JIKA suara rakyat adalah suara Tuhan, kita akan hidup musyrik dan tak bisa menyalahkan Vladimir Zhirinovsky. Banyak sekali rakyat Rusia mendukung tokoh politik berumur 47 tahun ini, dan kita pun mendengar: yang bising dari sana sekarang adalah raung ketakutan, kecemasan, kebencian -- hal-hal yang biasanya diberi nama baik "kewaspadaan". Dengan "kewaspadaan" itu berujarlah Zhirinovsky, "Kita harus berpikir bagaimana menyelamatkan ras kulit putih karena kini ras kulit putih adalah sebuah minoritas di dunia." Maka, Zhirinovsky ingin memerangi "bahaya Islam", "bahaya Asia". Ia -- yang merasa tak enak menjadi bagian dari bangsa minoritas di dunia -- ternyata ingin menghabisi minoritas di Rusia sendiri: orang Yahudi. Menurut Zhirinovsky, orang Yahudi di Rusia harus diperlakukan sebagaimana mereka diperlakukan di Jerman. Ia memang bisa mengkompromikan cara dan tujuan dengan matematika nyawa manusia: si banyak dan si sedikit. "Saya mungkin harus menembak mati 100.000 manusia, tetapi 300 juta manusia lain akan hidup dengan damai," katanya. Dan rakyat pun untuknya bertepuk tangan, menjeritkan dukungan, melambaikan persetujuan. Rakyat: tak mengherankan bila Socrates (dan Plato, tentu) tak menyenangi demokrasi -- satu tema yang membuat I.F. Stone menulis buku The Trial of Socrates yang menarik itu, yang dua tahun lalu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Apa kiranya yang diketahui oleh seorang nelayan, tukang kayu, serdadu rendah, dan segala jembel itu tentang pengaturan sebuah negeri? Bagaimana kita bisa memberi mereka hak untuk ikut menentukan kehidupan politik? Pertanyaan Socrates seperti itu memang akan menimbulkan amarah besar jika dikemukakan terus terang hari ini, terutama di Indonesia, di mana begitu banyak nelayan, tukang kayu, serdadu rendah, dan segala jembel disewenang-wenangi dan dikibuli. Tapi Socrates hidup di masa sebelum Masehi, ketika demokrasi hanyalah salah satu sistem yang sedang dicoba di samping aristokrasi, ketika abad ke-20 belum tiba dan pelbagai sistem yang bukan demokrasi (monarki mutlak, kediktatoran militer ataupun partai) terbukti julig, jorok, dan tak jalan. Dengan kata lain, ketika demokrasi belum menjadi semacam kemestian "universal" seperti sekarang. Tapi kini kita punya Zhirinovsky. Masih bisakah kita percaya kepada demokrasi, bila demokrasi bertolak dari asumsi bahwa apa saja yang dikehendaki oleh orang banyak, yang kemudian disebut "rakyat" itu, dengan sendirinya baik dan benar? Persoalan ini rumit, terutama sekarang, the age of the victim, ketika para korban dielu-elukan, dan ketika ternyata jumlahnya banyak sekali hingga mereka bisa memakai gelar "rakyat". Dilihat dari sisi ini, percobaan demokrasi di Rusia tampak seperti tak pada tempatnya, kini, ketika suatu transformasi yang menimbulkan jutaan korban harus berlangsung: transformasi dari kehidupan ekonomi yang sosialistis menjadi ekonomi yang bertumpu pada pasar. Sebab subsidi yang menyedot dana investasi, dan digunakan untuk "kesejahteraan umum", (yang menyebabkan harga roti murah dan ongkos transpor tertanggungkan), harus dicabut. Sebab semangat egaliter harus digantikan oleh semangat bersaing. Sebab situasi "yang-kuat- yang-selamat" mau tak mau hadir. Sebab ini kemestian pasar dan pertumbuhan ekonomi, Bung. Tapi dalam situasi itu, yang tak kuat, yang tak mampu, pun akan terlindas. Mereka menampik. Tak mengherankan bila reformasi ekonomi yang dicoba di Rusia berbareng dengan percobaan demokrasi seret berlangsung. Tak mengherankan bila argumen moral untuk mendukung reformasi itu terasa tak sejalan dengan argumen moral untuk demokrasi: bagaimana kita membiarkan para korban bungkam seribu bahasa? Bagaimana kita tak akan memahami kemarahan mereka? Memang, Tuhan selayaknya mendengarkan suara korban lebih dulu -- itu kian ditandaskan dalam the age of the victim dewasa ini. Tapi mengidentikkan suara korban dengan suara Tuhan mungkin sebuah langkah yang terlampau tergesa-gesa sebab wakil sang korban bisa jadi Zhirinovsky, pembawa kemelut hati rakyat Rusia yang menderita. Sebab wakil sang korban bisa siapa pun, yang setelah dianiaya, bangun dengan rasa curiga, dengki, dan benci. Di tahun 1939, di antara kelaparan dan kediktatoran yang mengancam Eropa, W.H. Auden menulis dalam sajaknya: "Hunger allows no choice/To the citizen or the police/ We must love one another or die". Lapar memang tak memberi banyak pilihan, dan kita harus saling mencintai, atau mati: baik sang warga ataupun sang polisi.Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini