Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Makin Jauh dari Jhony

Hontjo Kurniawan, pengusaha yang dituduh menyuap anggota Dewan, dituntut tiga tahun enam bulan penjara. Komisi Pemberantasan Korupsi kehilangan jejak saksi penting.

13 Juli 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI KURSI pesakitan, Komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bhakti, Hontjo Kurniawan, 59 tahun, tertunduk lemas. Ia baru saja mendengarkan pembacaan tuntutan terhadapnya. Dalam sidang Senin pekan lalu itu, kendati dia ”hanya” dituntut hukuman tiga tahun enam bulan penjara dengan tuduhan menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tuntutan ini tetap dinilainya berat. ”Dia hanya jadi korban sebuah sistem,” ujar Djufri Taufik, pengacara Hontjo.

Menurut Djufri, kliennya nekat menyanggupi menyetor Rp 3 miliar kepada anggota Dewan karena sudah tiga tahun tak mendapat proyek di Departemen Perhubungan. ”Ditantang harus menyediakan uang sebesar itu pun ia jabani,” katanya. Pengusaha rekanan Departemen Perhubungan ini dibekuk Komisi Pemberantasan Korupsi setelah orang suruhannya, Darmawati Dareho, tertangkap bersama anggota Dewan, Abdul Hadi Djamal.

Darmawati sendiri pada Senin pekan lalu juga dituntut tiga tahun penjara. Kepala Bagian Tata Usaha Distrik Navigasi Tanjung Priok itu didakwa melanggar Pasal 5 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, yakni menyuap penyelenggara negara. Ibu dua anak itu langsung menangis begitu tuntutan selesai dibacakan.

Abdul Hadi, Hontjo, dan Darmawati ditangkap pada 2 Maret lalu oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di bilangan Jembatan Casablanca, Jakarta Selatan. Di dalam mobil yang ditumpangi keduanya, polisi menemukan segepok duit dolar Amerika berjumlah US$ 90 ribu dan pecahan duit seratus ribuan rupiah berjumlah Rp 54,5 juta. Dari pemeriksaan, diketahui pemberian duit ini bukan yang pertama. Sebelumnya, pada 26 Februari 2009, duit Rp 1 miliar juga telah diserahkan ke Abdul Hadi di basement parkir gedung Dewan. Seperti yang pertama, duit itu berasal dari Hontjo.

Serangkaian transaksi itu berawal­ dari keinginan Hontjo mendapat proyek di Departemen Perhubungan. Untuk memperoleh proyek, awalnya ia mendatangi Kepala Biro Perencanaan Departemen Perhubungan Tunjung Indriawan, yang kini menjabat Direktur Jenderal Perkeretaapian. Dari sanalah, menurut Hontjo kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, ia mendapat informasi adanya dana stimulus Departemen Perhubungan yang sedang digodok Dewan. Sebagai pengusaha kelautan, Hontjo dengan sigap mengusulkan dan membidik sejumlah proyek yang sudah direncanakan.

Menurut Hontjo, Tunjung menyebutkan dua nama anggota Komisi Anggaran Dewan, komisi yang menentukan lolos-tidaknya proyek dari dana sti­mulus itu, yang perlu dihubungi­nya: Abdul Hadi Djamal dan Jhony Allen Marbun. Soal perannya itu, saat diha­dirkan sebagai saksi dalam persidangan 25 Juni lalu, Tunjung dengan keras membantah. Ia menampik disebut menyuruh Hontjo menghubungi Abdul Hadi dan Jhony.

Belakangan, lewat Darmawati Dareho yang sudah dikenalnya, Hontjo bertemu dengan Abdul Hadi. Abdul Hadilah yang kemudian membawa permintaan Hontjo ini ke Jhony Allen. ”Abdul Hadi menjadi perantara antara ­Hon­tjo, Darmawati, dan Jhony Allen,” ujar pengacara Abdul Hadi, Radian Syam.

Pada 23 Februari 2008, ujar Radian,­ Abdul Hadi, Darmawati, dan Hon­tjo mengadakan pertemuan di Hotel Mulia, Jakarta Selatan. Saat itu Abdul Hadi akan mempertemukan Hontjo dengan Jhony. Tapi pertemuan tak terjadi karena Jhony sibuk menerima tamu. ­Kendati demikian, ketiganya saat itu sempat membahas rencana usulan proyek untuk dana stimulus sekaligus besarnya fee untuk mengegolkan usul tersebut.

Menurut Djufri Taufik, awalnya Abdul Hadi meminta fee empat persen dari nilai proyek. ”Tapi akhirnya disepakati fee-nya tiga persen,” ujarnya. Usul­an proyek itu terdiri atas 10 item, antara lain proyek pembangunan pelabuhan dan sarana dermaga yang keseluruhannya berada di wilayah Indonesia timur. Nilai satu item proyek rata-rata Rp 10 miliar. Total semua nilai proyek itu sekitar Rp 100 miliar.

Di persidangan, Abdul Hadi menam­pik jika ide fee itu disebutkan dari dirinya. Ia menuding Jhony sebagai aktor intelektualnya. Menurut Radian Syam, kliennya tidak memiliki kewenangan menentukan anggaran itu. Aturannya, anggota komisi hanya bisa menyetujui anggaran yang nilainya di bawah Rp 20 miliar. Anggaran di atas Rp 100 miliar menjadi kewenangan pimpinan. ”Pimpinan Panitia Kerja Anggaran Stimulus Jhony Allen,” ujar Radian.

Menurut Radian, Jhony Allen meminta Abdul Hadi segera menyetor duit seperti yang dijanjikan Hontjo, Rp 3 miliar, sebelum tenggat penetapan usul. ”Jika tidak, dia mengancam proyek Hontjo dicoret,” kata Radian. Saat Abdul Hadi ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2 Maret pukul 22.30, ujar Radian, kliennya berpacu dengan tenggat yang tinggal satu setengah jam dari batas waktu yang ditetapkan, yakni pukul 00.00.

Jhony Allen sendiri hingga saat ini berkukuh tak tahu-menahu perbuatan Abdul Hadi. Dalam berita acara pemeriksaan, ia membantah semua tudingan Abdul Hadi. Anggota Fraksi Demokrat ini lebih kerap memberikan jawaban ”tidak tahu”. Demikian pula saat dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan. Jhony justru menuding Abdul Hadi berbohong dan sengaja menyeret-nyeret dirinya.

Menurut Radian, Jhony memang ”bermain rapi” dalam kasus ini. Untuk menyuruh Abdul Hadi meminta uang ke Hontjo, misalnya, Jhony selalu berbicara langsung ke Abdul Hadi, tidak pernah lewat telepon. ”Ia biasanya berbicara saat bertemu di DPR,” ujar Radian. Jhony, kata Radian, tidak pernah berhubungan langsung dengan pengusaha pengusul proyek atau pihak ketiga. ”Dia tahunya beres. Semuanya diurus Abdul Hadi.”

Demikian juga saat menerima duit. Jhony, ujar Radian, selalu menerima­nya dengan cara ”berputar”. Untuk menerima duit Hontjo itu, misalnya, Jhony mewakilkannya lewat pria bernama Resco yang selama ini dikenal sebagai tangan kanannya. Penerimaan juga dilakukan di sebuah hotel. Nama Resco ini juga disebut Abdul Hadi saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Tapi, kepada Komisi, Jhony membantah memiliki asisten bernama Resco.

Soal Resco ini pula yang sampai kini belum bisa ditaklukkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Menurut sumber Tempo, Resco menghilang setelah sempat menyatakan bersedia diperiksa Komisi. Terakhir, pria ini dikabarkan pulang ke kampung halamannya di Papua. Sejumlah penyelidik Komisi telah berangkat ke Papua melacak keberadaan Resco, tapi hasilnya nihil.

Meski juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi, Johan Budi S.P., mengatakan kasus dana stimulus ini masih terus dikembangkan dan Resco masih dicari, sumber Tempo yakin kasus ini akan berhenti pada tiga orang: Abdul Hadi, Hontjo, dan Darmawati. Alasannya, bukti-bukti kasus ini menyeret pihak lain sangat lemah. ”Kecuali jika Resco ditemukan,” ujarnya.

Ramidi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus