Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Main Estafet di pulau Batam

Kawasan berikat batam ladang penyelundupan.Ada oknum membeking dan ada rumah penduduk yang dijadikan tempat transit melindungi mereka

6 Juni 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULAU Batam kini menjadi lahan subur bagi penyelundup. Mereka bahkan mengeluarkan barang selundupan itu pada siang bolong, di depan Dirjen Bea Cukai Suhardjo. Aksi pada pertengahan bulan lalu itu terjadi ketika Suhardjo hendak meninggalkan Batam lewat Bandara Hang Nadim. Ada dua truk lori yang mangkal dekat menara lapangan terbang itu. Semula, disangka berisi barang bangunan. Seorang anak buah Djanipen Jonark tergopoh menyampaikan, "Pak, ada usaha pemuatan barang ke sebuah Hercules." Setelah menerima laporan tersebut, Kepala Seksi Pemberantasan Penyelundupan Bea Cukai Batam itu langsung menuju pintu khusus tempat mangkal lori tadi. Ketika diperiksa, ternyata dalam lori itu terdapat 100 kardus rokok putih. Di lokasi itu juga ditemukan sebuah peti besar. "Apa isi peti itu," tanya Djanipen pada supir. "Tidak tahu Pak, kami hanya memuatnya ke pesawat itu," jawab supir, sambil menunjuk pesawat Hercules Nomor 1317 yang mesinnya menderu. Ketika itu, Dirjen Bea Cukai bersama rombongan, yang didampingi Kasatlak Otorita Batam, Marsekal Pertama Soepandi, juga menuju ke pintu khusus itu. Begitu pejabat itu datang, Hercules take off, kabur. Sebuah peti tak sempat diangkut berisi sebuah sepeda motor Harley Davidson GL 1500/6 CC dan dua mesin speed boat merek Marina 8 PK. Kabarnya, yang dibawa kabur adalah enam peti berisi barangbarang elektronik. Sedangkan 100 kardus rokok putih yang ditemukan itu dibeli dari toko milik Tan A Kie. Dalam tiap nota pembelian, menurut Tan A Kie, sudah tertulis: barang yang dibawa keluar jadi tanggung jawab pembeli. "Kami tidak salah menjual rokok itu. Yang harus disalahkan adalah pihak Otorita Batam karena mereka yang memberi izinnya," kata pemilik Hotel New Holiday di Batam itu kepada TEMPO. Sebelum berlaku PP 22/1986, Batam dikenal sebagai kawasan berikat. Setelah ada PP itu, lima pulau di sekitarnya juga ditetapkan menjadi kawasan industri. Di wilayah itu berlaku aturan, semua jenis barang boleh masuk, dan tak dikenakan bea. Ditetapkannya Batam sebagai kawasan berikat juga mengundang penyelundup. Apalagi hanya lima pulau yang ditetapkan sebagai daerah bebas bea masuk. Padahal, di sekeliling lima pulau itu terdapat sekitar 180 pulau kecil yang dijadikan batu loncatan untuk mengirimkan barang secara estafet. Pada tahun 1991 hingga Maret 1992 lalu tercatat 57 kasus penyelundupan, dan 86 orang tertangkap. Barang yang suka diselundupkan itu minuman keras, elektronik, mobil, sepeda motor, emas, rokok, dan bawang putih. Ditaksir negara dirugikan milyaran rupiah. Daerah paling rawan adalah Telaga Punggur dan Sagulung. Hampir 90% kasus penyelundupan berasal dari daerah ini. "Kami sulit membendung karena banyak oknum yang membekingi dan didukung masyarakat setempat," kata Djanipen. Lokasi yang tak jauh dari Batam itu memang strategis. Rumah penduduk sebagian menjorok ke laut dan mudah disinggahi kapal. Mereka, selain sebagai nelayan, juga menyewakan rumahnya untuk transit barang belanjaan pelaut yang diborong dari Nagoya (pasar di Batam) yang harganya separuh lebih murah dari harga di Jakarta. Setelah petugas terlena, barulah mereka membawa barang yang sudah terkumpul banyak itu keluar dari kawasan Batam. Lazimnya, barang yang disimpan itu adalah minuman keras, emas batangan, barang elektronika, dan mobil mewah. Djanipen pernah memergoki sebuah kapal mengangkut barang selundupan yang lego jangkar. Ketika hendak ditangkap, lantas penduduk melempari petugas dengan batu. "Kami dianggapnya merusak penghasilan mereka," katanya. Telaga Punggur dijadikan transit barang sebelum keluar, juga diakui Supriyadi alias Bok Tuang, ketua RT di sana. Mereka itu penduduk liar. "Sedangkan penduduk saya cuma sebagai buruh dan menyewakan tempat," ujar Bok Tuang. Suburnya Batam sebagai ladang penyelundupan tampaknya akibat kerancuan penetapan tempat itu sebagai kawasan berikat. Menurut Ibrahim A. Karim, kepala Bea Cukai Batam, antara Bonded Zone dan Free Trade Area harus dibedakan. Bonded Zone merupakan kawasan tertentu yang dipagari dan di dalamnya berdiri industri atau gudang yang berada di bawah kontrol Bea Cukai. Barang yang masuk hanya untuk ditimbun, diolah, dan dikeluarkan lagi. "Tak ada yang dikonsumsikan di dalam. Bila terjadi juga, ya, harus bayar bea masuk," katanya. Sedangkan daerah perdagangan bebas (Free Trade Area), seperti berlaku di Sabang atau Pulau Weh tempo hari, misalnya, setiap barang masuk ke sana boleh ditimbun, bisa diolah, atau diekspor, dan dipakai bebas. Tapi repotnya di Batam, sebagai Bonded Zone, justru juga berlaku Free Trade Area padahal daerah yang dihuni 100 ribu penduduk itu sebenarnya bukan lagi kawasan berikat. "Mestinya daerah yang ada industri itu saja yang disebut bonded dan juga dipagari. Dan jika mau aman, kuncinya harus dipegang pihak Bea Cukai," kata Ibrahim. Maksudnya, mirip yang berlaku di kawasan industri Pulau Gadung, Jakarta, misalnya. Ternyata, kini pelaksanaan aturan pabean di Batam sudah luntur. Menurut Dirjen Bea Cukai Suhardjo, itu tampak dengan banyaknya barang yang keluar masuk kawasan berikat itu tanpa mengindahkan peraturan yang sudah ada. Kenyataan itu bisa dilihat di Bandara SoekarnoHatta. "Ada yang membawa petipeti berisi buah impor dari Batam dengan alasan oleholeh," katanya kepada wartawan. Gatot Triyanto dan Sarluhut Napitupulu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus