LELAKI kecil tinggi yang membunuh Suganda, sopir taksi, dengan lilitan maut , di hotel Aryaduta itu agaknya sudah merasa bakal dihukum berat. Selama majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat membacakan vonisnya. Selasa pekan ini, ia menangis terisak-isak. Dan benar. Hakim menjatuhkan hukuman 17 tahun penjara untuknya. Lelaki itu, Amban Narim, 30, kata hakim, "Tergolong pembunuh berdarah dingin yang membahayakan serta meresahkan." Pembunuhan yang dilakukan Narim terjadi bulan Desember 1984 lalu. Ketika itu, Narim menyewa taksi gelap yang dikemudikan Suganda. Sopir itu dipancing naik ke kamar 905 hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, yang disewa Narim. Di kamar itulah, setelah digebuk dan dicekik, sekujur tubuh korban dililit dengan temali. Lalu, ditindih dengan kasur. Kunci mobil diambil dan Narim kabur ke Bandung. Di sanalah ia tertangkap, saat calon pembeli mobil curiga terhadap surat-surat kendaraan yang akan dijualnya, yang ter nyata telah dipalsukan. Mendengar vonis hakim, Narim - yang hari itu berkopiah berbaju putih, dan mengenakan sanda jepit - terdiam. Ia langsung menyatakan naik banding. Amban Narim alias Eddy Subardan alias Dadang Subardan sebenarnya bukan "orang sembarangan". Lahir di Cilimus, Cirebon, ia sempat kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Berhenti kuliah, ia belajar mencari uang dengan jalan menjadi penjaja alat-alat rumah tangga. Pekerjaan itu digelutinya selama sekitar satu tahun. Pada 1979, ia berhenti jadi salesman, dan bekerja di EMKL Jaya Murni di Tanjung Priok. Pekerjaan itulah yang di tahun berikutnya mendorong Narim mengembara ke Singapura. Satu bulan di sana, sebagai imigran gelap, Narim tak juga mendapat pekerjaan yang cocok. Maka, dia kembali ke Indonesia dan menetap di Pulau Batam. Di sana, seperti diakuinya kepada pemeriksa, ia menjadi penjual barang selundupan, seperti pesawat video, dan barang elektronik lainnya. Tapi, usahanya itu tidak memuaskan hatinya, sehingga pada 1981 ia memutuskan kembali ke Jakarta. Tetap tak juga bisa mendapatkan pekerjaan yang cocok, kecuali berdagang barang-barang bekas untuk penyambung hidup, ia kemudian terdorong kembali ke Singapura. Masuk secara legal tapi yang dilakukan tetap saja kegiatan ilegal menyelundupkan secara kecil-kecilan barang elektronik. Barulah, pada 1982, bintangnya mulai cerah. Ada seseorang mengajaknya kerja sama membentuk CV Puri Dewi. Di perusahaan yang bergerak dalam bidang perdagangan umum itu Narim duduk sebagai manajer. Tapi, sayang sekali, ia tak lama dalam kedudukan itu. Sebab, Puri Dewi yang tak pernah untung itu kemudian bubar. Ke sana kemari ia tanpa kerja dan penghasilan, akhirnya muncul pikiran untuk merampok kendaraan bermotor. Pertama kali, Juli 1984, ia bisa membawa lari sebuah kendaraan dari hotel Asri tanpa harus membunuh atau melukai si pengemudi. "Sukses" itulah yang hendak diulang di hotel Aryaduta. Kali itu disertai dengan pembunuhan. Dalam melakukan kejahatannya itu, paling tidak dalam hal menyediakan surat palsu untuk kendaraan yang dicurinya, Narim diduga bekerja sama dengan orang lain. Polisi juga curiga mengapa pada 1982 ia bisa menjadi manajer CV, padahal tahun sebelumnya boleh dibilang ia masih gelandangan. Tapi, kata polisi, setiap ditanya tentang siapa yang menjadi partnernya saat mendirikan CV Narim selalu mengelak. Menurut sumber lain, Narim dijadikan manajer oleh pemilik modal, seorang wanita yang merasa senang terhadapnya. Lelaki itu penampilannya memang kalem dan cukup ganteng pula. Bekas manajer ganteng itu, apa boleh buat, kini mesti menjalani hukuman di penjara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini