Berita tentang adanya embargo di Translok Sei Lepan, Langkat, Sumatera Utara, yang dimuat TEMPO, 29 Mei 1993, adalah fakta lapangan yang paling aktual saat ini. Angle berita memberikan gambaran yang cukup kepada para pembaca budiman TEMPO tentang ''tragedi Translok Sei Lepan''. Namun, alinea penutup berita sedikit mengganggu kami (Forum Solidaritas LSM di Sum-Ut untuk Translok Sei Lepan). Benar bahwa peristiwa perusakan kantor Mapolsek Brandan-Langkat lebih disebabkan adanya kelaparan. Tapi kenapa lapar? Ini yang ingin kami jelaskan kepada khalayak pembaca TEMPO. 1. Terhitung sejak Oktober 1983, jaminan hidup tak diberikan lagi, sementara lahan usaha I tak layak ditanami tanaman pangan. Namun, pada tanggal 2 April 1984, Translok Sei Lepan diserahterimakan dari Pemerintah Pusat c.q. Sesdalopbang kepada Gubernur Sumatera Utara, untuk kemudian diteruskan ke Pemda Tingkat II Langkat. Ketika itu, lahan usaha II belum jelas, bahkan tak satu pun dari warga Translok mempunyai sertifikat hak milik atas lahan sebanyak dua hektare, seperti yang seharusnya. 2. Bulan Oktober 1986, kehidupan semakin sulit di areal Translok: terjadi rawan pangan. Karenanya, warga berdelegasi ke pemerintah daerah (tingkat I dan II) dan beberapa instansi terkait, yang salah satu tuntutannya adalah penambahan jaminan hidup. 3. Pada Maret 1987, warga Translok menuntut lahan usaha II. Gagal menuntut ke Pemda Tingkat II Langkat maupun ke Pemda Tingkat I Sumatera Utara, warga mengirim surat ke Presiden, mohon keadilan. Lahan usaha II belum jelas juntrungannya. Sertifikat hak milik atas lahan seluas 2 ha tak jelas pasalnya belum diterbitkan. Yang mengkhawatirkan, areal Translok Sei Lepan ternyata belum diikhlaskan pelepasannya oleh Departemen Kehutanan Sumatera Utara karena pihak Pemda Tingkat II Langkat belum dapat menjamin penggantinya. Dan masalah rawan pangan masih jadi topik utama warga Translok. Kacau, memang. Urusan sertifikat hak milik belum beres dan urusan penggantian areal Translok kepada Departemen Kehutanan Sumatera Utara belum tuntas, entah bagaimana muasalnya, oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Langkat dikeluarkan SK No. 593-718/1989 tentang adanya program Perkebunan Inti Rakyat Lokal (Pirlok). Pasti program ini niatnya baik: hendak mengentaskan kemiskinan, kelaparan, dan ketidakjelasan sertifikat. Tapi, yang baik menurut pemda, belum tentu baik untuk rakyat, karena proses Pirlok kemudian tidak melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan. Berbagai peristiwa provokasi terjadi, seperti taktik absen yang digunakan untuk persetujuan penyerahan lahan, penyegelan rumah, pembongkaran rumah, penanaman sawit secara paksa di lahan usaha I, bahkan di pekarangan rumah, rumah ibadat, dan perkuburan, serta perusakan lahan usaha I warga Translok. Semuanya dihadapi dengan tabah oleh warga Translok. Bulan Mei 1992, kembali warga dirundung rawan pangan. Soalnya, terjadi peristiwa kekerasan yang diterima warga dari ''kaki tangan'' PT ALM. Situasi ini membuat warga dicekam rasa takut, sehingga urusan cari makan (menjadi buruh perkebunan, buruh bangunan, dan sebagainya) terhalang. Puncak kelaparan terjadi Maret 1993, saat menjelang Idul Fitri. Maksud warga hendak mengurangi derita, ternyata panen sawit membawa petaka: 199 warga Translok Sei Lepan ditahan Polres Langkat. Dari 199 orang, 143 adalah laki-laki dewasa, 43 ibu-ibu, dan 13 anak-anak. Apa mau dikata, dari 412 KK warga Translok yang diakui Pemda Langkat, sebagian besar mendekam di LP Binjai dan Tanjungpura. Itu artinya puncak dari puncak kelaparan terjadilah sudah. Demikian penjelasan tambahan ini. Semoga pihak yang berseteru mengambil langkah bijak dan adil dalam penyelesaian ''tragedi Translok Sei Lepan''. Amin. FORUM SOLIDARITAS LSM UNTUK TRANSLOK SEI LEPAN d.a. Jalan Hindu 12 Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini