Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis lingkungan dan perlindungan hewan, Davina Veronica Hariadi, merasa keheranan setelah mendapat laporan dari koleganya yang diberi parcel atau hantaran lebaran berupa sepasang burung lovebird pada 1 April 2024. Dia mengaku tak tega dan menyebut praktik perdagangan burung semacam ini kejam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam dua foto yang diterima Tempo, sepasang burung lovebird berwarna putih dengan semburat biru langit itu terkurung dalam kandang besi berukuran 30 x 30 cm. Pada bagian alas melingkar kembang putih dengan pita hitam di sela-selanya. Sejoli itu tampak nangkring di sebatang tangkringan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Founder Yayasan Natha Satwa Nusantara itu langsung meminta stafnya untuk menyerahkan parcel sepasang burung dengan nama latin Agapornis Pullarius itu ke Protecting Indonesia’s Birds atau FLIGHT, organisasi nirlaba yang fokus memberantas perdagangan burung liar di Indonesia. Davina menilai burung semestinya tak diperjual-belikan karena otomatis merampas hak hewan untuk hidup.
“Dengan membeli berarti merampas hak hidup dan kebebasan hewan itu,” kata Davina menceritakan peristiwa itu kepada Tempo melalui keterangan tertulis pada Rabu, 3 April 2024.
Bagi perempuan 45 tahun itu, bintang merupakan makhluk hidup yang memiliki rasa dan karsa selayaknya manusia miliki. Binatang itu, menurut Davina juga mempunyai kehendak untuk hidup nyaman, aman, bebas dari rasa sakit, lapar, dan harus.
“Bebas mengekspresikan perilaku alami. Selama hewan itu bernafas, maka dia bisa merasakan,” kata Davina.
Penampakan hantaran alias hampers lebaran berupa sepasang burung love bird dengan kembang melingkar di sekeliling kurungan besi. Belakangan, burung dengan nama latin Agapornis Pullarius itu ramai dijual untuk bingkisan hari raya idulfitri. Aktivis pelindung bintang mengecam praktik ini. Foto: Istimewa
Meski burung lovebird bukan bagian dari jenis burung yang dilindungi atau nonendemik, tapi Davina menentang segala bentuk perdagangan hewan. Dia menilai perdagangan burung merupakan praktik kejam. Pedagang burung di Jatinegara dan Pramuka, Davina mencontohkan, penjual mengurung sekitar 30 burung hanya dalam kandang berukuran 60 cm x 30 cm x 20 cm. Tak sekadar dikurung dalam jeruji besi, temuan Davina menunjukkan para pedagang juga membiarkan burung paruh bengkok itu di bawah matahari langsung.
“Sempit, saling berdesakan, tinggal di antara kotorannya sendiri,” kata Davina. Sembari itu, Davina menambahkan,”Bayangkan ketika toko tutup, mereka pun dalam kondisi di dalam ruangan tertutup tanpa ada sirkulasi udara. Sangat menyedihkan dan kejam.”
Di maketplace, burung lovebird ini juga banyak diperdagangkan. Penusuran Tempo di beberapa toko daring itu, pedagang menjual burung ini dengan rentang harga Rp 100 ribu hingga Rp 600 ribu. Para penjaja juga menawarkan aneka pilihan, baik menjual eceran alias per ekor atau sekaligus dengan kandangnya.
Senyampang itu, tiga mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Lampung Frans Hamonangan Nainggolan, Bainah Sari Dewi, dan Arief Darmawan, membuat penelitian ihwal fenomena konservasi burung. Laporan itu termuat dalam jurnal Volume 7 Nomor 1, Januari 2019 dengan judul Dalam jurnal Status Konservasi Burung: Studi Kasus di Hutan Desa Cugung Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Model Rajabasa Kecamatan Rajabasa Kabupaten Lampung Selatan.
Hasil penelitian itu menunjukkan status konservasi dari suatu spesies terancam adalah indikator kemungkinan spesies ini bisa terus bertahan hidup. Penetapan status konservasi bukan hanya berdasarkan jumlah populasi yang tersisa, melainkan peningkatan atau penurunan jumlah populasi dalam periode tertentu, laju sukses penangkaran, ancaman yang diketahui, dan sebagainya.
Selain itu, upaya konservasi berupa pelestarian burung bukan hanya menjadi tanggung jawab pakar burung, penggiat konservasi ataupun pemerintah melainkan semua lapisan masyarakat termasuk masyarakat Desa Cugung. Dalam jurnal itu menyebut masih kurangnya pengetahuan masyarakat Desa Cugung tentang lingkungan khususnya mengenai peranan burung bagi ekosistem menjadi kendala dalam upaya pelestarian burung.
“Perburuan jenis burung di Hutan Desa Cugung yang dilakukan oleh masyarakat di luar Desa Cugung belum mendapatkan sanksi sehingga masyarakat luar desa datang ke hutan desa tersebut untuk berburu jenis burung yang bernilai komersial,” tulis dalam jurnal.
Pedagang Burung dan Pembeli Disebut Perlu Sosialisasi
Davina Veronica tak mengelak bahwa praktik perdagangan burung seperti ini berkelindan dengan ketidaktahuan masyarakat dan penjual tentang animal welfare atau kesejahteraan hewan. Dia mengatakan sebagian masyarakat saat ini masih menganggap hewan sebagai komoditas. Dianggap sebagai pandangan yang tak benar, Davina menilai masyarakat dan penjual mesti mendapat sosialisasi dan penyadaran bahwa binatang memiliki kesamaan seperti manusia.
“Dengan perusahaan menolak, akan tertutup satu keran aliran untuk tidak mengakomodir orang-orang yang membeli burung untuk dijadikan kado. Dengan begitu maka orang akan stop beli-beli burung atau hewan apapun untuk dijadikan kado atau parcel,” kata Davina.
Oleh karena itu, Davina berharap ada pihak atau lembaga yang mengawasi jaringan perdagangan binatang seperti ini. Menurut dia, praktik yang telah terjadi dari hulu ke hilir ini akan terus berlangsung apabila tak ada pengawasan, apalagi ketika masih ada permintaan dari pembeli.
Davina Veronica saat menghadiri Kampanye Menghentikan Perdagangan Daging Anjing di Indonesia di Kawasan Kemang, Jakarta, Rabu (30/4). TEMPO/Nurdiansah
Tapi memang jaringan ini rumit sekali ya. Burung itu masih terus ada dan dijual karena adanya permintaan, karena ada yang beli. Selama permintaan itu ada maka hewan itu, dalam konteks ini lovebird, akan terus diperdagangkan,” kata Davina.
Dalam keseimbangan ekosistem di bumi, Davina menyebut aktivitas burung yang menyebar benih untuk tumbuhan akan menghasilkan alam asri dan sehat. Benih atau serbuk ini, kata dia, dibutuhkan tanaman dan pohon untuk berkembang dan hidup. Davina menyebut hubungan alam dan manusia akan saling berkelindan.
“Bayangkan jika burung itu tidak ada di alam maka tumbuhan itu pun akan mati. Dan pada akhirnya akan berimbas kepada manusia. Semua yang ada di bumi ini saling terhubung satu dengan yang lain. Semua mahluk hidup itu ada karena adanya eksistensi mahluk hidup lainnya,” kata Davina.
Tempo telah menghubungi Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Satyawan Pudyatmoko untuk meminta tanggapan atas fenomena burung lovebird sebagai hampers lebaran. Awalnya, Satyawan akan memberikan jawaban pada Kamis, 4 April 2024. Namun, Sastyawan mengalihkan jawaban ke Kepala Biro Hubungan Masyarakat pada Sekretariat Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Nunu Anugrah. Hingga laporan ini diterbitkan, Nunu Anugrah belum merespons pesan Tempo.