SETELAH tujuh jam terbang dari Surabaya, pesawat Southern China Airlines mendarat di Bandara Baiyun, Guanzhou, Cina. Dari perut Boeing 737 keluar sembilan wanita asal Jawa Timur. Meski lelah, mereka harus melanjutkan dua jam perjalan lagi ke Shenzhen sebelum ke Hongkong. Mereka itu sebagian dari tenaga kerja wanita (TKW) Indonesia yang mencari dolar di Hongkong sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Sayang, mereka bukan saja tak mendapatkan gaji, tapi juga kerja rangkap pada enam majikan berbeda. Itulah pengalaman Endang, 25 tahun, dan Kusmiati, 19 tahun. Di Hongkong ada lagi 12 TKW yang serupa Endang dan Kusmiati. Kedua gadis ini berhasil pulang ke Indonesia. Dengan bantuan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Lembaga Pelayanan Masyarakat Kota, dan Solidaritas Perempuan, mereka membuat pernyataan, Jumat pekan lalu. Ketiga lembaga swadaya masyarakat itu mengkritik Konsulat RI di Hongkong yang menghalangi warga RI mengadukan nasibnya lewat Labor Department (LD), Asian Migrant Women Worker's Centre (AMWC), dan Legal Aid, Hongkong. Endang, bersama 27 TKW lainnya, meninggalkan Blitar menuju Jakarta awal Agustus 1992. Ia diajari menghafal nama alat rumah tangga dalam bahasa Inggris. Setahun di Jakarta, Endang dikirim ke Hongkong, setelah disuruh menandatangani blanko kontrak kosong. Di Hongkong, ia ditampung agen Kwan Chen and Trading Company milik Chan Muk Lan, warga negara Indonesia. Paspor dan surat kontrak dipegang Chan. Karena belum mendapat majikan, ia bekerja di perusahaan Chan. Menurut Endang, selama 11 bulan ia tidak pernah menerima gaji. Kemudian Endang mendapat enam majikan sekaligus. Ia harus bekerja dari satu majikan ke majikan lain selama enam bulan tanpa gaji. Endang hanya dipinjami Chan 15.700 dolar Hongkong. Kemudian, Endang bertemu Suparmi, sesama TKW. Setelah mendapat informasi Suparmi, Endang mengadukan nasibnya ke LD. Nasib serupa dialami Sumiati. Gadis asal Ponorogo ini bekerja di Hongkong lewat PT Java Express Utama (JEU). Sebelum berangkat, Sumiati dipekerjakan dengan gaji Rp 5 ribu. Di Hongkong, ia ditampung Chan, dan kemudian dipekerjakan sebagai PRT pada tiga majikan sekaligus. Juga tidak menerima gaji. "Karena tak kuat, saya lari dan mendatangi AMCW," katanya. Cobaan kali ini justru datang dari Kepala SubKonsuler KJRI di Hongkong, S.M. Nadaek. Menurut Endang, Nadaek mengancam akan menahan paspornya jika ia tidak mencabut laporannya ke LD. "Lebih baik mengorbankan seorang Endang daripada kasusnya nanti menurunkan peminat TKW Indonesia," ujar Endang, menirukan Nadaek. Kegigihan dua gadis itu tak sia-sia. Setelah empat kali sidang, Endang mendapatkan HK$ 46 ribu gaji selama 17 bulan. Dan Sumiati HK$ 20 ribu lebih, untuk 11 bulan gaji. Namun, sebuah sumber di JUE mengatakan bahwa sebagian besar cerita Endang dan Sumiati itu bohong. Keduanya tiap bulan terima gaji. "Hanya kami minta agar mereka berbohong bila imigran Hongkong bertanya soal gaji," kata sumber ini. Menurut ketentuan di sana, upah minimum HK$ 2.800. Sedangkan TKW dari Indonesia bersedia digaji sekitar HK$ 700. Sementara itu, Nadaek membantah mengintimidasi dan menahan paspor Endang. "Kasus Endang itu mirip memelihara telur di ujung tanduk," katanya. Maksudnya, jika kasus Endang ini sampai terkuak, dikhawatirkan masyarakat Hongkong enggan mengambil TKW dari Indonesia. Hingga saat ini tak kurang dari empat ribuan TKW Indonesia di Hongkong. Dari jumlah itu, menurut Nadaek, satu dua yang memenuhi syarat dari Departemen Tenaga Kerja Hongkong. "Jadi, maaf saja, saya bicara untuk kepentingan nasional," katanya. Bambang Aji dan Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini