PAKU Buwono X, yang bertahta di Surakarta dari 1893 sampai 1939, ternyata meninggalkan warisan milyaran rupiah dalam bentuk saham-saham di berbagai perusahaan. Hingga kini saham-saham itu dikuasai negara. Baru sekarang akan diserahkan kepada ahli waris, setelah pengadilan menetapkan siapa yang berhak. "Dalam waktu dekat kami akan memeriksa siapa-siapa ahli waris Almarhum. Permohonan untuk itu sudah diajukan oleh para ahli waris," ujar Ketua Pengadilan Negeri Solo, Setyo Harsoyo. Sebenarnya "harta karun" Paku Buwono itu sudah lama diketahui ahli warisnya. Menurut salah seorang cucu Almarhum, yang juga kuasa ahli waris, K.B.H.M.H. Djombo Djajaningrat, semasa hidupnya Paku Buwono secara diam-diam membeli saham dari 12 perusahaan besar di masa itu, di antaranya perusahaan minyak Batavia, pabrik kina di Bandung, dan perusahaan pelayaran di Semarang. Ketika Perang Dunia terjadi, semua perusahaan itu tutup. Sebab itu, bertahun-tahun ahli waris Paku Buwono X tidak mengetahui alamat untuk mengurus harta itu. Barulah, pada 1973, tampak titik cerah yaitu setelah Bank Indonesia mengeluarkan pengumuman: Siapa saja yang mempunyai saham di perusahaan-perusahaan di masa lalu agar mengurusnya ke Menteri Keuangan melalui Bank Indonesia. Ahli waris Paku Buwono X pun berembuk dan Djombo ditunjuk menjadi kuasa. Djombo, yang mengaku dekat dengan Almarhum, segera mengirimkan surat ke Menteri Kehakiman Belanda, menanyakan status saham-saham kakeknya. Pemerintah Belanda menyarankan agar Djombo menanyakan hal itu ke pemerintah Indonesia, khususnya Bank Indonesia. Di Bank Indonesia diketahui bahwa saham-saham Paku Buwono itu masih ada dalam keadaan utuh. Menurut sebuah sumber, nilai nominal semua saham itu pada 1937 395.000 gulden. Diperkirakan nilai itu sekarang sudah milyaran rupiah, setelah ditambah bunga bank. Menurut Djombo, saham-saham itu semula dikelola oleh Spaarfonds Bank, yang waktu itu mempunyai cabang di Surabaya dan Batavia. Lembaga itu dikenal sebagai bank yang menjamin semua saham di perusahaan Belanda. Ketika Indonesia merdeka, bank itu dilikuidasi oleh Bank Indonesia. Maka warisan itu sekarang berada di Bank Indonesa. Pihak Bank Indonesia, kata Djombo, bersedia mencairkan warisan itu asal saja para ahli waris telah ditetapkan pengadilan. Sebab itu, ia buru-buru meminta pengesahan pengadilan. "Berdasarkan pengumuman Bank Indonesia, semua saham yang tidak diambil sampai 1987 akan menjadi milik negara," ujar DJombo. Ternyata, tidak semua ahli waris, yang jumlahnya 42 - termasuk Paku Buwono XII - setuju dengan cara-cara yang ditempuh Djombo. Sebab itu, sejak 1983, berdiri sebuah badan bernama Yayasan Makuto Nugroho, yang bertugas mengurus warisan Paku Buwono X, yang diketuai G.R.A.Y. Brotodiningrat. Salah seorang penasihatnya putra Paku Buwono X sendiri G.P.H. Djatikusumo. "Yayasan itu dibentuk agar pemerintah yakin bahwa kami adalah anak sah Almarhum," ujar bendahara yayasan itu, G.R.A.Y. Kusumojati. Tindakan yayasan yang sangat mengagetkan adalah pencabutan surat kuasa ahli waris yang sebelumnya dipegang Djombo. Bahkan pengadilan pun, kata Kusumojati, sudah diberi tahu tentang pencabutan surat kuasa itu. "Segala langkah yang diambil Djombo selama ini sangat mengecewakan," begitu alasan Kusumojati. Djombo, 58, tentu saja penasaran atas tindakan yayasan itu. "Saya sudah merintis usaha itu selama 10 tahun, sekarang secara sepihak usaha itu mereka potong. Padahal, seandainya uang itu cair, toh tidak akan saya makan sendiri," ujar Djombo. Ia menilai tindakan yayasan itu langkah mundur dalam upaya mencairkan warisan tadi. Hakim Sucipto, yang akan menangani persoalan ahli waris itu, membenarkan telah menerima surat pencabutan kuasa tersebut. "Kami akan memanggil kedua pihak untuk menjernihkan soal itu. Setelah itu barulah kami menetapkan siapa-siapa ahli waris Almarhum," ujar Sucipto. Persoalannya memang tinggal selangkah lagi. Tapi, jika sengketa antara yayasan dan Djombo tidak selesai, bisa-bisa semua pihak tidak akan menerima warisan itu. Sebab pada 1987, jika saham-saham bekas perusahaan Belanda tidak juga dicairkan, akan menjadi milik negara. KI Laporan Kastoyo Ramelan (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini