dan negeri sudah menyelesaikan 354 kasus. Di antaranya 229 kasus berujung rekomendasi sanksi kepada pelaku. Sementara itu, saat ini ada 269 kasus yang penanganannya masih berjalan.
Kasus kekerasan seksual juga terjadi di Fakultas Musik Universitas Pelita Harapan (UPH), Tangerang, Banten. Sejumlah mahasiswa perempuan Program Studi Musik beberapa waktu lalu mengaku dilecehkan oleh dosen berinisial MS. Cerita ini diungkap oleh seorang guru piano, Airin Efferin. Ia mengaku menerima kabar sejumlah murid musiknya menjadi korban perbuatan mesum MS. “Pelecehan seksual itu sudah bertahun-tahun dilakukan,” ujarnya.
Mahasiswa Universitas Pelita Harapan melakukan deklarasi bebas dari kekerasan seksual di Universitas Pelita Harapan kampus Lippo Village, Tangerang, 7 Maret 2024/DOK. UPH
Setelah cerita itu muncul, satu per satu alumnus Program Studi Musik UPH yang merasa menjadi korban kekerasan seksual mulai unjuk diri. HE, misalnya, menceritakan seorang dosen drum berinisial AC pernah meraba dada dan punggungnya pada 2005. Pada waktu itu pelaku tengah memberikan materi kuliah di dalam kampus. Mulanya korban mengira apa yang dilakukan AC adalah bagian dari teknik mengajar. Tapi lama-lama sentuhan tangan pelaku membuat korban tak nyaman.
HE kembali menjadi korban pelecehan setahun berikutnya. Pelakunya kali ini adalah dosen gitar berinisial BT. Ia menggunakan modus yang sama seperti AC, yakni menyentuh tubuh korban seolah-olah sedang mengajarkan teknik memegang alat musik. “Aku takut dan sebenarnya malu menceritakan ini,” tuturnya.
Seorang mantan mahasiswa lain berinisial C juga mengaku mengalami pelecehan pada 2015. Pada saat itu ia memberi tumpangan kepada pelaku. Perempuan yang kini berusia 30 tahun itu bersedia memberi tumpangan kepada pelaku karena tujuannya searah jalan pulang. Menurut C, tak terjadi apa pun selama perjalanan. Keanehan baru terjadi ketika mereka sampai di depan rumah kos pelaku.
Pelaku tak mau turun dari mobil C. Ia malah memegang tangan dan mengelus kepala C. Kejadian ini membuat tubuh C membeku karena panik. Ia baru sadar saat pelaku berupaya menciumnya. Korban langsung menampar wajah pelaku dan memintanya keluar dari mobil sambil berteriak.
C memberanikan diri melaporkan kejadian itu kepada Dekan Fakultas Musik dua-tiga hari kemudian. Hasilnya, pelaku diskors selama satu bulan. Namun korban merasa hukuman itu tidak cukup membuat pelaku jera. Trauma korban juga tak terobati. “Dia masih bisa berkeliaran di luar kampus,” ucapnya.
Kasus pelecehan seksual di Universitas Pelita Harapan menjadi sorotan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan. Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, menanyakan apakah Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual UPH sudah melaporkan kasus ini kepada kepolisian.
Menurut Alimatul, satgas semestinya membawa kasus pelecehan seksual ke ranah hukum. Ia mengacu pada Pasal 29 huruf e Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi. Pasal itu mengatur satgas berwenang memfasilitasi korban atau pelapor kepada aparat penegak hukum jika diperlukan.
Itu sebabnya Alimatul menghubungi Satgas PPKS UPH setelah kasus pelecehan seksual oleh MS pada akhir Oktober 2024 ramai diberitakan. Tapi Satgas menyampaikan tak melapor kepada polisi karena kasus pelecehan terjadi sebelum peraturan tersebut terbit. “Sehingga, menurut Satgas PPKS UPH, ketentuan itu belum bisa diberlakukan,” ujar Alimatul.
Ketua Satgas PPKS UPH Yuni Priskila Ginting menyebutkan data kasus kekerasan seksual yang dialami para korban sudah diserahkan kepada Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III dan Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan. Tapi ia tak menjelaskan secara rinci kasus tersebut. Sementara itu, pelaku MS tak lagi menjadi dosen UPH sejak Rabu, 16 Oktober 2024.
Hasil penyelidikan Satgas PPKS UPH juga memperlihatkan mantan dosen Program Studi Musik itu kerap menghubungi korban bukan untuk membicarakan urusan akademik sampai akhirnya bertindak tak senonoh. “Masalah ini sudah selesai,” kata Yuni.
Sementara itu, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III Toni Toharudin tidak banyak berkomentar. Saat ditanya soal kelanjutan penanganan kasus kekerasan seksual di UPH, ia hanya menjawab, “Masih di ranah perguruan tingginya.”
Ahmad Faiz Ibnu Sani, Dinda Shabrina, dan Ellya Syafriani dari Pekanbaru berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Laporan Kedaluwarsa Korban Pelecehan Dosen". Artikel ini merupakan bagian dari seri jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support