Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAKSAMANA Sukardi membuat pernyataan cukup mengejutkan. Dengan berterus terang, Laks—demikian ia biasa disapa koleganya—menyebut dirinya lebih senang diperiksa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ketimbang oleh Kejaksaan Agung. Banyak yang menduga Laks waswas ”kasus penjualan tanker” itu dipegang kejaksaan karena kejaksaan mendapat tekanan dari DPR. ”Kasus ini memang dipolitisasi untuk konsumsi politik,” katanya.
Kamis pekan lalu, wartawan Tempo, Dimas Adityo, menemui mantan bankir yang kini jadi politisi itu di kantor partai barunya, Partai Demokrasi Pembaruan, di bilangan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sebelum berkiprah di Partai Demokrasi Pembaruan, Laks salah satu pengurus Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan. Petikannya:
Kenapa Anda mengatakan lebih memilih diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi ketimbang Kejaksaan Agung?
KPK sudah dari Juli 2004 melakukan audit investigasi. Jadi mereka sudah punya banyak data. Kami tidak harus mengulang lagi dari nol. Bukan karena pilih-pilih. Ibaratnya, kalau KPK menemukan sesuatu (unsur korupsi) saat itu, pasti saya sudah dikurung.
Kenyataannya, Kejaksaan Agung masih mengusut kasus ini. Komentar Anda?
Itulah, kami juga bingung. Semua jadi seperti kebakaran jenggot karena keputusan Panitia Khusus DPR. Dalam rapat dengar pendapat di Komisi III (Hukum), kasus ini kan ditanyakan terus, jadi mereka (kejaksaan) harus melakukan sesuatu.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha menyatakan ada intervensi Anda dan persekongkolan dalam penjualan tanker ini. Bagaimana menurut Anda?
Dari awal, kecurigaannya memang itu. Tapi mana mungkin saya bisa menginstruksikan (penjualan)? Dan kalau ada persekongkolan, yang ikut tender akan menuntut Pertamina. Pertamina sudah menjadi perseroan, dan komisarisnya banyak, independen lagi. Dari Departemen Keuangan juga ada. Jadi itu hanya isapan jempol.
Masalahnya begini. Oleh KPPU dan di laporan Pansus, dinyatakan sekitar US$ 13 juta yang belum dibayar (oleh Frontline, pembeli tanker). Sudah kami jelaskan, jumlah itu adalah cicilan yang belum lunas kepada Hyundai (perusahaan pembuat kapal), sehingga langsung dipotong saat penjualan itu. Jadi sebenarnya sudah lunas semua. Dari satu aspek saja, itu tidak benar. Orang jadi curiga sama kita, uangnya dikemanakan. Saya kira itu hanya konsumsi politik.
Apa alasan utama menjual tanker itu?
Sewaktu Pertamina menjadi perseroan, semua hal mengenai kontraktor asing pindah ke BP Migas. Saat itu sudah berlaku Undang-Undang Perseroan, di mana anggaran dasar mengamanatkan Pertamina untuk berfokus ke bisnis, me-manage migas. Direksi melihat ada cash flow yang bermasalah. Seperti adanya surat tagihan Departemen Keuangan pada akhir 2003 sebesar Rp 18,9 triliun. Itu hasil keuntungan dari minyak selama 2001-2002 yang belum dibayar.
Kedua, adanya ancaman dari Karaha Bodas untuk mengambil, merampas (aset Pertamina). Karaha sudah berkirim surat ke Departemen Kehakiman Korea Selatan. Kalau direksi diam saja, nanti Pansus menanyakan kenapa mendiamkan. Jadi harus bekerja cepat.
Ketiga, menghindari risiko operasional, misalnya bocor di jalan. Bayangkan, Pertamina hanya memproduksi minyak 40 ribu barel per hari, padahal Indonesia memproduksi 1,1 juta barel per hari. Medco saja mungkin sekarang lebih besar. Dengan jumlah yang masih kecil dan perlu dikembangkan, masak, mau jadi perusahaan pelayaran dengan tanker segede hotel? Mau jadi perusahaan pelayaran atau perusahaan minyak? Dengan kondisi seperti itu, direksi lantas mengajukan usul ke komisaris, dan komisaris menyetujui untuk menjual. Jadi bukan saya yang memerintahkan penjualan. Malah saya dibilang sengaja mengganti direksi baru untuk menjual VLCC. Itu kan keterlaluan.
Tapi penjualan itu tanpa izin Menteri Keuangan?
Saya kira tidak harus (dengan izin Menteri Keuangan) karena peraturan pemerintah sudah mengalihkan wewenang Menteri Keuangan kepada Menteri BUMN dalam rapat umum pemegang saham.
KPPU menuding tanker itu dijual di bawah harga pasaran.
Itu siapa yang omong? Harga tanker tergantung komoditas bijih besi dan harga minyak, jadi fluktuatif, bisa naik bisa turun. Menurut ilmu ekonomi, merepresentasikan harga pasar yang sesungguhnya itu adalah supply and demand. Ada suplai tanker, ada permintaan tanker. Itu sudah dilakukan. Yang mengikuti penawaran tanker itu semua perusahaan besar dari seluruh dunia. Jadi mereka tahu harga, bukan tukang tahu atau broker atau tukang cari untung saja tapi tidak tahu harga.
Ada yang menyebut Anda melakukan korupsi-kolusi-nepotisme dalam penjualan tanker ini karena mengenal secara pribadi pemilik Frontline.
Saya tidak kenal dan tidak ikut campur urusan ini. Ini urusan direksi. Terus terang saja, banyak hal aneh, dibuat-buat, jadi ini benar-benar politis. Kejaksaan Agung harus profesional. Tidak bisa politik jadi panglima di republik ini. Boleh saja kita berbeda politik, tapi jangan menggunakan hukum sebagai alat politik.
Sumber kami menyebut Anda akan ditahan dalam kasus ini.
Alasan apa (saya) ditahan? Alasan menguntungkan negara bisa ditahan? Banyak yang berkonspirasi, targetnya Laksamana masuk penjara.
Kalau Anda ditahan, bukankah ini akan membuat guncang Partai Demokrasi Pembaruan?
Kalau saya sampai ditahan karena urusan ini, saya rasa kader-kader PDP juga tidak akan terima. Semangat kader partai justru bertambah besar karena penzaliman ini. Apalagi menginjak-injak hukum, menjadikan politik sebagai panglima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo