Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKSA Bastian Hutabarat tergesa-gesa melepas toga dan baju kebesarannya. Dengan langkah cepat ia meninggalkan ruang sidang. Dia tampaknya enggan menghadapi wartawan yang siap memberondongkan pertanyaan. Tinggallah rekannya, Robert Tacoy, yang ketiban sampur harus melayani wartawan.
Adegan itu terjadi seusai sidang pembacaan tuntutan terhadap dua awak TEMPO, Ahmad Taufik dan Teuku Iskandar Ali. Jaksa menuntut mereka berdua dengan hukuman dua tahun penjara. Tuntutan itu sama persis dengan yang dihadapi Bambang Harymurti, pemimpin redaksi majalah ini, dua pekan lalu. Seperti halnya untuk Bambang, tuntutan bagi Taufik dan Iskandar ditambahi permintaan agar mereka segera ditahan jika divonis bersalah.
Menurut Jaksa Bastian, kesamaan tuntutan bagi ketiga awak TEMPO itu karena perkara dan pasal yang digunakan pun sama. Ia mengakui hanya menyalin tuntutan dari surat tuntutan terhadap Bambang. "Ya, betul. Perkaranya kan sama juga," katanya kepada TEMPO.
Dalam tuntutannya, jaksa menyebut Ahmad Taufik dan Iskandar bersalah mencemarkan nama baik pengusaha Tomy Winata. Menurut jaksa, isi berita TEMPO yang menyebut Tomy akan menangguk keuntungan dari kebakaran Tanah Abang, lalu ada kata "pemulung besar", adalah kesengajaan mencemarkan nama baik Tomy. "Terdakwa tahu Tomy pengusaha, bukan pemulung," kata jaksa. Karena kedua wartawan itu dianggap tidak dapat membuktikan Tomy sebagai pemulung besar yang mengajukan proposal renovasi Pasar Tanah Abang, jaksa menyebut keduanya telah memfitnah.
Ihwal kasus ini bermula dari berita di Majalah TEMPO Edisi 3-9 Maret 2003 berjudul Ada Tomy Di Tenabang?. Beberapa hari setelah berita itu terbit, ratusan orang yang mengaku sebagai pendukung Tomy mengepung kantor Majalah TEMPO. Sebagian yang lain memaksa menemui redaksi. Terjadi ketegangan, bahkan aksi kekerasan yang berlangsung di Kepolisian Resor Jakarta Pusat. Kasus ini kemudian berlanjut dengan gugatan Tomy yang membuat Bambang, Taufik, dan Iskandar menjadi terdakwa.
Jaksa menyebut, laporan Taufik yang kemudian diedit Iskandar itu adalah berita bohong. Tomy sendiri, menurut jaksa, membantah pernah diwawancarai TEMPO. Akibat pemberitaan itu, masih kata jaksa, timbul keonaran di masyarakat. Para korban kebakaran Pasar Tanah Abang juga disebut resah. Begitu pula karyawan Bank Artha Graha.
Djoko Prabowo Saebani, pengacara TEMPO, menilai tuntutan itu dipaksakan dan tidak layak. Menurut dia, pers punya kewenangan memberikan informasi tanpa keharusan mencari bukti. "Polisi, jaksa, dan hakimlah yang bertugas mencari bukti. Pers itu bukan polisi," kata Djoko. Ia lalu menyayangkan jaksa yang tidak menggunakan Undang-Undang Pers dalam menangani kasus ini.
Tuntutan dua tahun di mata Djoko juga sangat aneh. Ia membandingkan perkara sejenis yang umumnya hanya dituntut hukuman percobaan. Apalagi, kata Djoko, masih ada tuntutan tambahan: segera masuk tahanan jika divonis bersalah. Perkara yang lebih besar saja, kata dia, jika terdakwanya tidak ditahan, jaksa jarang sekali menuntut agar si terdakwa langsung ditahan.
Djoko juga heran mengapa tuntutan terhadap Ahmad Taufik dan Iskandar Ali sama. Menurut dia, seharusnya jaksa melihat perbedaan tugas keduanya sebagai penulis berita dan pengedit. Apalagi, kata Djoko, jaksa menuntut Taufik dua tahun penjara dengan melihat faktor memberatkan, yaitu yang bersangkutan pernah dihukum. (Setelah Majalah TEMPO dibredel pada masa Soeharto tahun 1994, Ahmad Taufik menggalang gerakan perlawanan dengan menerbitkan buletin Independen. Pada 1995, aparat menangkap Taufik atas tuduhan "penyebaran kebencian dan permusuhan terhadap pemerintah." Dia divonis hukuman 2 tahun 8 bulan penjara, lalu diperberat oleh Mahkamah Agung menjadi 3 tahun.) "Nah, Iskandar belum pernah dihukum, tapi tuntutannya sama dengan Taufik. Ini dagelan," kata Djoko.
Tentang tuntutan segera masuk tahanan, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat Salman Maryadi menyebut itu sah-sah saja. "Ancaman hukuman untuk pasal yang dituduhkan cukup tinggi, di atas lima tahun," katanya kepada TEMPO, Rabu pekan lalu. Menurut dia, pasal yang dilanggar adalah membuat keonaran yang mengganggu ketenteraman umum.
Taufik dan Iskandar dijerat dengan dakwaan berlapis, yakni Pasal XIV ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang menyiarkan berita bohong sehingga menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dan Pasal 311 (1) dan 310 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1e KUHP tentang pencemaran nama baik.
Salman membantah jika dikatakan ada "pesanan tuntutan" dalam kasus ini. "Tidak ada. Ini murni pertimbangan yuridis hukum," kata dia. Dalam mekanisme penuntutan, selama ini di kejaksaan dikenal adanya "rencana tuntutan". Dengan mekanisme ini, besarnya tuntutan diajukan oleh jaksa ke atasannya untuk disetujui sebelum dibacakan di sidang. Siapa yang menentukan bahwa tuntutan itu dua tahun? "Wah, itu hanya untuk kalangan internal kami. Jaksa adalah satu," ujar Salman seraya menegaskan dia hanya membuat surat tuntutan.
Salman memastikan, besarnya tuntutan datang dari jaksa penuntut sendiri. Setelah draf surat tuntutan selesai dibuat, kata dia, jaksa penuntut umum mempresentasikan ke atasannya. Dan setelah pasal yang didakwakan dibahas, usulan tuntutan itu pun disetujui. Hasilnya, muncullah angka dua tahun itu dan permintaan tambahan agar terdakwa ditahan jika divonis bersalah. Persetujuan atas besar tuntutan itu pun, masih kata Salman, tak sampai diajukan ke tingkat yang lebih tinggi. "Hanya di kejaksaan negeri, tidak sampai ke kejaksaan tinggi," kata dia.
Juru bicara Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Haryono, mengatakan bahwa pengajuan tuntutan hingga ke lembaganya hanya terhadap perkara tertentu. Misalnya kasus narkoba, korupsi, dan pembunuhan. "Semua itu bergantung pada pasal-pasal dakwaan," katanya. Terhadap kasus TEMPO, Haryono hanya berujar, "Tanya ke kejaksaan negeri."
Mekanisme penuntutan itulah yang dikeluhkan Djoko. Ia mengusulkan agar Dewan Perwakilan Rakyat mengubah mekanisme yang sudah lazim itu. "Sebab, saat ini masih banyak campur tangan yang mengakibatkan penegakan hukum tidak independen," kata dia.
Sukma N. Loppies, Edy Can (TNR)
Tomy Winata Vs. TEMPO
PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
Tuduhan (pidana):
Terdakwa:
Status:
Tuduhan (perdata):
Pencemaran nama baik
Tergugat:
Status:
Gugatan ditolak, TEMPO menang.
Tuduhan (perdata):
Pencemaran nama baik
Tergugat:
Status:
PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
Tuduhan (perdata):
Perbuatan melawan hukum
Tergugat:
Status:
PENGADILAN NEGERI JAKARTA TIMUR
Tuduhan (perdata):
Perbuatan melawan hukum
Tergugat:
Status:
PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT
Tuduhan (pidana):
Perbuatan tak menyenangkan
Terdakwa:
Status:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo