Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Masa Depan Sistem Peradilan Pidana, PBHI: Ancaman Perluasan Kewenangan Lembaga

PBHI berpandangan ada kecederungan memperluas kewenangan oleh masing-masing lembaga dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

7 April 2025 | 21.00 WIB

Sekretaris Jenderal PBHI Gina Sabrina (kiri) dan Peneliti Themis Indonesia Helmi Lavour (kanan) bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Bersih melaporkan dugaan kecurangan Pemilu ke Bawaslu RI, Jakarta, Selasa, 23 Januari 2024. Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Bersih melaporkan akun media sosial X @Kemenhan_RI yang menulis tagar #PrabowoGibran2024 yang kini sudah di hapus, hal tersebut dianggap kecurangan karena telah menggunakan fasilitas Pemerintah untuk kepentingan kampanye. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Perbesar
Sekretaris Jenderal PBHI Gina Sabrina (kiri) dan Peneliti Themis Indonesia Helmi Lavour (kanan) bersama Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Bersih melaporkan dugaan kecurangan Pemilu ke Bawaslu RI, Jakarta, Selasa, 23 Januari 2024. Koalisi Masyarakat untuk Pemilu Bersih melaporkan akun media sosial X @Kemenhan_RI yang menulis tagar #PrabowoGibran2024 yang kini sudah di hapus, hal tersebut dianggap kecurangan karena telah menggunakan fasilitas Pemerintah untuk kepentingan kampanye. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) berpandangan bahwa saat ini ada kecenderungan masing-masing lembaga memperluas kewenangannya dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBHI Gina Sabrina mengatakan dalam konteks demokrasi, kewenangan harus dimaknainya sebagai ancaman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Jadi kalau ada mau kewenangan berlebih dari institusi Polri, misalnya, dari institusi Kejaksaan dan mungkin Mahkamah Agung, harus dimaknainya sebagai ancaman," kata Gina dalam Diskusi Publik: Masa Depan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, yang dikutip Tempo dari Youtube PBHI Nasional, pada Ahad, 6 April 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Dengan adanya upaya lembaga tertentu memperluas kewenangannya dalam sistem peradilan pidana ini, kata dia, maka penting untuk mengimbanginya dengan pengawasan. Jangan sampai hanya kewenangan yang ditambah tapi pengawasannya absen. "Tidak jelas pengawasannya seperti apa, dan itulah yang kemudian kita temukan problemnya hari ini," ujarnya.

Berdasarkan temuan dan pengalaman PBHI pada bisnis proses acara pidana, setidaknya ada empat masalah pada Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berlaku saat ini. Pertama, perihal pra penyelidikan dan penyelidikan. Yakni, saksi, korban, dan pelaku menghadapi risiko intimidasi. Proses penangkapan seringkali tidak transparan dan tanpa pendampingan.

Gina mencontohkan, bahaya aturan soal aparat penegak hukum tidak wajib menunjukkan identitas dalam penyelidikan tertutup. Contohnya, seperti mahasiswa sedang demo, lalu ditarik oleh seseorang tanpa menunjukan identitasnya. Pelaksanaannya dilakukan terbuka tapi kemudian mereka berdalih sedang melakukan penyelidikan tertutup.

Praktik seperti itu, kata Gina, sering kali terjadi pada saat demonstrasi. Hal itu sebenarnya sudah bisa dikategorikan sebagai penculikan karena tidak ada kabar. Dua hari kemudian, polisi baru memberi salinan penangkapannya kepada anggota keluarga.

Kedua, proses penyelidikan yang panjang dan melelahkan. Saksi dan korban mengalami tekanan psikologis, sementara pelaku tindak pidana berisiko mengalami penyiksaan. Bukan cuma pelaku, saksi pun bisa ditangkap paksa untuk dibawa ke kantor polisi, dimintai keterangan yang dalam prosesnya mengalami penyiksaan seperti pemukulan bahkan disundut api rokok.

Tindakan-tindakan tidak manusiawi tersebut, menurut Gina, terjadi karena tidak adanya aturan yang jelas mengenai lama waktu penangkapan dan penahanan, hak-hak tersangka, saksi, dan lainnya dalam Undang-Undang KUHAP saat ini.

Ketiga, korban kurang berperan aktif dan minim informasi. Pelaku memiliki keterbatasan membela diri dan mengakses dokumen-dokumen perkara. Padahal mereka yang mengalami dan menyaksikan, mengetahui alat-alat bukti tapi tidak dilibatkan secara aktif, atau perkaranya terus berjalan padahal sudah diselesaikan dengan mediasi.

Gina berpandangan bahwa yang terjadi saat ini adalah bila suatu perkara sudah P21, perkara tersebut harus tetap lanjut proses hukumnya meskipun pihak berperkara sudah berdamai.

Temuan terakhir tentang kekurangan KUHAP yakni menyoal pemeriksaan di pengadilan. Saksi kurang mendapat dukungan hukum. Korban harus menghadapi pelaku tanpa bantuan psikolog dan pelaku berisiko tidak mendapat pengadilan adil karena banyak kasus soal rekayasa kasus, pengadilan sesat dan lain-lain.

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus