Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Maut di podomoro

A Tong, 31, pengusaha pakaian jadi dan istrinya di bunuh oleh kawasan perampok di rumahnya di komplek perumahan Agung Podomoro. Mercy dan harta lainnya disikat. Seorang pelaku tertangkap di Bogor.(krim)

2 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PUKUL 23.00,Jumat pckan lalu kompleks perumahan mewah Agung Podomoro, Jakarta Utara, tampak sepi. Maklum, masih banyak rumah yang belum dihuni. Di malam begitu, A Tong, 31, tak menaruh curiga sedikit pun kctika kedatangan tamu. Soalnya, yang datang sudah dia kenal, yaitu Didin, 25, bersama empat kawannya. A Tong - terlahir Ngo Yan Sin - dan Didin lalu terlibat pembicaraan soal instalasi listrik di rumah ber-AC yang luasnya hampir 400 m2 itu. Adalah Didin yang mengerjakan penambahan aliran listrik dari 2.200 watt menjadi 4.400 watt di rumah yang harganya sekitar Rp 100 juta itu. Tapi, sungguh edan. Malam itu Didin dan kawan-kawan ternyata berniat merampok dan menyebarkan maut. Pagi keesokan harinya, A Tong, pengusaha besar pakaian jadi di Pasar Pagi - pusat grosir di Jakarta - kedapatan tewas. Mayatnya yang penuh tusukan benda tajam tersuruk dekat wastafel, dengan mimik yang membayangkan ketakutan. Istrinya, A Yung, 27, tak kalah menyedihkan. Tubuhnya tergeletak di atas tempat tidur, juga penuh luka, tangannya terikat tali kopling dan mulut tersumpal kain. Untung, anak mereka satu-satunya, Kiki, 2, tak diapa-apakan. Anak yang terlelap di tempat tidur kecil di sudut kamar itu hanya menangis sebentar mendengar ada keributan, lalu kembali tertidur. Sebuah mobil Mercy, pesawat video, sejumlah perhiasan, dan barang berharga lain lenyap dibawa kabur. Jumlah kerugian belum bisa dipastikan. Syukurlah, polisi bertindak cepat. Malam keesokan harinya, Didin ditangkap di Jalan Mayor Okin, Bogor, sedangkan empat kawannya terus dikejar. "Dalam beberapa hari ini, mereka pasti tertangkap," ujar sebuah sumber di Polda Jakarta, optimistis. Perampokan dan pembunuhan atas A Tong dan A Yung, tak pelak lagi, membuat geger kalangan pedagang besar di Pasar Pagi. Di kalangan grosir pakaian jadi, A Tong sangat dikenal. "Dia anggota Kongsi Besar yang termuda, yang paling maju usahanya," kata Jackie, 25, adik kandung A Tong. Abangnya itu, kata Jackie lagi, menanjak dengan amat pesat. Sepuluh tahun lalu, A Tong masih sebagai karyawan biasa di sebuah perusahaan pakaian jadi "Ia memulai usahanya betul-betul dari nol," kata Jackie. Sejauh ini, belum diketahui apakah pembunuhan terhadapnya semata-mata berlatar belakang perampokan atau ada motif lain. Yang jelas, keempat kawan Didin tampaknya memang sudah profesional. Diduga, mereka menggunakan sarung tangan dalam beroperasi, karena tak ditemukan ada sidik jari. Didin sendiri kelihatannya hanya berfungsi sebagai "penunjuk jalan", meskipun tak tertutup kemungkinan dialah sebenarnya otak atau perencana kejahatan itu. Jejak Didin dan kawan-kawan diketahui berdasarkan keterangan Atun, 18, dan Wati, 15. Keduanya pembantu di rumah A Tong. Dalam rekonstruksi dasar yang dilakukan polisi Jakarta Utara, Senin pekan ini, Atun menyatakan bahwa malam itu Didin datang menemui tuan rumah. Setelah membukakan pintu gerbang, atas suruhan A Tong, Atun masuk ke kamarnya di bagian belakang. "Saya pikir, Tuan menyuruh Didin membetulkan listrik. Soalnya, beberapahari ini listrik sering mati," kata Atun kepada Kapten Anthon Reke, yang memimpin rekonstruksi dasar. Tiba di kamar, Atun mengaku sempat mendengar suara "ek . . . ek . . ", dan gedebak-gedebuk. Ia juga mendengar ada orang seperti mengikatkan sesuatu di pintu kamarnya sambil berkata, "Awas, jangan berteriak!" Rupanya, pintu kamar pembantu itu diikat dengan kabel. Maka, ketika Atun mencoba membukanya, tidak bisa. Padahal, di malam buta itu ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi. Setelah mendengar suara Kedebak-gedebuk, misalnya, terdengar ada suara mesin mobil dihidupkan, lalu suaranya makin menjauh dengan cepat. Mula-mula, Atun berpikir ke mana tuannya pergi malam-malam begitu. Atun juga kemudian mendengar Kiki menangis. Tapi beberapa saat kemudian terdiam. Karena tak bisa keluar, Atun mengaku menangis semalaman. Sementara temannya, Wati, terus saja tidur mendengkur. Setelah hari mulai terang, barulah Atun dan Wati memberanikan diri mendobrak pintu, dan berteriak minta tolong. Menurut Kapten Anthon Reke, malam itu Didin datang untuk menagih pembayaran penambahan instalasi listrik kepada A Tong, karena baru dibayar separuhnya. A Tong memang menjanjikan baru akan membayar lunas bila pekerjaan sudah selesai seluruhnya. Tapi, kata Jackie, kakaknya pernah mengaku sudah kena tipu Rp 300 ribu oleh Didin. Meski begitu, A Tong tetap memperlakukan Didin dengan baik. "Dia memang orang yang suka memaafkan, dan tidak pernah mendendam siapa pun," kata Jackie. Keluarga A Tong belum lama tinggal di Podomoro - baru sekitar dua bulan. Sebelumnya, A Tong tinggal di kawasann Jelambar, Jakarta Barat. Mereka pindah ke Podomoro, meski di kompleks tersebut segi keamanannya kurang terlindungi, antara lain karena masih banyaknya rumah-rumah yang kosong. Untuk itu, A Tong sudah memesan anjing herder. Belum sempat anjing itu datang, kawanan bandit sudah keburu beraksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus