DOKTER Wartomo Prijosembodo, yang menangani pasien ketergantungan obat di Rumah Sakit Ongkomulyo, Jakarta, membenarkan bahwa setiap orang punya daya tahan tubuh berbeda terhadap reaksi obat. Tapi secara umum, dikatakan, pemakaian obat keras tertentu, yang diminum tanpa resep dokter, dapat merusak sel otak. Jika orang minum obat-obatan yang masuk Daftar G tersebut, sekalipun yang kerja keras mengeliminasi racun adalah ginjal, organ tubuh lain juga bisa rusak. Pada awalnya, orang yang memakai obat-obatan yang masuk Daftar G itu merasa enak. "Merasa lebih berani, hilang stres, dan sebagainya. Tapi, kalau sudah berat, bisa menjadi lumpuh. Fisik terus menurun, degeneratif," kata Wartomo kepada Ricardo Indra dari TEMPO. Lebih jauh lagi, ya, mati. Sejauh mana para pemakai sadar akan ancaman tersebut? Inilah beberapa pengalaman: Namanya Lola -- bukan nama yang tercantum di KTP. Usianya 20 tahun. Baru dua tahun lalu tamat SLTA di Jakarta. Wajahnya bulat, kulitnya putih, dan suka tersenyum. Gadis kayak Lola ini bisa dijumpai di pusat-pusat perbelanjaan mewah, di disko- disko, atau di tempat-tempat hiburan yang tersebar di Jakarta. Lola, sebagaimana banyak gadis sebayanya, adalah pecandu obat Daftar G kelas berat. Orang tua Lola tahu bahwa anak bungsu dari lima bersaudara ini budak obat. Tapi mereka, bahkan ayahnya, sekalipun seorang purnawirawan ABRI, tak mampu menyetop kecanduan putrinya. "Mau bilang apa lagi?" ujar ayah Lola seperti putus asa. Lola sudah memakai obat Daftar G sejak di bangku SLTP. Ia pernah jadi pasien dokter ketergantungan obat. Namun, tanpa setahu dokternya, dia nenggak lagi. "Waktu itu gue baru putus sama bini gue," kata Lola kepada TEMPO di sebuah restoran makanan kilat. Ia mengaku sebagai seorang lesbian. Obat Daftar G tanpa resep dokter diperoleh Lola di kawasan Blok A, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Mula-mula, katanya, sulit juga mencari barang itu karena ia belum mengerti kata sandinya. "Ya, gue bilang aja mau beli yang biasa. Si bandarnya tanya ama gue, mau yang sobek atau yang bodrex. Gue bilang, yang mana aja, deh," cerita gadis ini. Ternyata, yang sobek itu maksudnya kemasan yang dirobek dahulu untuk dikeluarkan isinya, sedangkan bodrex berbentuk tablet yang kemasannya harus ditekan jika mau dikeluarkan. Dalam kamus mereka, obat disamarkan jadi kancing. "Jadi, kalau kita mau beli, kita bilang aja: beli kancing, yuk. Supaya orang nggak tahu," ujarnya. Di kawasan ini, obat teler yang tergolong "murah meriah" adalah Nipam, Rohypnol, dan Mogadon. Mereka biasanya menyingkat nama-nama itu bila ingin membelinya. Rohypnol, misalnya, mereka sebut rohib saja. Ada lagi jenis lain yang disebut madonna. Mengapa madonna? Karena, seperti pengakuan Lola, begitu minum efeknya jadi kayak Madonna. "Yang pakai madonna itu kalau lagi mabal (teler) bawaannya mau ganjen aja, gitu. Gue ngerasa kelihatan cakep, centil, genit, begitu deh," ujar Lola. "Kalau gue lagi pakai Rohib, wah, bawaannya mau marah aja, deh. Kena senggol dikit maunya berantem. Mogadon membuat kita kayak orang bego, bengong aja dan diem. Yang Nipam juga sama, bengong tapi senang. Semua kelihatan terang dan ati senang, gitu," kata Lola. Ia juga mengaku suka mengisap ganja. Tapi untuk mendapatkannya di Jakarta agak sukar. "Jaringannya lebih rumit, tempat membelinya juga terbatas," ujarnya. Tentang obat-obatan Daftar G, Lola mengaku sekali minum obat mampu menghabiskan delapan papan (satu papan berisi 10-12 butir). Obat-obat itu digelontornya memakai Greensand atau Sprite. Sepuluh menit ludes, dan sekitar setengah jam kemudian "naik". Kepala mulai berat, pusing, dan nggak enak. "Tapi itu cuma sebentar. Pusingnya pelan-pelan hilang, pandangan terang, indah, hati gue senang, deh. Kita bengong, nih, tapi orang lihat kita tuh senyum terus," katanya. Sehari tidak minum obat, Lola mengaku pusing. Dalam bulan Januari ini saja, ia telah merogoh kantong babenya Rp 1 juta. Harga obat memang cukup mahal, berkisar Rp 55.000-100.000 per dus (isinya 12 papan). Menurut Lola, anak-anak muda di Jakarta, dari usia SLP sampai SLA, hampir 80% sudah minum obat. Malah, lanjutnya, di kalangan artis, angkanya sampai hampir 100%. Angka-angka itu terasa berlebihan, memang. Tapi begitulah keyakinannya, atau paling tidak ia minta pembenaran bahwa bukan hanya dirinya yang terjerumus ke jurang ini. Lain lagi pengalaman Handoko -- juga nama samaran. Seniman berusia 33 tahun ini belum beristri. Sejak SMP ia sudah mengisap ganja. Jika nyedot, alam khayalnya terisi keindahan. Tapi lama-lama ia merasa semakin parah. Misalnya, ia mulai menyunduti tubuhnya dengan rokok. "Ada rasa sadisme untuk diri sendiri," katanya. Sadar akan kebiasaan buruk itu, ngegelek dibatasi. Kini, Handoko hanya mengganja kalau sedang berkumpul bersama teman, atau pada saat ingin melukis. "Supaya timbul halusinasi. Yang sebelumnya tidak muncul, ide itu bisa mencuat begitu saja," katanya. Ia beranggapan ada nilai positif dalam mengisap ganja. "Tidak ada orang nyedot ganja yang sampai mati," katanya. Berbeda, misalnya, dengan nenggak morfin, heroin, Mogadon, atau BK. Pil BK dianggapnya punya efek samping negatif. "Itu doping banget," kata Handoko. "Lihat saja anak-anak SLA yang berantem di kota-kota. Biar ditodong pistol polisi, mereka tidak takut," ujarnya. Begitu juga Mogadon. Handoko mengaku pernah punya ketergantungan pada Mogadon. Sehari ia minum 20 butir. Sehari tak menyentuh pil, badannya terasa pegal-pegal dan gemetaran. Handoko menjadi sadar dan ogah minum obat itu lagi gara-gara nyaris dijemput maut. Ceritanya, setahun lalu, menjelang subuh sepulang dia dari diskotek di Hilton, mobilnya menabrak trotoar di Jalan Rasuna Said, Jakarta, dan ia digotong dalam keadaan tak sadar ke rumah sakit. Sejak itu, ia membangun motivasi bagaimana menjadi sehat. "Penyakit itu sembuh dari kita sendiri, kok," katanya. Gairah berolahraga didongkraknya. Minum susu teratur. Sekarang, jika minum Mogadon sebutir saja, menurut pengakuannya, badannya malah terasa ngilu. Ketergantungan Handoko pada obat sebetulnya sudah lama. Sewaktu kuliah di Malang, setiap Sabtu pagi, ia bersama kawan- kawannya (di antaranya mahasiswa kedokteran) meluncur ke Surabaya. Di sana dibelinya 800 butir pil. Malamnya, pesta obat berlangsung. Tiap anak mendapat jatah 40 butir. Dan gara-gara sering pesta obat itu, seorang temannya pita suaranya putus, dan seorang lagi otaknya dibor. Kisah yang lebih mengerikan juga dialaminya. Suatu hari, temannya membawa sebutir pil warna oranye. Masing-masing mendapat jatah seperempat bagian. Sehari kemudian, reaksi obat itu -- belakangan, kata dokter, mengandung radioaktif -- luar biasa. "Saya tergeletak tiga hari. Tulang persendian ini kayak mau copot. Mau duduk saja nggak mampu, ya, rebah terus, tak bisa ngapa-ngapain," katanya. Seorang temannya malah sempat "gila" empat hari. Obat itu menyerang otot lehernya. "Anak itu maunya nengok ke kanan terus. Kalau dipaksakan nengok ke kiri, urat lehernya bisa putus," katanya. Setelah dibawa ke dukun, lalu dipijat, temannya itu baru merasa agak mendingan. Teman ketiga bereaksi lain lagi. Napasnya terasa sesak seminggu. Teman keempat, yang badannya fit, mengaku secara fisik tak merasa apa-apa, tapi ia seperti dikejar rasa panik terus-menerus. "Seperti ada yang meresahkannya," cerita Handoko. Tentang Bali sebagai sarang obat, itu dibenarkan Handoko. Di sana ia pernah mencoba cendawan campur dadar telur. Beberapa jam kemudian, rasa aneh menjalar di tubuhnya. Ia melihat seakan-akan ujung kaki sampai tubuhnya berubah kayak rel kereta yang sedang dirambati lokomotif berlampu. Handoko hanya bisa memandangi fantasi itu. "Otak terasa bukan di kepala, tapi sudah di luar kepala," katanya. Temannya juga merasakan efek serupa. Keduanya kemudian mencebur ke air di kamar hotel. Hilang. Tapi, begitu ia keluar hotel, "Jalan yang lurus itu terasa seperti berlubang. Jadi, kami jalan ngejeblong-jeblong," katanya. Sejak itu, ia ogah makan cendawan. Pernah minum Ecstasy? Belum. Tapi setahun lalu, ketika ikut berkumpul di Pub Goa di Bali, Handoko ditawari oleh seorang temannya yang berprofesi gigolo. "Pil ini asyik banget," bujuk temannya. Jika minum pil ini, fantasi seks seseorang akan tersalurkan. Jika yang dibayangkan Madonna, sekalipun yang ada di depan mata hanya, maaf, seorang pembantu, orang itu akan berubah menjadi wanita yang diimpikan. Entah bagaimana sampai sosok Madonna seakan menjelma dalam tubuh si pembantu, hanya yang minum obat itu yang tahu. Harga pil Ecstasy per butir Rp 150.000. Handoko menolak tawaran itu. Ia sadar, pil adalah bahan kimia berisiko tinggi. Ia ingat, dua orang temannya meninggal di Bali gara-gara minum pil. Selain itu, ia takut ketagihan, sementara mencari pil itu tak gampang. "Saya ngeganja saja, ah," katanya. Seorang pemakai lain sebut saja Tony, 25 tahun. Dulu pemusik, kini berwiraswasta. Ia mengaku akrab dengan narkotik sejak di bangku SLA, dari ganja sampai morfin. Buntutnya, waktu itu, ia sempat dirawat di Klinik Dharmawangsa, Kebayoran Baru. Tapi Tony kini mengaku kapok. "Habis gue udah mau kawin, masa masih pakai begituan terus," ujarnya. Tony mengaku mengenal ganja pertama kali ketika diberi seorang temannya. "Mula-mula sebagai obat pergaulan," katanya. Belakangan, ganja itu terasa seperti kebutuhan akan rokok saja. Selepas SLA, Tony memakai Rohypnol dan Dumolid. Biasanya, 3-5 butir sekali telan. Pengalamannya, obat itu memberi efek tenang dan merangsang daya kreasi. "Apalagi kalau sedang mengaransemen lagu. Kita jadi lebih sensitif terhadap nada," kata pemusik yang pernah menelurkan beberapa album pop kreatif ini. Tony juga pernah mencoba Ecstasy. Harga tak jadi halangan. Maklum, orang tuanya tergolong supermakmur. Di matanya, obat yang disebut inex itu dianggap paling kuat merangsang kreativitas. Sementara kokain lebih banyak membuat peminumnya "ceria" sampai efeknya habis, "Inex lebih membuat kita merasa mantap dan percaya diri untuk mencari dan mewujudkan ide-ide," katanya. Ia memakai inex pada saat pesta-pesta tertutup di kalangan jetset. "Kalau ada yang nggak kita kenal, nggak bakal kita pakai barang itu," kata-nya. Membelinya pun tak sembarangan. Harus tunggu dahulu 3-4 jam setelah pesan, baru barang datang. Tony dan kalangannya hanya memakai inex setengah tablet sekali telan. Jika obat itu berupa kapsul, isinya dikeluarkan, lalu dibagi dua. Bagaimana kalau ditelan sekaligus? "Gila! Apa saja bisa dikerjakan. Bisa-bisa (harap jangan dipercaya), begitu efeknya habis, kita sudah bikin satu desain mesin pesawat terbang," katanya, sambil tertawa, melukiskan kehebatan proses pil itu. Mengenai inex sebagai obat perangsang seks, kata Tony, itu tidak terlalu salah. Tapi, lanjutnya, itu hanya akibat efek stimulan (perangsang). "Kalau di depan kita ada cewek yang kita tahu juga memakai, ya, bisa saja terjadi. Tapi, utamanya, inex itu adalah obat stimulan," katanya. Efek inex bisa berlangsung 5-7 jam, dan selama itu pula si pemakai bisa tenggelam dalam "keasyikannya" sendiri. Lain pula cerita Manuel. Laki-laki berusia 26 tahun ini adalah anak orang ter-pandang. Ia mengaku sudah mengisap ganja sejak kelas 5 SD. Anak ketiga dari tujuh bersaudara ini jadi begitu lantaran kurang mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Kedua orang tuanya berwiraswasta. Maka, setiap pulang sekolah, ia langsung menunggu toko kelontong milik keluarganya. Sekalipun kesal, ia bisa dengan leluasa mengantongi uang, yang kemudian dipergunakannya untuk membeli ganja. Lama-lama, toko milik orang tuanya bangkrut. Tapi Manuel bukannya insaf. Masih duduk di bangku terakhir SD, ia sudah berani mencuri gelang dan cincin di rumahnya. Jika ada yang bertanya, ia pura-pura tidak tahu. Uang bayaran sekolah juga dibelanjakannya. Manuel memang badung. Di SMP, ia mengubah kebiasaan: minum pil BK. Mula-mula disuruh minum 10 butir. "Lama-lama, saya minum 50 butir sekali telan, dan tetap kuat," kata Manuel kepada Rihad Wiranto dari TEMPO dengan bangga. Gara-gara obat itu, sekolahnya kacau. Di SLP, ia pindah sekolah tiga kali. Langkahnya di SLA juga agak tersendat- sendat. Untuk itu, terpaksa ia menyogok guru agar bisa naik kelas. Tahun 1989, oleh orang tuanya, Manuel dibawa ke Rumah Sakit Jiwa Grogol. "Saya dikira gila. Mata merah, linglung, dan suka bengong sendiri. Orang tua tahunya saya suka minum bir. Saya hampir disel bersama orang gila," katanya. Atas petunjuk dokter, Manuel dimasukkan ke Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO). Ia satu kamar dengan seorang penyanyi dan anak seorang bintang film terkenal. Kedua temannya itu kecanduan morfin. Di RSKO, Manuel tidak bisa tidur dan gelisah karena tidak minum obat. Tapi lama-lama ia terbiasa. Ketika di RSKO itu, kata Manuel, ada seorang anak yang gara- gara tak mendapat obat mencoba bunuh diri dengan memegang kabel beraliran listrik. Untung ketahuan, dan jiwa anak itu tertolong. Kini Manuel, yang bergerak di bidang showbiz, sudah tobat. Pekan lalu ia menikah. Menjelang pernikahan itu, katanya, seorang temannya mengirimkan satu ons ganja. Tapi Manuel ogah menyentuhnya kendati dirayu. "Sekali berteman dengan pecandu narkotik, kita sulit melepaskannya," katanya. Roker Gito Rollies, 45 tahun, mengaku sudah sejak tahun 1976 berhenti menggeluti narkotik. "Mendingan gue minum daripada nyari gituan. Yang legal-legal sajalah," kata Gito kepada Augustinus Kukuh Karsadi dari TEMPO. Zaman edannya pada tahun 1970-an sudah berlalu. Waktu itu, ia mengaku mencoba semuanya: ganja, cendawan, kecubung, LSD, Dumolid, Rohypnol, heroin, morfin, dan kokain. Di saat remaja itu, Gito mengaku dua kali berhubungan dengan dokter ketergantungan obat. Ia tak bisa disembuhkan. Soalnya, sudah pada tingkat gawat. Kalau tak mendapat heroin, Gito merasakan badannya panas dingin, pegal-pegal, dan gelisah tak keruan. Baru pada penyembuhan ketiga ia berhasil lepas dari obat laknat itu. Gara-gara kecanduan obat bius itulah harta Gito terkuras. "Duit dan harta benda hasil rekaman habis buat beli heroin. Kalau gue terusin, gue bisa jadi maling. Gue takut jadi maling karena ingat pesan orang tua: jangan jadi maling. Selain itu, badan gue juga hancur karena nggak doyan makan," kata ayah tiga anak ini. Itulah kuncinya. Sekarang ini, Gito mengaku hanya minum-minum. Tapi kebiasaan ini tak pernah dilakukan menjelang naik pentas. "Kalau gue manggung sambil minum, suara gue malah nggak keruan," katanya. Lo, kok, di panggung kadang masih kelihatan teler? "Itu berlagak teler, buat nyeneng-nyenengin yang nonton," katanya sambil tertawa. Pernah minum Ecstasy? "Sekali di Bali, tahun 1992, dikasih sama orang Negro," katanya. Dan setelah itu, Gito mengaku tak ada yang memberinya. Jadi, kalau ada yang mau bertanya soal Ecstasy, ia mengaku bukan tempatnya. TB ------------------------------------------------------------- . PENGARUH OBAT PSIKOAKTIF YANG . MEMPUNYAI EFEK STIMULASI & DEPRESI . STIMULASI MATI KONVUSI SANGAT GEMETAR (NERVES) AMFETAMIN (NERVES) CEMAS BERDEBAR KOKAIN RASA RIA (EFORIA) GANJA KEKACAUAN RUANG & WAKTU HALUSINASI (LSD) DAERAH NETRAL RASA CEMAS PENENANG (BK, MEGADON) SEMPOYONGAN ALKOHOL TIDUR RASA NYERI HILANG OPIUM (MORFIN, HEROIN) HILANG PERCAYA DIRI KESADARAN HILANG KONVULSI MATI DEPRESI SUMBER BUKU PENANGGULANGAN BAHAYA NARKOTIKA & KETERGANTUNGAN OBAT KARYA DRS. KSUMARNO MA"SUM WY, THA, dan IVH
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini