OBAT setan itu bagaikan gurita yang menjerat berbagai kota di Indonesia. Misalnya, di Semarang, pusat jajan serba ada di kompleks Simpang Lima Plaza sudah berubah fungsi menjadi pusat anak muda teler, seperti dilaporan Heddy Lugito dari TEMPO, Jumat siang pekan lalu, ketika datang seorang lelaki berperawakan kerempeng, anak-anak muda pun merubungnya. Lalu pria tadi membagikan butiran pil mirip kancing. Glek! Mereka menyorongkan kancing itu masuk tenggorokan. Tak lama kemudian mereka cengar-cengir. Laki-laki kurus tadi memburu barang dagangannya ke Denpasar dan Jakarta. "Di sana, barangnya bagus-bagus," katanya. Antara lain, Ecstasy. Celakanya, sejak kasus Ria mencuat, pil setan itu lenyap. Padahal, konsumennya berebut memesan. "Mereka bangga memesan barang bagus itu. Sudah 10 yang pesan, tapi barangnya nggak ada," katanya. Di Semarang saja, bahkan bisa diperoleh di sekitar kampus, diskotek, pub, serta hotel. Si ceking berkacamata minus tadi adalah agen di Semarang dengan sejumlah pengecer di berbagai tempat di sana. Sodorkan saja uang Rp 20.000, sejam kemudian pengecer akan membawa sebungkus rokok bermerk Marlboro, yang isinya sudah disulap berbumbu ganja alias suket, plus enam butir Somnil 5 mg. Esctasy diburu anak-anak orang gedean dan pengusaha Semarang. Jenis pil murahan seperti Mogadon, Arthan alias dobel "L" (atau lele, istilah prokemnya), Somnil, dan Nepam, yang harganya 10 butir berkisar Rp 15 ribu, diburu kalangan menengah ke bawah. Pelajar, mahasiswa, dan pegawai pun doyan pil-pil pengkhayal ini. Pil BK yang lebih murah juga disukai. Obat-obat terlarang tadi laris seperti pisang goreng. "Setiap minggu saya bisa menjual sekitar Rp 1,5 juta," kata seorang pengecer di Semarang. SDSB boleh bubar, tapi bisnis obat G meroket terus. Dan obat-obat itu disuplai dari Surabaya, Bandung, Jakarta, dan juga Yogya. Tapi, pengedar ini tak tahu siapa bos pemasoknya. Jaringan obat terlarang ini, kabarnya, memang tak mudah dilacak mata rantainya. Solo juga terimbas. Terutama di kios-kios sekitar kampus. "Ada benik?" tanya pembeli, jika mau mencari obat G. Beberapa pedagang di Pasar Klewer Solo juga tersusupi jaringan narkotik. "Kami terus memburunya untuk mematahkan mata rantai jaringan narkotik itu," kata Kolonel H. Suseno, Kepala Kepolisian Wilayah Surakarta, kepada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Bulan lalu, misalnya, sindikat ini merencanakan pertemuan. Maksudnya, untuk merapikan jaringan distribusi peredaran di Tawangmangu, Solo. Acara itu, rencananya, bakal dibarengi pesta seks di kamar-kamar vila. Polisi pun menyusup. Tapi, gerakan tawon -- julukan mereka untuk polisi -- sempat mereka cium. Walhasil, penyergapan pun gagal. Di Yogya atau di Medan, sama saja. Mau ngurtak? Begitu logat Medan untuk obat terlarang ini. Harga sebutir Riportil, yang lazim disebut pecandunya dengan kode R titik dua, di sana Rp 1.500 sampai Rp 2.000. Sedangkan Rohypnol alias R titik satu dilego Rp 2.500 sampai Rp 3.000. Menurut pecandunya, jika pemakaian Riportil berlebihan, akan mengakibatkan air liur meleleh tanpa disadari. Itu sebabnya, obat ini juga dijuluki pil anjing gila. Namanya obat gelap, sehingga punya peluang bagi barang palsu. Ini, misalnya, dimanfaatkan oleh seorang mahasiswa jebolan farmasi ITB di Bandung. Ia membuat pil palsu yang terkesan sebagai BK dan Mogadon. "Pil palsu itu malah cepat membuat teler, karena dosisnya sengaja dilebihkan. Biar konsumen senang," kata sumber TEMPO. Yang palsu, biasanya, dikemas sederhana dan pilnya berwarna kusam. Selain itu, masih di Bandung, pernah dipergoki secara tak sengaja, adanya pabrik obat palsu, akhir November silam. Waktu itu, sebuah rumah di Kelurahan Cikutra terbakar. Lo, ternyata rumah itu sudah sembilan bulan menjadi pabrik obat daftar G. Keempat pelakunya ditangkap, yakni Rudi, Husen Sebastian, Maman, dan Tata. Polisi juga menyita Mogadon 3 kg, Voltaren 37 kg, Rohypnol 6 kg, Nipam 5,5 kg, dan jenis obat keras lain. Menurut pengakuan empat sekawan ini, obat-obat buatannya dipasarkan ke Jakarta, Cirebon, dan Jawa Tengah. Tak lama kemudian polisi meringkus para penadahnya di Bekasi, Jakarta Selatan, Mataram, Jawa Timur, dan daerah kepolisian Kalimantan Selatan-Tengah. Kabarnya, kebakaran pabrik siluman tadi disengaja oleh saingan bisnisnya. Tapi lalu dibantah pihak kepolisian. "Rumah itu terbakar karena oven yang dipakai untuk memasak obat-obatan meledak. Dan di sana, kami temukan obat-obatan terlarang serta obat-obat palsu," kata Kolonel Waliran, Kepala Kepolisian Wilayah Kota Besar Bandung. Tempat transaksi obat jenis ini di Bandung adalah di sebuah kafe yang dikenal sebagai tempat ngariung atau tempat kumpul- kumpul artis setempat. Untuk menandai seseorang itu pecandu obat atau tidak, gampang saja. "Lihat gelas birnya. Kalau tidak habis-habis (tapi tidak ditambah), artinya dia pakai obat-obatan," kata kampiun ngeboat, Deddy Stanzah, 43 tahun, yang kini sudah insaf. Menurut rocker ini, Bali memang sarang narkotik. Tak heran jika dalam lima tahun terakhir di Pulau Kayangan itu urusan ini mencapai 105 kasus, dengan jumlah pelaku 145 orang. Atau terdiri dari 106 orang WNI dan 39 orang WNA -- tujuh orang warga Italia, 4 orang warga Australia, lainnya dari Amerika, Nepal, Swiss, Jepang, dan lain-lain. Dan pada tahun 1992 ada 12 kasus, tahun berikutnya melonjak hampir tiga kali lipat. Masih di Bali, sekitar triwulan terakhir tahun lampau, yang ditangkap adalah tersangka Bhisnu Bahadur Karki, 21 tahun, warga Nepal, seorang sopir. Ia membawa heroin 4,88 kg asal Bangkok. Lalu, ada Abul Kalam, 37 tahun, buruh kasar asal Bangladesh yang membawa heroin 3,3 kg. Yang lebih hangat adalah kasus wisatawan Brasil, Frank de Castro Dias, 33 tahun. Pertengahan Januari lalu, ia membawa surfboard atau papan selancar ke Denpasar. Begitu melewati pemeriksaan sinar-X di Bandara Ngurah Rai, petugas curiga. Sebab, di balik papan luncur itu ada sesuatu yang tampak lebih gelap di layar monitor. Toh Dias tenang saja. "Malah, dia ikut membedah papan itu," cerita F.X. Djoko Budiono, kepala seksi pemberantasan penyelundupan Kantor Wilayah Bea Cukai Ngurah Rai, kepada Putu Fajar Arcana dari TEMPO. Dias terbang dari Rio de Janeiro menuju Afrika Selatan, lalu mampir di Singapura. Singgah di Bali, ya, ia terpaksa dijebloskan ke sel tahanan. Bandara Ngurah Rai kini dilengkapi 13 pendeteksi sinar-X. "Minimal, dengan alat tersebut, kami dapat petunjuk ada benda yang mencurigakan," kata Djoko. Tapi, terus terang, di bandara itu belum pernah ditangguk jenis pil Ecstasy. Selain mengandalkan sinar-X, petugas juga punya cara lain untuk mencurigai wisatawan dari negara-negara tertentu, yang selama ini dianggap jadi langganan polisi. Dalam pengusutan, biasanya mata rantai sindikat yang dilacak selalu putus di tengah jalan. Mereka selalu mengaku tak tahu harus menghubungi siapa setibanya di Bali. Pendeknya, mereka mengaku bukan pengedar. Cuma kurir. "Kalau pengedar, tak mungkin membawa sendiri barang-barang terlarang itu," kata Joko. Kemudian, dilihat barang sitaan yang mencapai 5 kg, rasanya tak mungkin dipasarkan di Bali. "Ini berkaitan dengan daya beli," tambahnya. Sebaliknya, belum pernah ada narkotik yang diterbangkan dari Bali. Heroin yang disita di Bali selalu pasokan dari daratan Asia (Hong Kong, Bangkok, Myanmar, Taipei, dan Laos). Kokain disuplai dari Amerika Selatan, sedangkan mariyuana diperoleh dari Asia Barat (Pakistan, India, dan Afganistan). Jika musim panen getah opium dilakukan Agustus-Oktober, bisa dipastikan pula mulai November-Januari, pihak Bea Cukai Bali akan panen turis narkotik yang tertangkap. Modus penyelundupan heroin atau pil di Bali masih dalam tingkat tradisional. Misalnya, dimasukkan ke kaleng, papan selancar, atau ke lapisan tas. Tidak ada, misalnya, yang sampai ditelan dalam perut, dan begitu bebas dari pemeriksaan bandara si pembawa tinggal menunggu di kamar WC. Sebenarnya, selain lewat bandara, ada yang menduga sindikat narkotik memasok Bali dan daerah lain di Indonesia lewat Pelabuhan Benoa, Bali. Di situ banyak dirapati kapal pesiar dari luar negeri. Ini satu kemungkinan peluang. "Saya lihat, para turis itu langsung turun ke darat tanpa pemeriksaan apa-apa," kata seorang pemandu wisata di sana. Tak kalah seru dari peredaran di Bali adalah pasar di Jakarta. Kawasan Pasar Senen, Blok A, Glodok, Jatinegara, dan Bendungan Hilir bukan tempat yang asing, asal tahu lika- likunya. Juga beberapa diskotek, dikabarkan, sudah menjadi ajang transaksi obat G, misalnya diskotek di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, atau di kawasan Jakarta Pusat. Di Blok M, misalnya, seorang pramuria diskotek enak saja menjawab tamunya yang memesan kancing. "Pakai yang mana? Rohib atau Nipam. Kalau pil BK kan sudah ketinggalan zaman. Sudah nggak model," katanya. Pil BK yang dikemas dalam plastik sederhana, di Jakarta, cuma Rp 1.000 untuk 7 butir. "Itu konsumsi kelas abang becak atau preman pasar," kata seorang mahasiswa. Rohypnol kini sedang populer di kalangan mereka. Tapi, khusus untuk mencari morfin atau heroin, agak tertutup. Penyanyi Fariz R.M. atau rocker Gito Rollies, yang dulu dikenal penyuntik berat, mengaku tak tahu karena sudah ketinggalan zaman. Keduanya mengaku sudah bertobat dalam beberapa tahun belakangan ini. "Jaringannya bagaimana, gue benar-benar nggak tahu. Tapi, kalau gue tahu, mungkin gue juga nggak mau ngasih tahu," kata Gito, 45 tahun. Deddy Stanzah, yang pernah bergulipat di sarang narkotik, sangat yakin bahwa narkotik masuk ke Indonesia tidak hanya melalui mafia atau pengedar profesional. Juga lewat orang yang dinas ke luar negeri. Alasannya, bisnis ini sangat menguntungkan. "Lihat, keamanan kan ketat sekali, tapi obat-obatan seperti itu ada saja," katanya. Sejauh ini, bagi polisi, tampaknya peredaran narkotik di sini masih teka-teki, adakah Bali dan Jakarta hanya sebagai transit atau pasar. Semua masih belum jelas. Tapi, simak data terakhir. Pada akhir Agustus lalu, misalnya, Kara Alexander Webber, warga Selandia Baru, dibekuk di Brisbane, Australia. Saat akan terbang ke Denpasar, cewek ini kedapatan membawa 140 gram heroin yang dikemas dalam kondom, yang dililitkan di anus dan kemaluannya. Lalu, pertengahan September lalu, Bishnu Kumar Bisha, warga Nepal yang hendak terbang ke Jakarta, ditangkap di Bangkok. Ia membawa heroin 11,7 kg. Seminggu kemudian, giliran Obassa Napoleon Lobiniji, warga Kenya, ditangkap di Singapura saat akan berangkat ke Jakarta dengan barang bawaan 10,2 kg heroin yang dimasukkan ke dalam tabung televisi. Fakta ini lain lagi. Pada 25 September lalu, Yong Peng Ang, warga Singapura, ditangkap di Sydney (naik Garuda dari Jakarta) karena membawa 79 kondom berisi 462 gram heroin, yang dililitkan di tubuhnya. Esoknya, Seow Toon Han dan Jack Beng Chin, keduanya warga Singapura, juga ditangkap di Sydney (juga naik dari Jakarta) karena membawa heroin hampir 800 gram, yang dikemas dalam kondom, dan dililitkan di tubuh pula. Apakah di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, pemeriksaannya kendur? Tidak juga. Sebab, pada 8 September, seorang warga Myanmar yang membawa heroin 6,9 kg ditangkap di Cengkareng. Empat hari kemudian giliran Prem Kumar Ray yang berwarga negara Nepal dibekuk dengan barang bukti heroin 11,45 kg. Lalu, akhir September, lagi-lagi petugas di Bandara membekuk warga Myanmar karena ketahuan membawa heroin 9 kg. Hanya saja, baik untuk kasus di Jakarta maupun di Denpasar, polisi tak mampu menyisir ke ujung jaringan. Mengetahui siapa di belakang mereka pun, belum terjawab. Tak lain karena para tersangka mengaku cuma kurir. Mereka sudah disediakan tiket pulang-pergi, plus upah ribuan dolar jika barang itu sampai ke tangan yang dituju. Tampaknya, ketidakmampuan aparat membongkar jaringan ini juga karena faktor lain. Para tersangka tersebut ditangkap di bandara oleh petugas Bea Cukai. Dan begitu dibekuk, barulah mereka melapor ke polisi. Nah, selisih waktu beberapa menit itulah yang telah membuat kaki tangan sindikat ini kabur. Tapi, betulkah Jakarta dan Bali cuma tempat transit heroin? Sumber di Mabes Polri membenarkan. Konsumen di sini masih menganggap heroin terlalu mahal. Harga per 3 gram US$ 500 hingga 700. Ditambah lagi, cara penggunaan heroin dengan suntik, yang kurang begitu disukai. Berbeda dengan, misalnya, kokain. Harga masih miring, sekitar US$ 150 per gram, dan memakainya dengan menyedot. Akan hal obat-obat daftar G, polisi tetap memburunya. Timbul soal, begitu diberantas, muncul lagi. Maklum, banyak "pabrik" obat palsu. Hanya saja, untuk kalangan atas, jenis Mogadon, BK, Dumolid, Somnil, atau Rohypnol, sudah dianggap ketinggalan. Tidak ngetrend lagi. Lalu, muncul kelompok jet-set yang iseng- iseng membawa pulang dari luar negeri barang baru: Ecstasy. Harga mahal, susah didapat, dan khasiat fantastik. Tapi, rupanya, pil "setan" telah mencabut nyawa Aldi, yang akhirnya menyenggol bintang film Ria Irawan. Alhasil, polisi punya kerja lagi: menyingkap peredaran Ecstasy.WY, IVH, Ahmad Taufik, dan Taufik T. Alwie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini