Kasus pengadilan KM Niaga di Korea terus berlanjut. Pemilik kapal itu menjadi bulan-bulanan pengadilan Korea. PEKAN ini, genap satu tahun KM Niaga 47 ditahan Pemerintah Korea Selatan di pelabuhan Inchon. Namun, belum tampak tandatanda kapal itu akan dilepaskan. Malah, nasib kapal milik PT Pelayaran Nusantara Bahari itu -disewa beli (leasing) dari PT Pengembangan Armada Niaga Nasional (PANN) -semakin sarat dengan perkara. Setelah awak kapalnya dinyatakan bersalah dalam perkara pidana, kini giliran pemilik kapal digugat perdata (dituntut ganti rugi) oleh berbagai pihak di situ. Kisah penahanan kapal yang sedang mengangkut kayu gelondongan dari Serawak ke pelabuhan Inchon itu bermula pada 6 Desember 1990. Waktu itu, KM Niaga 47 baru memasuki pelabuhan Inchon. Saat Nakhoda Achmad Nashirin merapatkan kapalnya, tiba-tiba polisi per airan pelabuhan naik ke kapal. Dari polisi ini, Nashirin baru tahu bahwa kapalnya dituduh oleh organisasi nelayan Inchon telah membuang limbah minyak kotor ke perairan Inchon. Untuk mempertanggungjawabkan "perbuatan" mereka, polisi kemudian menahan Nakhoda Nashirin, kepala kamar mesin Nicholas Manuputty, Mualim I Nasrun Azis, dan Masinis III Hendaryanto. Pada sidang Agustus lalu, pengadilan Inchon menjatuhkan putusan bahwa KM Niaga 47 terbukti bersalah membuang limbah sebanyak 60 ton, dan membiarkan oil-water separator (OWS) -alat pengolah limbah minyak -dalam keadaan rusak. Empat awak kapal tadi dihukum masing-masing 1 tahun penjara, dan tiga di antaranya dikenai denda 1 juta won (sekitar Rp 2,95 juta) per orang. Semula keempat terpidana itu akan naik banding karena menganggap tuduhan itu mengada-ada. Alat pengolah limbah, diakui Nashirin, memang bocor, tapi mereka tidak pernah menumpahkan limbah ke perairan tersebut. Bocoran oli itu seluruhnya ditampung di palka kapal yang sudah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan segala macam limbah. Jumlah limbah 60 ton juga dinilai tidak masuk akal karena tempat limbah tak cukup untuk menampung jumlah itu. Namun, Direktur Utama PT Pelayaran Nusantara Bahari, Ali Kamal, seperti dalam keterangan persnya, meminta awak yang dipidana itu tidak naik banding. Dengan begitu, ia berharap persoalan cepat selesai, dan semua awak berikut kapalnya segera dibebaskan. Selain itu, "Kami juga mengikuti imbauan Pemerintah, yang akan melakukan pendekatan diplomatik." Ternyata, sikap Ali Kamal menjadi bumerang. Sikap itu justru dianggap pihak Korea telah mengakui kesalahannya. Keadaan ini dimanfaatkan Daesung, perusahaan pembersih pantai, yang menuntut ganti rugi 600 ribu dolar dari pemilik kapal, berikut sita jaminan kapal. Alasannya, mereka terpaksa membersihkan pantai dari pencemaran. Selain Daesung, organisasi petani laut Inchon menggugat pula dan meminta ganti rugi US$ 54 juta. Alasannya, akibat pencemaran, ikan-ikan di perairan Inchon musnah. Munculnya gugatan baru dijadikan alasan oleh pengadilan Inchon untuk tetap menahan KM Niaga. Celakanya, PT Pelayaran Nusantara juga diwajibkan membayar port charge selama kapal ditahan. Menurut Sekretaris PT Pelayaran Nusantara, John Lenggo, untuk tahap pertama tagihan yang harus dibayar US$ 34.769 (periode Desember 1990 hingga Maret 1991). Sampai September lalu, jumlah tagihan, dalam nota tagihan mereka, mencapai US$ 110.000. "Di atas kertas, kerugian kami sudah mencapai hampir Rp 2 milyar," kata John. Tapi, pihaknya bersikeras tidak akan mau membayar, sebelum kapalnya dilepas. Lenggo juga menyatakan keheranannya mengapa pencemaran lingkungan dalam hukum Korea dimasukkan dalam lingkup hukum pidana. Padahal, menurut Lenggo, di negara lain, pencemaran masuk kategori perdata biasa, dengan kewajiban membayar ganti rugi. Soal kategori hukum itu layak menjadi pertanyaan Lenggo karena berkaitan dengan pihak asuransi. Penanggung asuransi kapal, yakni P&I Club, Inggris, sudah mengisyaratkan tak akan menanggung risiko, dengan alasan pelanggaran yang dilakukan KM Niaga masuk dalam kategori criminal clause, sesuai dengan hukum Korea. Kepusingan PT Pelayaran Nusantara tak hanya di situ. Ia juga harus membayar leasing kepada PT PANN Rp 101 juta per bulan, dalam jangka waktu lima tahun. Untuk membebaskan diri dari belitan utang, PT Pelayaran mencoba berikhtiar. Selain minta bantuan Pemerintah (lewat pendekatan diplomatik), ia juga menyewa surveyor, Britannia Protection & Indemnity Club. Survei sudah dilakukan. Menurut hasil penelitian sample limbah, ternyata jenis limbah yang dijadikan barang bukti di pengadilan berlainan dengan limbah yang terdapat di kapal. Hasil survei itulah yang sementara ini bisa menghibur PT Pelayaran Nusantara. Pada sidang pekan lalu, hasil itu sudah disampaikan ke hakim. Jika nanti ternyata PT Pelayaran dikalahkan menurut Lenggo, pihaknya sudah mengambil ancang-ancang untuk membawa persoalan ini ke Mahkamah Internasional di Den Haag. Sementara itu, penasihat hukum PT Pelayaran, Husein Umar, menyatakan kekecewaannya terhadap pengadilan Korea, yang gampang menjatuhkan tuduhan kriminal. "Jadinya seperti blackmail (pemerasan)," katanya. Dalam konvensi internasional (Regulation for the Prevention of Pollution by Oil), yang juga ditandatangani Korea dan Indonesia, menurut Husein, ditetapkan bahwa penyelesaian kasus pencemaran lingkungan sedapat mungkin tidak menghalangi keberangkatan kapal. "Dalam kasus ini, kenapa kapalnya justru ditahan?" Tuntutan Daesung meminta ganti rugi untuk biaya operasional pembersihan pantai dinilai Husein tak berdasar. "Memangnya kita yang menyuruh mereka membersihkan pantai?" ujar Husein. Apapun juga, agaknya pemilik KM Niaga bagai sudah jatuh ditimpa tangga. Aries Margono dan Nunik Iswardhani (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini