Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Jalur Cepat Melawan Flu Burung

Peneliti IPB dan Jepang membuat vaksin anti-flu burung dengan rekayasa genetik. Lebih cepat diproduksi, juga lebih ampuh.

2 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lonceng kematian berdentang keras di telinga Didi Aswadi. Kepala Dinas Peternakan Tangerang itu pusing. Telepon di kantornya, juga telepon selulernya, terus berdering-dering. Kabar yang ditiupkan dari ujung pesawat telepon itu sama: 1,3 juta ayam mati merana hanya dalam satu bulan, pertengahan September hingga Oktober 2003. Semuanya dilalap virus flu burung (avian influenza) yang saat itu menyapu kawasan Asia, tak terkecuali Indonesia.

"Sedih sekali mendengarnya," kata Didi mengenang. Alumni Institut Pertanian Bogor itu masih terbayang betapa pusingnya dia saat itu. Bingung dan hampir putus asa, ia melontarkan keluhannya ke kawan-kawan lamanya yang jadi peneliti di kampus IPB dan sejumlah lembaga riset. Pertanyaan besar terus mengganggu benaknya: mungkinkah membuat vaksin flu burung?

Ide yang berangkat dari rasa hampir frustrasi itulah yang ternyata menjadi cikal-bakal lahirnya vaksin virus flu burung. Vaksin flu burung tipe H5N1 itu konon lebih ampuh dibandingkan dengan vaksin impor yang datang dari Cina.

Adu cepat dengan meluasnya gelombang serangan flu burung memaksa Didi dan kawan-kawannya melakukan "serangan" cepat. Mereka segera mengumpulkan ayam-ayam sakit, lalu mengisolasi virus. Dengan bantuan tim Balai Penelitian Mutu dan Sertifikasi Obat (BPMSO) dan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta Dinas Peternakan Tangerang, mereka membuat vaksin penyakit yang waktu itu belum diketahui sebabnya. "Kami orang lapangan. Tak perlu tahu ini penyakit apa. Yang penting, kami bisa membuat vaksin sementara dengan cepat," ujar lelaki yang selalu bersemangat membicarakan soal ayam ini.

Dengan semangat blitzkrieg (serangan kilat), ditambah saweran dari para peternak ayam untuk membiayai penelitian, Didi dan kawan-kawan berhasil menemukan vaksin baru bernama "strain Legok". Nama itu diambil dari Kecamatan Legok, tempat ayam yang diteliti berasal. Si Legok ini lulus ujian ketika dalam uji coba bisa melindungi 200 ribu ayam di Tangerang. "Vaksin ini ternyata oke hasilnya," ujar Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Heru Setijanto.

Kelelahan akibat lembur siang-malam di laboratorium yang sepi dan menakutkan seperti rumah sakit itu terbayar. Tak sia-sia mereka memelototi ayam, menelisik satu per satu ayam yang memiliki gejala sakit aneh yang paling khas—yang tak pernah dikenal dalam kamus penyakit ayam di Indonesia. Setelah memeriksa ribuan ayam, mereka tahu ada penyakit aneh yang bukan tetelo ataupun penyakit yang biasa menyerang ayam. Cirinya, jengger, dada, hingga kaki ayam tampak kemerahan.

Ayam sakit itu kemudian diambil organnya, digerus, dan ekstraknya disuntikkan pada telur ayam yang sudah ada embrionya. Biasanya janin ayam yang dipakai untuk menumbuhkan virus itu adalah yang berumur 6-9 hari. Setelah virus tumbuh, kemudian dicarikan antigen (zat yang bisa menimbulkan kekebalan pada tubuh) yang cocok dengan virus.

Pembuatan vaksin itu mereka lakukan hanya saat darurat, ketika flu burung makin mengganas. "Kami sadar, membuat vaksin tanpa izin itu ilegal, sehingga kita coba pendekatan dengan pemerintah. Pada Januari 2004 lalu, kami mendapat izin khusus memproduksi vaksin sendiri," kata Heru.

Kegembiraan setelah sukses membuat vaksin ternyata bersambung dengan kegembiraan lain. Tak diduga, para peneliti yang telah siang-malam lembur di laboratorium mendapat tawaran kerja sama dari Shigeta Animal Pharmaceutical. Perusahaan pembuat vaksin asal Jepang itu mengajak peneliti dari Fakultas Kedokteran Hewan IPB bekerja sama membuat vaksin virus flu burung yang legal serta ampuh. Teknologi yang akan digarap bareng oleh peneliti IPB dan Shigeta adalah mengutak-atik materi genetik (reverse genetics). Inilah teknologi tercanggih dalam pembuatan vaksin.

Dalam metode konvensional, yakni metode telur, kata Kamaluddin Zarkasie, vaksin dibuat dengan menyuntikkan dua vaksin virus ke dalam satu telur. Tentu saja virus yang disuntikkan adalah virus yang sifat-sifatnya mirip virus yang hendak menjadi target vaksin. Setelah disuntikkan, alamlah yang mengatur kombinasi dua virus itu. Para peneliti lalu menyeleksi 250 kombinasi yang muncul. Mereka memilih virus dengan kandungan hemagglutinin (HA) dan neuraminidae (NA) yang diinginkan. Bisa H5N1, seperti virus flu burung yang banyak menyerang Asia, termasuk Indonesia, atau H5N2, yang hanya menyerang Taiwan. Tapi cara ini memakan waktu. "Paling cepat enam bulan. Padahal, saat gelombang serangan tiba, jam terus berdetak, korban terus berjatuhan," kata Robert Webster, pakar virus dari Rumah Sakit Penelitian St. Jude Children, Amerika Serikat, seperti dikutip Scien CentralNews.

Karena itulah para peneliti mencari jalan pintas. Di sinilah Webster dan temannya, Richard Webby, berhasil menemukan teknik utak-atik gen untuk membikin virus. Sebenarnya teknik ini ditemukan pertama kali oleh Yoshihiro Kawaoka, doktor dari University of Wisconsin, Amerika. Lalu, teknik ini disempurnakan oleh Webster dan Webby.

Dengan teknik ini, membuat vaksin jadi semudah membongkar-pasang mainan Lego. Virus yang ingin kita bentuk vaksinnya, kata Kamaluddin, dimatikan dulu, lalu diambil motif kode genetiknya (RNA, ribonucleic acid). Dengan teknologi molekuler, para peneliti bisa menyusun kode genetik model apa yang mereka inginkan. Bila sudah terbentuk, terciptalah masterpiece vaksin. Ibarat membatik, bila motifnya sudah dibuat cetakannya, vaksin virus pun bisa dicetak banyak dalam waktu singkat.

Teknologi reverse genetics inilah yang bisa memperpendek waktu pembuatan vaksin. Hanya butuh empat pekan untuk menciptakan vaksin yang bisa melawan virus flu mematikan.

Pembuatan vaksin dalam skala besar tetaplah membutuhkan telur berembrio. Namun, vaksin yang dikembangbiakkan ini tidak berbahaya karena daya bunuhnya sudah dihilangkan. Meski begitu, ia tetap bisa memancing kekebalan tubuh bila disuntikkan ke target.

Keunggulan inilah yang tak dimiliki metode konvensional. Pada vaksin konvensional, virus cuma dilemahkan, tidak dimatikan, sehingga amat membahayakan bila diproduksi di pabrik dengan keamanan pas-pasan. "Virus flu burung ini kan amat mudah bermutasi genetik bila menyerang manusia. Jadi, perlu hati-hati," kata Kamaluddin, yang telah berpengalaman bekerja membuat vaksin untuk manusia itu.

Untuk membikin vaksin flu burung, peneliti IPB bertugas menyiapkan bahan dasar virus. Virus itu lalu dimatikan—agar tak menyalahi protokol keanekaragaman hayati, Protokol Cartagena. Virus inilah yang kemudian diutak-atik kode genetiknya di laboratorium Shigeta, Jepang.

Saat ini, hasil karya IPB dan Shigeta itu masih diproduksi di Jepang. Kelak, kata Widiyanto Dwi Surya, Manajer Kerja Sama Pengembangan Usaha Fakultas Kedokteran Hewan IPB, produksi vaksin ini akan dilakukan di Indonesia. "Beberapa waktu lalu kita sudah mengirimkan tenaga ahli ke Jepang," ujar Widiyanto, "Kami punya jatah tiap tahun mengirimkan tiga peneliti ke sana."

Dari hasil uji sementara, vaksin bikinan Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Shigeta ini sangat ampuh melindungi ayam dari badai flu burung. Tingkat proteksinya mencapai 99 persen, lebih baik ketimbang vaksin flu burung impor yang pernah masuk Indonesia beberapa waktu lalu. "Vaksin ini sangat cocok untuk Asia Tenggara," ujar Kamaluddin bangga.

Hasil rekayasa genetik ini akan memperkaya produksi vaksin lokal Indonesia. Saat ini, vaksin flu burung juga sudah diproduksi oleh Balai Penelitian Veteriner dan Pusat Veterinaria Farma serta dua perusahaan swasta, PT Vaksindo Satwa Nusantara dan PT Medion Farma Jaya. Hanya, vaksin-vaksin yang dibikin itu adalah vaksin dengan cara konvensional.

Untuk tahap awal, IPB, yang telah menunjuk PT Bogor Life Sciences and Technology (BLSC) sebagai pelaksana, akan memproduksi 300 juta vaksin. September ini, vaksin rekombinan alias hasil modifikasi kode genetik ini akan mulai dipasarkan. Sungguh sebuah utak-atik yang tak sia-sia.

Burhan Sholihin, Deffan Purnama (Bogor), Johniansyah (Tangerang), Abdi Purnomo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus