Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Pedagang burung kicau belakangan punya cara unik untuk menjual satwa itu. Menjelang lebaran idulfitri 2024, pedagang menjual burung, terutama lovebird, dengan kemasan hantaran alias parcel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Direktur Forest and Wildlife, Muhammad Ali Imron, mengatakan praktik perdagangan seperti ini bisa menyebabkan kematian pada burung, terutama ketika si penerima bukan pemerhati dan tidak menghendaki parcel tersebut. Meski lovebird tidak masuk dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Ali menyebut harusnya pedagang memperhatikan skema penjualan semacam ini. “Harusnya mengedepankan etika,” kata Ali dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo pada Ahad, 7 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menjelang lebaran atau akhir dari ramadan, Ali berharap masyarakat juga tidak mengirimkan parcel dalam bentuk satwa peliharaan atau liar. Dia menilai satwa seperti itu lebih baik dinikmati di alam. “Sejatinya dalam rangka akhir dari bulan suci ramadaan ini tidak melakukan pengiriman parcel dalam bentuk satwa peliharaan ataupun satwa liar, khususnya satwa liar keindahannya akan lebih baik dinikmati di alam bersama bebasnya kehidupan mereka,” kata Ali.
Sepasang Lovebird jadi Parcel Lebaran
Founder Yayasan Natha Satwa Nusantara, Davina Veronica Hariadi, merasa keheranan setelah mendapat laporan dari koleganya yang diberi parcel atau hantaran lebaran berupa sepasang burung lovebird. Dia menyebut koleganya itu sebenarnya tak ingin menerima parcel loverbird karena tidak berniat ingin memelihara burung.
Dalam dua foto yang diterima Tempo, sepasang burung lovebird berwarna putih dengan semburat biru langit itu terkurung dalam kandang besi berukuran 30 x 30 cm. Pada bagian alas melingkar kembang putih dengan pita hitam di sela-selanya. Sejoli itu tampak nangkring di sebatang tangkringan.
Dia langsung meminta stafnya untuk menyerahkan parcel sepasang burung dengan nama latin Agapornis Pullarius itu ke FLIGHT: Protecting Indonesia’s Birds, organisasi nirlaba yang fokus memberantas perdagangan burung liar di Indonesia. Davina menilai burung semestinya tak diperjual-belikan karena otomatis merampas hak hewan untuk hidup. "Dengan membeli berarti merampas hak hidup dan kebebasan hewan itu,” kata Davina menceritakan peristiwa itu kepada Tempo melalui keterangan tertulis pada Rabu, 3 April 2024.
Bagi perempuan 45 tahun itu, binatang merupakan makhluk hidup yang memiliki rasa dan karsa selayaknya manusia miliki. Binatang itu, menurut Davina juga mempunyai kehendak untuk hidup nyaman, aman, bebas dari rasa sakit, lapar, dan harus. “Bebas mengekspresikan perilaku alami. Selama hewan itu bernafas maka dia bisa merasakan,” kata Davina.
Meski burung lovebird bukan bagian dari jenis burung yang dilindungi atau nonendemik, tapi Davina menentang segala bentuk perdagangan hewan. Dia menilai perdagangan burung merupakan praktik kejam. Pedagang burung di Jatinegara dan Pramuka, Davina mencontohkan, penjual mengurung sekitar 30 burung hanya dalam kandang berukuran 60 cm x 30 cm x 20 cm. Tak sekadar dikurung dalam jeruji besi, temuan Davina menunjukkan para pedagang juga membiarkan burung paruh bengkok itu di bawah matahari langsung.
“Sempit, saling berdesakan, tinggal di antara kotorannya sendiri,” kata Davina. Sembari itu, Davina menambahkan,”Bayangkan ketika toko tutup, mereka pun dalam kondisi di dalam ruangan tertutup tanpa ada sirkulasi udara. Sangat menyedihkan dan kejam.”
Tiga mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Lampung Frans Hamonangan Nainggolan, Bainah Sari Dewi, dan Arief Darmawan, membuat penelitian ihwal fenomena konservasi burung. Laporan itu termuat dalam jurnal Volume 7 Nomor 1, Januari 2019 dengan judul Dalam jurnal Status Konservasi Burung: Studi Kasus di Hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan.
Hasil penelitian itu menunjukkan status konservasi dari suatu spesies terancam adalah indikator kemungkinan spesies ini bisa terus bertahan hidup. Penetapan status konservasi bukan hanya berdasarkan jumlah populasi yang tersisa, melainkan peningkatan atau penurunan jumlah populasi dalam periode tertentu, laju sukses penangkaran, ancaman yang diketahui, dan sebagainya.
Selain itu, upaya konservasi berupa pelestarian burung bukan hanya menjadi tanggung jawab pakar burung, penggiat konservasi ataupun pemerintah melainkan semua lapisan masyarakat termasuk masyarakat Desa Cugung. Dalam jurnal itu menyebut masih kurangnya pengetahuan masyarakat Desa Cugung tentang lingkungan khususnya mengenai peranan burung bagi ekosistem menjadi kendala dalam upaya pelestarian burung. "Perburuan jenis burung di Hutan Desa Cugung yang dilakukan oleh masyarakat di luar Desa Cugung belum mendapatkan sanksi sehingga masyarakat luar desa datang ke hutan desa tersebut untuk berburu jenis burung yang bernilai komersial,” tulis dalam jurnal.
Pedagang Burung Disebut Perlu Mendapat Sosialisasi
Pasar hewan peliharaan di Jalan Barito, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, tak terlalu ramai pada Sabtu sore, 6 April 2024. Aneka burung yang dijual di pasar itu mayoritas jenis kicau atau untuk dipelihara di perumahan. Tempo mendatangi beberapa toko penjual burung di sana. Puluhan kurungan besi berisi aneka burung sudah tampak dari kejauhan. Ada satu kandang berisi enam burung lovebird dan burung kicau seperti perkutut, kenari, jalak, dan aneka burung lain. Ada yang berisi dua alias sepasang dalam satu kandang, ada pula yang berisi nyaris 40 ekor dalam satu kurungan.
Penjual burung itu tampak saling tawar-menawar harga dengan calon pembeli kenari. Calon pembeli mulanya menawar harga burung kicau itu senilai Rp 250 ribu dari harga dari Rp 400 ribu. Keduanya saling kukuh dengan harga masing-masing hingga burung itu akhirnya tak terbeli.
Penjual di toko sebelahnya lantas menunjuk salah satu kenari yang ia jual. Burung berwarna kuning berkelir putih itu terkurung dalam kandang yang tergantung di atap toko. “Gacor banget nonstop, itu saja pak,” kata penjual itu.
“Kalau burung lovebird ini berapa,” tanya Tempo pada penjual itu.
“Seratus ribu itu,” kata dia.
Aktivis lingkungan dan perlindungan hewan, Davina Veronica Hariadi tak mengelak bahwa praktik perdagangan burung seperti ini berkelindan dengan ketidaktahuan masyarakat dan penjual tentang animal welfare atau kejahatan terhadap hewan. Dia mengatakan sebagian masyarakat saat ini masih menganggap hewan sebagai komoditas. Dianggap sebagai pandangan yang tak benar, Davina menilai masyarakat dan penjual mesti mendapat sosialisasi dan penyadaran bahwa binatang memiliki kesamaan seperti manusia.
“Dengan perusahaan menolak, akan tertutup satu keran aliran untuk tidak mengakomodir orang-orang yang membeli burung untuk dijadikan kado. Dengan begitu maka orang akan stop beli-beli burung atau hewan apapun untuk dijadikan kado atau parcel,” kata Davina saat dihubungi pada Rabu, 3 April 2024.
Pada 5 September 2020, Tempo pernah menelusuri upaya penyelundupan burung kicau, termasuk yang dilindungi, asal Sumatera yang akan dikirim luar pulau. Gurihnya bisnis ini mengancam populasi berbagai jenis burung dan keseimbangan ekosistem. Penyelundupan diduga melibatkan aparat dari berbagai instansi.
Liputan Tempo yang didukung Internews’ Earth Journalism Network itu menemukan jumlah burung yang diselundupkan jauh lebih banyak dari yang ditangkal di Bakauheni, Sumatera. Direktur Eksekutif Flight: Protecting Indonesia’s Bird, Morison Guciano, memperkirakan ada 1 juta ekor burung yang ditangkap secara ilegal di hutan Sumatera dalam setahun terakhir pada periode itu. Data ini diperoleh dari jumlah penangkapan sepanjang tahun ditambah dengan kemungkinan burung yang lolos dari pengawasan petugas.
Jumlah itu bisa diakumulasi dari 2015-2020, Morison menghitung ada sekitar 14 juta burung liar, termasuk di antaranya berstatus dilindungi, yang berpindah ke Pulau Jawa lewat jalur darat, udara, dan laut. Ia menghitung angka itu dari data penjualan 2.000-an toko burung di Sumatera dan Jawa yang dimiliki Flight. “Ini karena permintaan dari komunitas burung kicau makin tinggi tiap tahunnya,” kata dia.
Makhfudz Solaiman, pengusaha dan pendiri Asosiasi Penangkaran Burung Nusantara, memperkirakan ada 13-14 juta penggemar burung kicau di Indonesia. Tingginya potensi pasar ini menambah daya tarik bisnis burung kicau. “Perputaran uang di bisnis ini mencapai Rp 3-5 triliun per tahun,” kata dia.
Davina berharap ada pihak atau lembaga yang mengawasi jaringan perdagangan binatang seperti ini. Menurut dia, praktik yang telah terjadi dari hulu ke hilir ini akan terus berlangsung apabila tak ada pengawasan, apalagi ketika masih ada permintaan dari pembeli. "Tapi memang jaringan ini rumit sekali ya. Burung itu masih terus ada dan dijual karena adanya permintaan, karena ada yang beli. Selama permintaan itu ada maka hewan itu, dalam konteks ini lovebird, akan terus diperdagangkan,” kata Davina.
Pilihan Editor: OPM Klaim TNI-Polri Tembak Mati Komandan Kanit Kodap VIII Intan Jaya dan Masyarakat Sipil