Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pelaku diduga masuk ke gedung dengan memecahkan kaca jendela bagian depan sekitar pukul 01.00 dini hari. Selama satu jam, empat ruang di gedung berlantai dua itu dilalap jago merah, setelah lebih dulu disiram bahan bakar minyak dan dilempari sejumlah bom molotov. Tentu saja, kegiatan pengadilan esoknya terhambat lantaran ruang sidang utama dan ruang tunggu hakim ikut terbakar.
Menurut penjaga gedung pengadilan, Silahuddin, 40 tahun, ia mengetahui pembakaran gedung setelah dibangunkan oleh istrinya. Waktu itu, sang istri mendengar suara ledakan di ruang sidang utama. Silahuddin segera memeriksa. Ternyata tiga ruang di lantai bawah dan satu ruang di atas sudah termakan api.
Karena panik, Silahuddin langsung mencoba memadamkan api seorang diri. Ia lupa meminta bantuan kepada dinas pemadam kebakaran. Sekitar pukul 04.00 pagi, api baru bisa dijinakkan, sementara api di ruang depan dan di lantai atas mengecil dengan sendirinya karena ruang itu tak berventilasi.
Sampai pekan lalu, polisi belum bisa memastikan siapa pelaku pembakaran, termasuk motifnya. Begitu pula kemungkinan bahwa peristiwa itu ada hubungannya dengan pengadilan atas terdakwa pembunuhan, Ishak Daud, 38 tahun, yang dipindahkan ke Kota Madya Sabang. Ishak dituntut hukuman seumur hidup oleh jaksa karena dikabarkan mengancam akan membakar pengadilan.
Gaya mengamuk di Jepara lain lagi. Tidak ada yang mengancam, tapi pada hari yang sama massa menyerbu Gedung Pengadilan Negeri Jepara, Jawa Tengah. Waktu itu, perkara yang disidangkan berupa penganiayaan terhadap Azis, 27 tahun. Lima orang terdakwa rupanya tak menyetujui hubungan cinta Azis dengan adik perempuan mereka.
Majelis hakim yang diketuai Suwito lantas memvonis para terdakwa masing-masing dengan hukuman antara enam bulan dan setahun dua bulan penjara. Begitu palu diketuk hakim, kerabat dan tetangga korban kontan meradang. Mereka menganggap vonis hakim terlalu ringan.
Dalam sekejap, majelis hakim dikejar-kejar massa. Mujur sekali, para hakim bisa menyelamatkan diri. Merasa buruannya lolos, massa melampiaskan amarah dengan merusak pintu-pintu dan jendela ruang sidang. "Pengadilan berengsek, pengadilan korup," teriak mereka. Gedung kejaksaan di sebelah pengadilan juga menjadi sasaran amuk.
Untunglah, Ketua Pengadilan Negeri Jepara Djumadi Notodihardjo bisa menenangkan massa. Dan, ia membenarkan bahwa ia tidak akan membantu para penegak hukum. Juga, ia mengaku tak akan menuntut para perusak. "Mereka hanya emosi," ucap Djumadi, seraya menandaskan bahwa vonis hakim Suwito sudah cukup adil.
Adil? Mungkin, ditinjau dari sisi kepentingan korban memang adil, tapi sebaliknya bagi terdakwa bisa tidak adil. Di pengadilan Jepara, pada Juni silam, kontroversi yang mirip-mirip seperti itu juga mencuat. Ketika itu, lima belas terdakwa dituduh menganiaya hingga jatuh tiga korban tewas. Sepanjang persidangan, suasana gaduh terus. Ada ketupat bengkahulu dilayangkan kerabat korban ke wajah salah seorang terdakwa. Ada pula pengunjung sidang yang bersembunyi di balik hakim lantaran dikejar-kejar pengunjung lainnya. Selain galau, suasananya juga hiruk-pikuk.
Majelis hakim menjatuhkan vonis atas para terdakwa dengan hukuman masing-masing antara lima dan tujuh tahun penjara. Masalah baru timbul begitu palu diketuk. Massa dari pihak terdakwa menuding vonis itu terlalu berat. Mereka kemudian mengejar-ngejar para hakim seraya melontarkan sumpah serapah. "Pengadilan tak adil. Kami sudah memberikan uang kepada jaksa, kenapa terdakwa masih dihukum berat?" protes mereka tanpa basa-basi.
Setelah aparat keamanan turun tangan, suasana pun reda. Selesai? Ternyata, jaksa yang dituding telah meminta uang sebesar Rp 10,5 juta kepada pihak terdakwa mengaku bersedia mengembalikan uang itu. Tak jelas, apakah kesediaan sang jaksa yang diucapkan di hadapan para pejabat pengadilan, kejaksaan, dan keamanan itu akan berlanjut dengan tuntutan delik suap terhadapnya. Yang pasti, rakyat yang gampang mengamuk adalah refleksi dari masyarakat tertindas yang kini mengalami kebangkitan rasa percaya diri, tapi pada saat yang sama juga kehilangan kepercayaan pada elite penguasa dan berbagai lembaga penunjangnya, tidak terkecuali jaksa dan para hakim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo