Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang sidang utama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin pekan lalu, terasa panas. Deru putaran tiga kipas angin berukuran besar di atas ruangan tak mampu mengurangi gerahnya sidang praperadilan Abdul Waris Halid.
Kepala Divisi Perdagangan Umum Induk Koperasi Unit Desa itu adalah salah satu dari sembilan tersangka kasus gula ilegal 73.520 ton eks Thailand senilai Rp 12,5 miliar. Polisi menahannya sejak 28 Juni lalu dengan jeratan dua pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): Pasal 263 tentang pemalsuan dokumen, dan Pasal 55 tentang turut serta melakukan tindak penyelundupan.
Ternyata, jeratan inilah yang justru menjadi peluang bagi Waris. Edison Betaubun, pengacara Waris, bersikukuh pasal-pasal yang didakwakan pada kliennya termasuk tindak pidana fiskal, bukan korupsi. Karena pelanggaran fiskal, kata Edison, yang berwenang menangkap kliennya adalah Penyidik Pegawai Negeri Sipil dari Direktorat Jenderal Bea Cukai. "Polisi tak berhak menangkap. Apalagi, dalam surat penangkapan dan penahanan, tak ada satu pun kata yang menyebutkan itu kasus korupsi," ujar Edison merujuk surat penangkapan dan penahanan dengan nomor SP.Kap/37/VI/2004/Eksus dan SP.Han/16/VI/2004/Eksus. Dengan alasan ini pula Waris mempraperadilankan polisi.
Tapi polisi menolak dalil hukum Edison. Dari hasil pengembangan penyidikan, polisi yakin ini adalah kasus pidana korupsi. Karena itu, menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal Polisi Suyitno Landung, polisi berhak menahan berdasarkan Pasal 263 KUHP dan Undang-Undang Korupsi, yang ancaman kurungannya lebih dari lima tahun. Polisi juga yakin, Waris berperan besar dalam kasus penyelundupan ini sebagai orang yang menyuruh dan menggunakan dokumen palsu surat permohonan pembongkaran (eigen lossing) dan dokumen pengapalan (bill of lading)tuduhan yang sudah diakui Waris. "Jadi, penyidik berwenang menahan," kata Suyitno.
Bambang Widjojanto, kuasa hukum polisi, memperkuat alasan Suyitno. Apalagi, kata dia, kasus penyelundupan gula bukan sekadar soal sah atau tidaknya penangkapan berdasarkan kompetensi lembaga yang melakukan penyidikan. "Tapi, apakah kita membiarkan saja penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara ratusan miliar rupiah terjadi," kata dia.
Toh, Effendi, hakim tunggal sidang praperadilan, lebih menerima argumentasi pengacara Waris. Menurut Effendi, polisi menyalahi aturan soal kepabeanan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 junto Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, yang memberikan wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dirjen Bea Cukai. Ia juga menyebut polisi tidak bisa memberikan bukti yang menunjukkan bahwa Waris ditangkap karena terlibat korupsi. Dari sinilah hakim menyimpulkan bahwa penangkapan itu salah sehingga Waris harus dilepas. Polisi juga diminta menyerahkan penyidikan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Dirjen Bea Cukai.
Selesai? Polisi boleh salah, toh kemenangan Waris hanya sekejap. Segera setelah polisi menyerahkannya ke pihak Bea Cukai, instansi terakhir ini menahan Waris dengan status tahanan titipan di Markas Besar Polisi, Jalan Trunojoyo, Jakarta.
Waris sempat menolak. Ia berkeras penahanan itu tak sah karena tanpa berita acara pemeriksaan (BAP). Tapi upayanya sia-sia. Bea dan Cukai tetap menahan Waris, yang sekarang masih terbaring di Rumah Sakit Polri Soekanto, Kramat Jati. Di sini, ia dirawat bersama kakaknya, Nurdin Halid, yang juga salah satu tersangka kasus yang sama. Bahkan, kalaupun kelak Waris bisa menghindari jeratan aparat Bea dan Cukai, polisi sudah siap menahan dengan tuduhan baru: tindak pidana ekonomi, korupsi, dan pemalsuan dokumen.
Pakar hukum pidana Andi Hamzah menilai keputusan hakim secara yuridis murni sudah tepat. Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996, disebutkan bahwa polisi bisa melakukan penahanan pada situasi tertentu, misalnya di daerah terpencil atau di luar kawasan kepabeanan. "Tapi dia (Waris) kan ditahan di Jakarta, yang ada aparat Bea dan Cukai-nya," ujarnya pekan lalu.
Menurut Andi, yang juga ketua tim perumus Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kerepotan seperti ini sebetulnya tak perlu terjadi. "Serahkan saja Waris ke Bea Cukai. Polisi tinggal meneruskan penyelidikannya. Selesai sudah," kata guru besar hukum pidana Universitas Trisakti ini.
Raju Febrian, Martha Warta Silaban, Erma Yulihastin (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo