Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kotak Penangkap Panas

Dengan kompor tenaga surya, biaya bahan bakar bisa ditekan lebih murah. Namun diperlukan waktu memasak yang lebih lama dari biasa.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Kotak Penangkap Panas
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Masyarakat modern tentu tidak bisa dipisahkan dari kompor, seperti halnya masyarakat tradisional yang akrab dengan tungku pemasak dengan bahan bakar kayu api. Percaya atau tidak, dewasa ini di pelosok kampung, kaum ibu masih memanfaatkan kayu bakar, yang tingkat pemakaiannya semakin lama semakin tinggi sehingga bisa mengancam kelestarian hutan di sekitar hunian mereka.

Berdasarkan data Biro Pusat Statistik tahun 1993, sebanyak 27,9 juta keluarga di Indonesia mengonsumsi bahan bakar kayu atau arang. Bila satu keluarga memerlukan dua kilogram kayu sehari, berarti total kebutuhan kayu bakar setahun sekitar 20 juta ton. Bila satu pohon menghasilkan kayu seberat satu ton, berarti akan hilang 20 juta pohon setahun. Ini berarti lampu merah sudah menyala. Dengan kata lain, ancaman terhadap hutan tampaknya tidak bisa dibiarkan dan sudah waktunya untuk mencari alternatif bahan bakar yang lain.

Selain minyak tanah yang banyak digunakan--dan kalau tidak hati-hati bisa mengakibatkan kebakaran--akhir-akhir ini sering diperkenalkan bahan bakar dari briket batu bara. Namun untuk penduduk yang berdiam di pelosok, distribusi briket batu bara masih sering terkendala sehingga mereka tidak berminat.

Karena itulah, Herliyani Suharta, seorang peneliti dari Laboratorium Sumber Daya Energi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) kini mengembangkan kompor yang menggunakan bahan bakar dari tenaga matahari. Kompor surya itu, menurut sang peneliti, setidaknya mempunyai dua keunggulan, yakni aman bagi kesehatan dan bahan bakarnya gratis--karena berasal dari panas matahari.

Bentuk kompor itu mirip perabot rias. Ada meja, cermin, dan lacinya. Sinar matahari dijebak pada penampang yang berbentuk seperti meja, lantas digandakan dengan sebuah cermin. Adapun laci berfungsi sebagai tempat bahan makanan yang hendak dimasak. Jadi, prinsip kerjanya seperti oven.

Karena menggunakan sinar surya, tentu kompor hanya bisa dipakai ketika matahari bersinar. Karena itu, memasak tak bisa dilakukan di dalam rumah, tapi harus di teras atau di tempat terbuka.

Sebelum memasak, kompor "dipanaskan" dulu dengan mengarahkan cermin ke matahari sekitar satu jam. Setelah itu, apa pun jenis masakannya, siap diolah. Mulai dari memasak air, menanak nasi, sampai membuat sayur, gulai, dan pepesan. Termasuk pula membuat kue basah dan kering.

Hanya saja, memasak dengan kompor surya ternyata tak secepat dengan kayu bakar. Terutama bahan yang berkadar air tinggi seperti beras. Maklum, daya panas yang mampu diserap kompor surya baru 200 derajat Celcius, sedangkan suhu pada api kayu bakar bisa mencapai 1.600 derajat Celcius.

Jadi jangan kecewa, bila Anda memasak nasi atau merebus pisang seberat 1,8 kilogram, bahkan terlebih ketupat nasi pada Lebaran nanti, dibutuhkan waktu masak sekitar dua jam. Padahal kalau dimasak di atas tungku dengan kayu bakar, pekerjaan itu hanya memerlukan waktu 40 menit.

Penelitian oven matahari dilakukan Herliani sejak tahun 1992. Mula-mula, panas yang sanggup dihimpun hanya 80 derajat Celcius. Suhu tersebut dianggap kurang ideal untuk memasak sebab, belum banyak jenis bakteri di makanan yang bisa mati dengan suhu tanggung seperti itu.

Tiga tahun kemudian, penelitiannya disempurnakan. Agar panas tak menguap, dibuatkan isolator udara dua lapis. Bagian dalam kompor dibentuk seperti limas segi empat. Dengan permukaan bersudut, sinar yang masuk bisa ditangkap dari segala penjuru. Hasilnya, panas yang mampu diserap secara bertahap mencapai 170 derajat Celcius.

Uji lapangan pertama kali dilakukan di Lombok pada tahun 1995. Ternyata, masih ada kendala, yaitu ukuran kompor. Dengan dimensi 75 sentimeter x 75 sentimeter dan bertinggi 40 sentimeter, banyak ibu menganggap kompor terlalu berat, karena bobotnya sampai 35 kilogram. "Mereka merasa susah bila harus bolak-balik memasukkan dan mengeluarkan kompor," tutur Herliani.

Kompor surya itupun direvisi lagi, sampai dua kali. Hasilnya, cukup baik. Ukurannya dibuat 55 sentimeter x 55 sentimeter dengan tinggi 21 sentimeter. Sedangkan panas maksimum yang bisa diserap 202 derajat Celcius. "Dilengkapi roda, kompor bisa semakin mudah dipindah-pindahkan," kata Herliani.

Dia merencanakan, kotak penangkap panas itu akan dipamerkan di BPPT pada pekan ini. Pada pameran yang akan diresmikan Presiden B.J. Habibie itu, cara pembuatan kompor surya juga akan diperagakan. Bahan pembuatnya? "Hanya multipleks, kayu, dan kaca," ucap Herliani yang mungkin sudah harus memikirkan intellectual property right untuk kompor surya temuannya itu.

Ma?ruf Samudra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus