Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Hukum

Menanti Putusan Praperadilan Setya Novanto di PN Jakarta Selatan

Setya Novanto disangka terlibat kasus korupsi e-KTP yang mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun.

29 September 2017 | 17.12 WIB

Petugas memeriksa barang bukti dalam sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, 25 September 2017. ANTARA FOTO
Perbesar
Petugas memeriksa barang bukti dalam sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, 25 September 2017. ANTARA FOTO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali menjadi lokasi penentuan gugatan praperadilan bagi tersangka korupsi. Hari ini, pengadilan yang terletak di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan ini akan menggelar sidang putusan praperadilan terakhir bagi tersangka kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP, Setya Novanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Sore ini sekitar pukul 16.00 WIB, Jumat, 29 September 2017, Hakim Cepi akan membacakan putusan terakhir atas praperadilan yang diajukan Setya Novanto. KPK telah menyatakan optimistis bisa memenangi gugatan praperadilan yang diajukan Ketua DPR RI tersebut. "Kami berharap yang terbaik untuk negeri ini," ujar Kepala Biro Hukum KPK Setiadi usai menjalani sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa malam, 26 September 2017 lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi e-KTP oleh pada 17 Juli 2017. KPK hingga hari ini telah menetapkan lima tersangka lainnya yaitu Irman, Sugiharto, Andi Agustinus Narogog, Markus Nari, dan terakhir Anang Sugiana Sudihardjo. Dari seluruh tersangka, baru Irman dan Sugiharto yang sudah berstatus terpidana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Selatan.

Setya Novanto dan kelima tersangka lainnya disebut terlibat kasus korupsi e-KTP yang mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun. Nilai kerugian tersebut hampir mencapai separuh dari nilai paket pengadaan e-KTP sekitar Rp5,9 triliun di Kementerian Dalam Negeri.

Atas penetapan tersangka tersebut, Setya kemudian mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang praperadilan perdana sudah digelar sejak Selasa, 12 September 2017. Kedua belah pihak, KPK dan Tim kuasa hukum Setya Novanto sudah menghadirkan sejumlah barang bukti dan saksi sepanjang proses praperadilan.

Persidangan sore ini menarik perhatian banyak kalangan. Sebab, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebelumnya pernah menjadi tempat dimana dua tersangka korupsi pernah divonis bebas oleh hakim. Keduanya yaitu Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan Hadi Poernomo.

Pada 16 Februari 2015, Hakim Sarpin Rizaldi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan bahwa penetapan tersangka Komisaris Jenderal Budi Gunawan oleh KPK tidak sah secara hukum. Hakim Sarpin menilai KPK tidak punya kewenangan untuk mengusut kasus yang menjerat Budi karena calon kapolri tersebut tidak termasuk penegak hukum dan penyelenggara negara.

KPK sendiri menetapkan Budi sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi ketika ia menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir (Karobinkar) dan Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006. Atas penetapan tersangka ini, Budi gagal melaju menjadi kapolri saat itu.

Kemudian pada Selasa, 26 Mei 2015, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Haswandi memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Bekas Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo. Hadi menang praperadilan yang menggugat penetapannya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Sebelumnya, Hadi Poernomo ditetapkan sebagai karena diduga menyalahgunakan wewenang dalam rekomendasi permohonan keberatan pajak PT Bank Central Asia (BCA) Tbk pada 1999. Tindakan Hadi saat itu diduga telah menyebabkan kerugian negara mencapai Rp 375 miliar dan menguntungkan sejumlah pihak lain.

Kasus ini berawal ketika BCA mengajukan permohonan keberatan pajak sekitar 2003. Atas keberatan pajak ini, Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) melakukan telaah yang hasilnya mengusulkan Direktur Jenderal Pajak untuk menolak permohonan keberatan pajak BCA tersebut. Namun, Hadi Poernomo sebagai Direktur Jenderal Pajak saat itu justru menerima permohonan tersebut.

FAJAR PEBRIANTO

Fajar Pebrianto

Meliput isu-isu hukum, korupsi, dan kriminal. Lulus dari Universitas Bakrie pada 2017. Sambil memimpin majalah kampus "Basmala", bergabung dengan Tempo sebagai wartawan magang pada 2015. Mengikuti Indo-Pacific Business Journalism and Training Forum 2019 di Thailand.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus