SEPERTI yang disiarkan Pusat Penerangan Hankam, penggranatan terhadap mobil patroli polisi, pekan lalu, ternyata memang tak ada kaitannya dengan politik. "Motifnya hanya balas dendam," kata sumber TEMPO. Dua tersangka penggranatan kini sudah diketahui. Kini sedang dikumpulkan bukti-bukti kuat, sehingga kedua tersangka itu kelak tak bisa lagi mengelak. Penggranatan atas mobil patroli polisi itu terjadi dinihari Minggu dua pekan lalu. Ketika itu, tiga petugas dari Polsek Gambir, Jakarta Pusat -Serda Suharto, Koptu Nengah Samba, dan Sertu Moekijo - selesai berpatroli. Setelah minum kopi dan makan telur setengah matang di warung depan Rumah Sakit Budi Kemuliaan, mereka sedianya akan kembali ke kantor. Tiba di perempatan Jalan Abdul Muis dan Jalan Fachrudin, mobil berhenti karena lampu merah. Tak disangka, pengendara sepeda motor yang mengenakan helm dan jaket tiba-tiba melemparkan granat lewat jendela kiri. Terjadi ledakan. Suharto, yang esok harinya akan berulang tahun ke22, tewas seketika. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Malam itu, tak seperti biasanya, anak pertama dari empat bersaudara itu memegang kemudi. Rekannya, Nengah Samba, 30, yang duduk di tengah, luka parah. Sedangkan Moekijo, 42, luka-luka di bagian kaki. Keduanya, sampai Senin pekan ini, masih dirawat di Rumah Sakit Gato Subroto. Samba ayah dua anak, tampak masih diinfus Kaki, tangan, dan wajahnya penuh luka - tiga giginya rompal. Ketiga petugas polisi itu rupanya menjadi korban pembalasan dendam. Sabtu, 19 Januari lalu, kata sumber TEMPO, petugas patroli Sabhara menghentikan sebuah sepeda motor yang salah jalan di daerah Tamansari. Petugas meminta SIM dan STNK. Si pengendara, yang kabarnya seorang oknum ABRI berpangkat prajurit satu, malahan memegangi kerah baju polisi. Petugas Sabhara itu kontan menonjok wajah si pengendara sepeda motor. "Tapi, waktu itu masalahnya sudah diselesaikan di Koramil setempat," kata sumber TEMPO. Oknum itulah, kata sumber itu lagi, yang diduga keras melakukan penggranatan sampai menewaskan Suharto, dan mencederai dua rekannya. Dan itulah yang disesali Sadimin, 48, ayah Suharto. "Dia anak yang kami banggakan," ujar Sadimin, yang tinggal di Desa Sendangagung, Wonogiri, Jawa Tengah, kepada TEMPO. Suharto tamat STM Bangunan tahun 1981. Gagal masuk UNS, Solo, ia ke Jakarta dan diterima menjadi polisi. Tapi sebelum ke Ibu Kota, ia sempat meninggalkan kenangkenangan, sebuah rumah berukuran 12 x 8 meter. "la bilang ingin mempraktekkan ilmu yang diperolehnya dari STM," kata Sadimin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini