Gara-gara mati kesetrum, keluarga almarhum menggugat PLN satu milyar rupiah. Masyarakat kian melek hukum? KESETRUM listrik PLN, kini, tak lagi semata-mata risiko korban. Seorang istri korban kesetrum, Nurhayani, menggugat Perusahaan Listrik Negara (PLN) Lubuklinggau, Sumatera Selatan, membayar ganti rugi Rp 1 milyar, pekan-pekan ini. Wanita itu beserta anak-anaknya merasa sangat dirugikan gara-gara suaminya, Ali Semar, tewas kesetrum. "Akibat kelalaian PLN, kami sekeluarga menderita," Nurhayani memaparkan. Pengacara Nurhayani, Salim Umar, menyebutkan gugatan satu milyar rupiah bukan sebagai pengganti harga nyawa Ali Semar. "Kehilangan kepala keluarga tak bisa dinilai dengan uang. Gugatan ini saya ajukan dengan tujuan untuk memberi pelajaran PLN atas kecerobohannya," kata Salim. Pada malam 15 Maret 1991, Ali Semar, Wakil Kepala Cabang Dinas Pekerjaan Umum Musi Rawas, dan keluarganya menikmati pertandingan bulu tangkis di televisi. Baru berjalan beberapa menit, tiba-tiba gambar layar TV kabur. Ali spontan keluar rumah, dengan maksud membetulkan letak antena. Tapi saat itulah nahas datang. Begitu tangan kirinya memegang tiang antena, ayah enam anak itu menjerit minta tolong, "Saya kena setrum ...." Jeritan itu mengejutkan keluarga dan tetangganya. Anak-anak Ali berusaha menyeret tubuh sang ayah, tapi mereka justru terpental sendiri, dan malah mengalami luka bakar terkena setrum. Nurhayani kemudian mengambil sapu ijuk dan memukulkannya ke tangan suaminya yang masih lengket di antena. Ali langsung jatuh tersungkur membentur pagar. Malam itu juga, Ali dilarikan ke rumah sakit. Tapi jiwanya tak tertolong, ia tewas dengan separuh badan terkena luka bakar. Menurut Nurhayani, esoknya, PLN bersama polisi memeriksa ke lokasi. Petugas PLN mengganti kabel induk dan beberapa stop kontak, lalu mengalirkan listrik itu kembali ke rumah korban. "Ternyata, ketika itu, tiang antena masih tetap dialiri arus listrik," katanya. Ini dibuktikan oleh seorang tetangga yang mencoba menempelkan testpen, dan ternyata memang benar masih ada aliran listrik. Sekali lagi masalah ini dilaporkan ke PLN. Setelah diteliti cermat, baru diketahui bahwa aliran listrik datang dari isolator murstang yang pecah. "Menilik kondisinya, isolator itu sudah lama pecah," Salim Umar menuturkan. Akibatnya, arus listrik bebas mengalir melalui murstang yang menyatu dengan atap rumah yang seluruhnya dari seng. Salim menilai, jika kualitas isolator dari PLN bagus, tak mungkin bisa segampang itu pecah. PLN dituduhnya melanggar pasal 1365 KUH Perdata dan 359 KUHP (akibat kealpaan PLN mengakibatkan kematian). "Tindakan ceroboh ini pantas dibayar oleh PLN," ujarnya. Pihak PLN sendiri mengaku kaget atas gugatan ini. Menurut pengacara PLN, A. Fauzi Rivai, sepengetahuan dia, belum pernah ada orang kesetrum listrik lantas menggugat PLN. Dalam kasus gugatan keluarga Ali, menurut Fauzi, PLN tak bisa disebut lalai. "Listrik yang menerobos ke antena, bukan akibat kelalaian PLN, tapi justru karena keluarga almarhum sendiri yang ceroboh memasang saluran listrik tambahan di luar ketentuan resmi PLN," ia menangkis. Ketua majelis hakim, Oom Kowanda, membenarkan perkara yang ia tangani ini termasuk langka. Munculnya gugatan tersebut dinilainya sebagai fenomena menarik. "Warga semakin kritis dan semakin melek hukum," komentarnya. Aries Margono, Taufik T. Alwie dan Aina Rumiyati Aziz (Palembang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini