Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Di mana salat?
+ Di rumah....
Seketika saya disetrum. Saya menjerit memecah kesunyian. Begitulah, setiap kali menjawab, saya dihadiahi setruman sekujur tubuh. Saking tak kuatnya, saya sempat memanggil ibu..., ibu….
Musim panas di Mesir membuat Faturrahman, 23 tahun, sulit memejamkan mata meski telah lewat tengah malam. Suhu di Nasr City, Kairo, akhir Juni lalu di atas 35 derajat Celsius. Mahasiswa tingkat akhir Universitas AlAzhar asal Riau ini menghabiskan tayangan film kungfu yang dibintangi Jacky Chan. Jam sudah menunjukkan angka dua. Faturrahman merebahkan badan.
Belum sampai 30 menit Faturrahman memejamkan mata, bel berbunyi. Seseorang menggedor pintu flat yang disewa Faturrahman bersama empat mahasiswa asal Indonesia lainnya Muhammad Yunus, Arzil, Tasri Suandi, dan Ismail Nasution. Malam itu ada tamu menginap, bernama Jakfar, sedangkan Ismail tengah berlibur ke Bukit Sinai.
Faturrahman membukakan pintu. Ia melihat 12 Amni Daulah alias polisi Mesir berdiri di depan pintu. Lima berseragam lengkap dengan senapan, lima berpakaian biasa, satu membawa linggis dengan panjang semeter, dan satu lagi menenteng penggunting kawat.
Komandan polisi itu menanyakan paspor penghuni rumah. Sedangkan polisi lainnya langsung menggeratak rumah tanpa memperlihatkan surat penggeledahan. Faturrahman pun tak mendapat penjelasan tujuan aksi Amni Daulah ini. Para penghuni rumah digiring ke kamar dan disuruh duduk di kasur dengan todongan pistol dan senjata laras panjang. ”Adik saya tak bisa berbuat apaapa kecuali mematuhi perintah,” kata Roudhatul Firdaus, kakak Faturrahman, yang mendapat kabar dari Mesir, kepada Tempo di Riau, Kamis pekan lalu.
Polisi menggeledah rumah sewa mahasiswa itu sekitar 15 menit. Faturrahman menangkap pembicaraan bahwa mereka tak menemukan yang dicari. Polisi lalu menyuruh Faturrahman dan kawankawan menyalakan tiga komputer yang ada di rumah itu. Komputer pertama diperiksa dan polisi tak menemukan sesuatu.
Ketika hendak memeriksa komputer kedua, polisi melihat poster Syekh Ahmad Yasin, pemimpin spiritual kelompok pergerakan Islam Hamas di Palestina. Ada tiga poster yang bertajuk Hamas. Polisi menyuruh segera menurunkan poster itu sambil memukul para mahasiswa karena dinilai lambat. Faturrahman mengatakan poster itu diperoleh dari relawan Indonesia sewaktu perang Gaza. Para relawan ini meninggalkan posternya ketika kembali ke Indonesia. Poster lalu ditempel oleh Ismail, mahasiswa asal Tapanuli Selatan.
Polisi juga menyita buku karya Yusuf Qardhawi dan sejumlah kitab lain karena dianggap berbahaya. Faturrahman dan kawankawan lalu digiring ke bawah menuju mobil tahanan. Setiap orang yang naik ke mobil mendapat pukulan di kepala belakang. Jakfar dibebaskan dengan alasan belum cukup umur. Faturrahman meminta Jakfar menghubungi rekannya yang tinggal tak jauh dari rumah.
Ketika azan subuh berkumandang, Faturrahman sampai di kantor polisi. Mahasiswa jurusan syariah ini lalu dibawa ke sebuah ruangan dengan mata tertutup. Ruangan 4 x 4 meter itu dihuni 19 orang, termasuk keempat mahasiswa tersebut. Mereka berasal dari Prancis, Kanada, Aljazair, dan Rusia. Mereka diperintahkan tidur sambil duduk dan tak boleh menyelonjorkan kaki hingga waktunya sarapan pagi.
Pukul delapan pagi, para mahasiswa ini makan roti gandum atau 'iys dan manisan dengan mata tertutup. Proses interogasi mulai berjalan dan Faturrahman mendapat giliran ketika azan zuhur berkumandang. Di sinilah berbagai pertanyaan ”aneh” muncul. Faturrahman ditanya tempat salat dan apakah selalu di awal waktu. Ia juga ditanya tentang kuliah sampai main bola. Namun poin interogasi itu lebih mengarahkan pada isu terorisme. Faturrahman ditanya tentang Usamah bin Ladin dan Ikhwan alMuslimin.
Dalam surat elektronik kepada Roudhatul, Faturrahman menggambarkan pengalaman interogasi itu dengan sangat terperinci, termasuk dialog pada saat interogasi dan foto yang memperlihatkan lukanya.
- Apakah Anda selalu hadir di kuliah?
+ Saya kuliah kalau ada ujian saja...
Kembali saya disetrum. Sampai beberapa kali pertanyaan yang tidak masuk akal dan sebanyak itu pula buah kemaluan saya disetrum....
Faturrahman diinterogasi selama hampir 20 menit. Selama interogasi itu, ia duduk telanjang bulat di lantai. Setiap jawaban selalu diiringi pukulan dan setruman, termasuk di kemaluan. Tangan Faturrahman yang berusaha menutupi selangkangannya ikut menjadi sasaran.
Selesai interogasi, Faturrahman dan kawan-kawan diangkut menuju penjara Hay Sittah. Selama dalam tahanan tak disediakan makanan dan minuman. Mereka harus membeli makanan melalui polisi tahanan. Para mahasiswa ini juga terpaksa minum air di kamar mandi.
Setelah menginap dua malam di penjara, Faturrahman dan kawankawan dibebaskan pada Rabu dua pekan lalu. Mereka menandatangani kesepakatan: cukup belajar dan jangan berkumpul dengan Ikhwan alMuslimin. Kalau tertangkap lagi, mereka akan dipulangkan.
Pemerintah Indonesia sudah mengirimkan dua nota protes diplomatik kepada Mesir atas penangkapan empat mahasiswa ini. Juru bicara Departemen Luar Negeri, Teuku Faizasyah, mengatakan pemerintah Mesir sudah mengakui salah tangkap dan minta maaf. Menurut dia, Indonesia juga meminta jaminan keamanan empat mahasiswa yang disekap dan disiksa itu.
Kabar penangkapan dan penyiksaan juga sampai ke Imam Ahmadi, orang tua Tasri. Petani sawit di Kabupaten Rokan Hulu Riau ini mendapat cerita penangkapan itu dua hari setelah anaknya bebas. Imam mengatakan, Tasri tak mungkin terlibat dalam organisasi Islam radikal. Tas panggilannya tak pernah mengikuti organisasi dari sekolah dasar hingga nyantri di pesantren Khalid bin Walid. ”Saya takut sekali, apalagi katanya anak saya dituduh terlibat teroris,” ujar Imam.
Orang tua Arzil, Yusri, juga mendapat kabar setelah anaknya bebas. Yusri menuturkan bahwa anaknya tak mungkin terlibat kelompok pergerakan radikal. Menurut Yusri, Arzil sangat pendiam dan tak banyak ikut organisasi. ”Dia hanya belajar,” katanya.
Tuduhan keterlibatan teroris itu juga menjadi tanda tanya Faturrahman. Kepada Tempo, ia mengatakan tak mengetahui alasan penangkapannya. Ia mengatakan sama sekali tak pernah terlibat dalam gerakan Islam garis keras. Menurut dia, pekerjaan sehariharinya hanya membaca buku, menjelajah Internet, serta bermain bola pada sore.
Faturrahman mengatakan akan melanjutkan kuliah sarjananya di Mesir hingga selesai. Menurut dia, trauma penyepakan dan penyiksaan itu sudah mulai hilang. Ia sudah mulai bermain bola. ”Tapi kami masih trauma dengan gelap,” ujarnya.
Yandi M.R. (Jakarta), Jupernalis Samosir (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo