Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menakar Manfaat Serikat Pekerja bagi Perusahaan

Serikat pekerja dinilai dapat mencegah perusahaan bertindak sewenang-wenang serta meningkatkan kinerja dan branding perusahaan.

13 September 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Massa dari berbagai organisasi buruh dan serikat pekerja melakukan aksi saat hari buruh internasional di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, 1 Mei 2024. Dok.TEMPO/Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemberangusan serikat pekerja dinilai terjadi karena kesalahan persepsi pihak perusahaan.

  • Serikat kerap dipandang sebagai sesuatu yang membahayakan sehingga harus dilarang atau dilemahkan.

  • Padahal serikat tak hanya bermanfaat untuk pekerja, tapi juga untuk pengusaha.

PEMUTUSAN hubungan kerja (PHK) yang marak terjadi dalam beberapa waktu belakangan juga menimpa dunia pers Tanah Air. Sebanyak 14 karyawan diberhentikan secara sepihak oleh perusahaan pada akhir Agustus 2024. Mereka menilai PHK itu merupakan dampak pembentukan serikat pekerja bernama Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketua Umum SPCI Taufiqurrohman menuding PHK ini sebagai bentuk union busting atau pemberangusan serikat pekerja yang bertentangan dengan Pasal 28 (a) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Buruh. "Pemberangusan serikat pekerja ini juga bertentangan dengan UUD 1945 dan UU HAM serta mencederai nilai-nilai demokrasi," kata Taufiq saat dihubungi kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wakil Pemimpin Redaksi CNN Indonesia TV Revolusi Riza Zulverdi membantah anggapan bahwa PHK itu sebagai bentuk union busting. Pasalnya, menurut dia, tak ada larangan pendirian serikat pekerja di Grup Transmedia, grup yang menaungi CNN Indonesia. Riza menyatakan PHK ini dilakukan karena perusahaan tengah dalam proses restrukturisasi organisasi atau efisiensi. “Proses PHK sudah berjalan sejak tahun lalu,” ucapnya.

Pembentukan serikat merupakan hak asasi manusia yang dijamin secara sah oleh konstitusi Indonesia. Hak untuk berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat, dan mengeluarkan pikiran serta tulisan ini dijamin dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 serta Pasal 24 ayat (1) UU Hak Asasi Manusia. Demikian pula bagi para pekerja/buruh. Dalam UU Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, para pekerja mempunyai hak untuk mendirikan serikat pekerja sebagai manifestasi atas hak berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pendapat dan pikiran.

Dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 21 Tahun 2000, yang dimaksudkan dengan serikat pekerja atau serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja atau buruh baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja atau buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. “Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya,” demikian bunyi Pasal 4 undang-undang tersebut.  

Kebebasan berserikat ini juga dijamin oleh konvensi Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) Nomor 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi serta konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949 tentang Hak Berserikat dan Berunding Bersama. Indonesia telah meratifikasi kedua konvensi ILO tersebut.

Ketua Umum Solidaritas Pekerja CNN Indonesia (SPCI) Taufiqurrohman memberikan pemaparan dalam diskusi di Jakarta, 31 Agustus 2024. ANTARA/Fianda Sjofjan Rassat

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai pemberangusan serikat pekerja memang kerap terjadi karena persepsi yang salah dari pihak manajemen perusahaan. Selama ini, menurut dia, kehadiran serikat pekerja sering dipersepsikan sebagai ancaman oleh manajemen karena identik menuntut perbaikan upah dan perbaikan kepastian kerja. “Persepsi ini ada karena serikat pekerja akan memunculkan antagonisme yang membuat kepentingan perusahaan melakukan efisiensi menjadi terganggu akibat ada hak pekerja yang dikorbankan,” tuturnya.

Padahal, menurut dia, serikat pekerja sebenarnya juga memiliki fungsi yang positif bagi pekerja dan perusahaan. Misalnya, untuk menampung aspirasi dari pekerja kepada manajemen. Selain itu, serikat berguna untuk meningkatkan rasa kepemilikan terhadap perusahaan dan pada akhirnya meningkatkan kinerja perusahaan. 

Tak hanya itu, Bhima menilai keberadaan serikat pekerja bisa meningkatkan citra perusahaan tersebut. Masyarakat dan pemerintah akan melihat perusahaan yang memiliki serikat pekerja punya nilai-nilai keadilan, inklusif, serta demokratis. “Makin kuat serikat pekerja, makin dipersepsikan oleh konsumen dan pemerintah bahwa perusahaan itu berdedikasi terhadap hak-hak pekerjanya,” ucap Bhima.

Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah sependapat dengan Bhima. Selama ini, menurut dia, perusahaan tidak menyukai serikat pekerja karena khawatir para karyawannya akan memiliki kekuatan yang besar ketika mereka bersatu. Padahal, kata Piter, serikat justru bisa meningkatkan efektivitas koordinasi antara pekerja dan manajemen. “Perusahaan seharusnya tidak antiserikat pekerja. Banyak yang bisa berkomunikasi dengan baik dengan serikat pekerjanya.”

Buruh dari berbagai serikat pekerja se-Jabodetabek melakukan unjuk rasa menolak Tapera di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta, 6 Juni 2024. TEMPO/Subekti

Pendapat dosen hukum perburuhan Universitas Airlangga, Hadi Subhan, pun sama. Dia menilai banyak manfaat dari keberadaan serikat pekerja dalam sebuah perusahaan. Misalnya sebagai media komunikasi dengan pekerja. Dalam banyak kasus, menurut dia, manajemen cukup berkomunikasi dengan serikat saja jika mereka akan mengeluarkan kebijakan tertentu, tidak perlu ke semua pekerja. Hal ini bisa membuat komunikasi antara manajemen dan pekerja lebih efisien. Bahkan, menurut Hadi, dalam kondisi tertentu serikat pekerja dapat dijadikan sebagai legitimasi terhadap kebijakan yang dilakukan oleh perusahaan. “Di Belanda, justru perusahaan sering menginisiasi atau mendorong pembentukan serikat pekerja untuk mendapatkan manfaat ini,” katanya saat dihubungi secara terpisah. 

Ketua Divisi Ketenagakerjaan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta Caesar Akbar juga berpendapat serupa. Menurut dia, selain sebagai wadah untuk memperjuangkan hak pekerja yang adil dan layak, kehadiran serikat pekerja di sebuah perusahaan berkorelasi dengan produktivitas para pekerjanya. “Dampak bagi perusahaan secara tidak langsung. Kalau hak pekerja terpenuhi, korelasinya ke peningkatan produktivitas,” ujarnya. 

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menambahkan, friksi yang terjadi antara perusahaan dan serikat pekerja sebenarnya merupakan permasalahan klasik. Faisal menjelaskan, konflik ini sering muncul karena perbedaan kepentingan di antara kedua pihak.

Menurut Faisal, pengusaha cenderung berfokus untuk memaksimalkan profit, yang sering melibatkan pengurangan biaya, termasuk melalui upah rendah untuk pekerja. Di sisi lain, serikat memungkinkan para pekerja mereka menuntut kesejahteraan yang lebih baik. Menurut dia, sebaiknya pengusaha ataupun serikat pekerja mencari titik tengah. "Semestinya, kalau ditemukan titik tengah, bisa menyeimbangkan antara daya saing dari pemilik kapital atau pengusahanya dan kesejahteraan serta daya beli dari pekerjanya,” katanya.

Faisal juga mencatat dinamika hubungan ini sering kali rumit dan dapat diperburuk oleh komunikasi yang tidak lancar antara pengusaha dan pekerja. Dia menyebutkan isu tenaga kerja kerap menjadi isu sensitif bagi pemilik perusahaan, terutama soal pembentukan serikat pekerja. "Sering terjadi tarik-menarik di antara dua kepentingan ini. Dan kalau kemudian dari hubungan koordinasi dan komunikasi juga jadi tidak lancar, inilah yang akan memperparah kondisi hubungan antara pekerja dan pengusaha atau perusahaan,” ujarnya. 

Kendati demikian, Faisal menyatakan menemukan titik tengah antara kepentingan pengusaha dan pekerja sangat mungkin untuk dicapai secara harmonis.

Andi Adam dan Bagus Pribadi berkontribusi dalam tulisan ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Defara Dhanya Paramitha

Defara Dhanya Paramitha

Memulai karier jurnalistiknya di Tempo pada 2022. Alumni Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini meraih penghargaan karya antikorupsi dari KPK. Kini menulis isu seputar sains, teknologi, dan lingkungan. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus