Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membelah Kedok Yayasan Soeharto

Penggunaan dana yayasan yang diketuai Soeharto banyak menyimpang. Setelah repot menghitung dananya, Kejaksaan Agung juga terbentur pada dasar hukum pembentukan yayasan.

14 Desember 1998 | 00.00 WIB

Membelah Kedok Yayasan Soeharto
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETELAH mengusut kisruh bisnis mobil Timor dan rekening pribadi, Kejaksaan Agung mulai membongkar berbagai yayasan yang diketuai Soeharto semasa menjadi presiden. Dewasa ini, baru tujuh yayasan, antara lain Dharmais, Supersemar, dan Dakab, yang diperiksa. Yayasan-yayasan itu, dengan aset senilai Rp 4,1 triliun, pada 22 November lalu telah diserahkan oleh Soeharto kepada pemerintah.

Sesuai dengan wewenang kejaksaan untuk menyidik korupsi, ketujuh yayasan tersebut diduga sarat dengan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Soeharto. Sumber dana yayasan, misalnya, diperoleh dengan pemberian privilege alias hak istimewa kepada pejabat, badan usaha milik negara, ataupun swasta melalui produk hukum yang populer dengan sebutan: surat keputusan presiden.

Selain dasar hukum yayasan tidak kuat, penggunaan dananya, seperti yang dikatakan Jaksa Agung Andi M. Ghalib di DPR, juga menyimpang. Ghalib mengatakan, dana yayasan dikucurkan untuk kepentingan bisnis, baik berupa penyertaan saham, pembelian obligasi, pemberian piutang, maupun pendirian berbagai perusahaan.

Sekadar gambaran, dana Rp 750 miliar milik Yayasan Dharmais dipinjamkan kepada Grup Nusamba milik Bob Hasan. Dana itu digunakan untuk perkebunan teh rakyat di Jawa Barat, pendirian 20 bank perkreditan rakyat (BPR), pabrik bubur kertas PT Kiani Lestari, dan pendirian Asuransi Tugu.

Masih banyak lagi bentuk pengaliran dana dari berbagai yayasan tersebut ke sejumlah bisnis kalangan dekat (kroni) Soeharto. Ada yang untuk pembelian saham Indocement, PT Kiani Kertas, dan PT Citra Marga Nusphala. Tentu saja segala bentuk penggunaan dana yayasan menyimpang dari tujuan semula, selain juga semakin mengecilkan aset tersisa milik yayasan.

Semua dugaan penyimpangan itu dimaksudkan untuk membuktikan unsur melawan hukum seperti tercantum dalam Undang-Undang Antikorupsi Tahun 1971. Unsur lain yang perlu dibuktikan adalah kerugian negara dan keuntungan pribadi atau orang lain. Dari segi ini, kejaksaan bisa menelusuri kekayaan Soeharto di berbagai yayasan tadi.

Baik Sekretaris Yayasan Dharmais, Hediyanto, maupun operator dana yayasan, yakni Bob Hasan, menyatakan bahwa pengurus yayasan tak mengutip keuntungan pribadi dari aset dan pengoperasian dana yayasan. Bahkan penggunaan dana Rp 750 miliar untuk Grup Nusamba, menurut mereka, bukan terhitung bisnis.

"Dana yayasan Dharmais berupa penyertaan saham dan digunakan untuk membantu petani teh serta menolong rakyat kecil lewat BPR. Pendirian Asuransi Tugu dilakukan karena belum ada perusahaan Indonesia yang mampu menutup asuransi dengan pertanggungan kakap.

Tahun ini, Tugu membayar pajak perseroan Rp 200 miliar," kata Bob Hasan dan Hediyanto, usai diperiksa Kejaksaan Agung Selasa dan Rabu pekan lalu.

Memang, tak gampang buat kejaksaan untuk membuktikan kesalahan Soeharto dan kroninya. Di samping itu, juga ada benturan. Sebab, belum ada undang-undang khusus tentang yayasan. Selama ini, menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Mardjono Reksodiputro, yayasan sebagai badan hukum nirlaba hanya mengikuti kebiasaan dan yurisprudensi yang berlaku di sini. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yayasan cuma disinggung pada Pasal 365, 899, 900, dan 1680.

Itu sebabnya, sewaktu tiga yayasan yang dipimpin Soeharto memberikan hibah--bukan pinjaman--Rp 782 miliar untuk menyelamatkan Bank Duta tahun 1990, hukum seperti tak berkutik. Padahal, yayasan bukan cuma tak boleh mengatur nasib suatu perusahaan, berbisnis pun "diharamkan".

Berdasarkan ketentuan itu, sudah saatnya disiapkan undang-undang yayasan yang mengatur soal pengurus, sumber dana, pengelolaan dana, termasuk kriteria investasinya. Lebih penting darti itu, pengurus tak boleh mengutip untung atau memanfaatkan kepentingan yayasan. Di negara seperti Belanda, Jerman, Inggris, dan Prancis, undang-undang yayasan sudah lama ada.

Kebutuhan undang-undang yayasan terasa semakin mendesak lantaran sekarang banyak yayasan bergerak di berbagai bidang. Kalau tidak, seperti dikatakan guru besar emeritus Universitas Airlangga, Prof. J.E. Sahetapy, kejahatan korporasi (badan hukum berupa yayasan), yang bisa lebih kejam dari kejahatan para pembunuh, akan menjadi-jadi.

Adapun bagi Kejaksaan Agung, tiadanya undang-undang yayasan tentu bukan berarti perkara yayasan Soeharto lantas luput dari jaring hukum. Bukankah perbuatan melawan hukum bisa terjadi lantaran melanggar kepatutan, etika bisnis, dan rasa keadilan masyarakat?

Happy Sulistiyadi dan Raju Febrian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus