Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penyidikan kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret eks Menteri Perdagangan periode 2015-2016 Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong masih bergulir. Terkini, Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) kembali menetapkan sembilan tersangka baru dalam perkara ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Berdasarkan hasil pemeriksaan, dikaitkan dengan alat bukti yang kami peroleh selama penyidikan, maka tim penyidik telah mendapatkan bukti permulaan yang cikup untuk menetapkan sembilan orang tersangka,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar dalam konferensi pers di Jakarta Selatan pada Senin, 20 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah Direktur Utama atau Dirut PT Angels Product (AP), TWN; Presiden Direktur PT Andalan Furnindo (AF), WN; Dirut PT Sentral Usahatama Jaya (SUJ), AS; Dirut PT Medang Sugar Industri (MSI), IS; Direktur PT Makassar Tene (MT), PSEP; Direktur PT Duta Segar Internasional (DSI), HAT; Dirut PT Kebun Tebu Mas (KTM), ASB; Dirut PT Berkah Manis Makmur (BMM), HFH; dan Direktur PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU), ES.
Nama-nama itu menambah deret tersangka kasus korupsi impor gula pada 2015-2023 di Kementerian Perdagangan tersebut. Sebelumnya, Tom Lembong telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini pada penghujung Oktober 2024. Selain itu, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia atau PPI, Charles Sitorus (CS) juga ditetapkan sebagai tersangka.
Kronologi kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret Tom Lembong
Mei 2015: Awal kasus
Berdasarkan informasi yang diungkap Penyidik Jampidsus Kejagung, kasus dugaan korupsi impor gula itu bermula pada 2 Mei 2015. Ketika itu antarkementerian melaksanakan rapat kordinasi dan menyimpulkan bahwa Indonesia surplus gula, sehingga tidak membutuhkan impor.
Akan tetapi, Tom Lembong selaku Menteri Perdagangan pada saat itu justru memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) sebanyak 105.000 ton kepada PT AP. Persetujuan itu tidak melalui rapat koordinasi dengan instansi terkait, serta tanpa rekomendasi dari kementerian lain guna mengetahui kebutuhan riil gula dalam negeri.
Terlebih, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004, pihak yang diizinkan mengimpor gula kristal putih hanyalah perusahaan badan usaha milik negara (BUMN). Kemudian pada 28 Desember 2015 digelar rapat koordinasi di bidang perekonomian. Salah satu pembahasannya adalah Indonesia pada 2016 diprediksi kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton.
Untuk stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional, pada November hingga Desember 2015, CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI memerintahkan bawahannya untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, yaitu PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Delapan perusahaan itu lalu mengelola GKM menjadi gula kristal putih, padahal perusahaan itu hanya memiliki izin pengelolaan gula rafinasi. Seharusnya untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, gula yang diimpor adalah gula kristal putih secara langsung dan perusahaan yang dapat melakukan impor hanya BUMN.
Setelah itu, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut. Padahal, gula itu dijual oleh delapan perusahaan tersebut kepada masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengan harga Rp16.000 per kilogram, yang lebih tinggi di atas harga eceran tertinggi (HET) saat itu, yaitu sebesar Rp13.000 per kilogram dan tidak dilakukan operasi pasar.
“Bahwa dari pengadaan dan penjualan gula kristal mentah yang telah menjadi gula kristal putih tersebut, PT PPI mendapatkan fee (upah) dari delapan perusahaan yang mengimpor dan mengelola gula tadi sebesar Rp105 per kilogram,” kata Abdul Qohar saat konferensi pers penetapan tersangka terhadap Tom Lembong.
Oktober 2024: Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka
Terkait kasus ini, Kejagung telah memeriksa Tom Lembong sebanyak empat kali, yakni pada 8, 16, 22 dan 29 Oktober 2024. Di pemanggilan terakhir itulah, Tom Lembong kemudian ditetapkan sebagai tersangka bersama CS. Keduanya disangkakan melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
5 November 2024: Tom Lembong ajukan praperadilan
Tom Lembong resmi mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri atau PN Jakarta Selatan pada Selasa, 5 November 2024. Gugatan ini didaftarkan oleh kuasa hukumnya Ari Yusuf Amir. Tom Lembong menggugat keabsahan Surat Penetapan Tersangka dan Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan Kejagung terhadap dirinya.
“Permohonan ini ditujukan untuk menuntut keabsahan penetapan tersangka dan penahanan klien kami,” kata Ari di PN Jakarta Selatan, Selasa siang.
Menurut Ari, tim penasihat hukum meminta agar PN Jakarta Selatan menyatakan penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong tidak sah. Mereka juga meminta PN Jakarta Selatan memerintahkan Kejagu untuk membebaskan Tom Lembong dari tahanan.
Pihaknya mengklaim ada sejumlah kejanggalan dalam proses penetapan tersangka dan penahanan Tom Lembong. Antara lain tidak adanya hak untuk menunjuk penasihat hukum sendiri, bukti permulaan kurang, proses penyidikan yang sewenang-wenang, penahanan yang tidak berdasar, dan tidak ada bukti perbuatan melawan hukum.
20 November 2024: pengakuan Tom Lembong di sidang lanjutan praperadilan
Tom Lembong akhirnya dihadirkan secara virtual dalam sidang praperadilan lanjutan terkait penetapan tersangka dirinya di PN Jakarta Selatan, pada Kamis, 20 November 2024. Dalam sidang, Tom Lembong mengaku tidak mendapatkan penjelasan detail ihwal kasus yang dijeratkan kepadanya itu. Ia juga memaparkan bagaimana dirinya ujuk-ujuk ditetapkan sebagai tersangka.
“Menurut saya tidak dijelaskan secara detail apa yang jadi masalah,” kata Tom. “Saat itu saya masih bingung, apa yang jadi masalah,” ujarnya
Tom juga mengakui, selama empat kali diperiksa oleh Kejagung, dia tidak meminta didampingi kuasa hukum lantaran hanya diperiksa sebagai saksi. Namun tak disangka, setelah merampungkan pemeriksaan terakhir sebagai saksi pada pukul 16.00, ia ditetapkan sebagai tersangka selang tiga jam kemudian.
“Tanggal 29 ditetapkan sebagai tersangka, dijelasin enggak kenapa anda ditetapkan?” tanya kuasa hukum. “Tidak, tidak jelas apa masalahnya,” ujar Tom Lembong.
26 November: Praperadilan Tom Lembong ditolak
Hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun, menolak permohonan praperadilan yang diajukan Tom Lembong. Dengan keputusan itu, status tersangka Tom Lembong tetap berlaku.
“Menolak permohonan praperadilan pemohon untuk seluruhnya,” kata Tumpanuli saat membacakan amar putusan, Selasa, 26 November 2024.
12 Desember 2024: keputusan Praperadilan Tom Lembong dilaporkan ke KY
Kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, bersama timnya mendatangi kantor Komisi Yudisial (KY) di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Kamis, 12 Desember 2024. Kedatangan itu untuk melaporkan beberapa hal berkaitan dengan proses hukum yang dijalani kliennya. Zaid juga meminta agar KY mengevaluasi hakim yang menangani praperadilan kliennya itu.
“Kami mengadukan dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan hakim praperadilan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kemarin,” kata Zaid di Kantor KY.
Selain itu, Zaid juga meminta KY untuk memantau proses peradilan pokok yang akan dihadapi Tom Lembong nanti. Ia menjelaskan bahwa pemantauan KY terhadap peradilan yang akan dijalani Tom amatlah penting. Sebab persoalan yang dihadapi kliennya itu kemungkinan besar karena referensi politik Tom Lembong yang berbeda dari penguasa.
“Kami ingin proses perjalanan persidangan pokok perkara Pak Tom menjadi peradilan yang adil, yang bersih dan tidak menjadi peradilan yang sesat,” kata dia.
20 Januari 2025: Kejagung tetapkan sembilan tersangka baru
Terbaru, Kejagung kembali menetapkan tersangka baru, totalnya sembilan orang sebagaimana disampaikan dalam konferensi pers di Kejaksaan Agung, Jakarta pada Senin, 20 Januari 2025. Mereka diduga terlibat dalam kongkalikong dugaan korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan.
Sembilan tersangka dari pihak swasta ini disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Amelia Rahima Sari, Dinda Shabrina, Jihan Ristiyanti, dan Sultan Abdurrahman berkontribusi dalam penulisan artikel ini.