LAGI-lagi proses persidangan menjadi tanda tanya. Hakim tunggal Saroso Bagyo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sabtu dua pekan lalu, menyidangkan perkara penganiayaan dan senjata api gelap secara sumir -acara pemeriksaan cepat untuk perkara-perkara ringan. Saroso, yang memulai persidangan pukul 8 pagi, hari itu juga memvonis Totok Setiadi, Tommy Fredrick Runtu Thomas, dan Bambang Danuningrat dengan hukuman 6 bulan, 4 bulan, dan 3 bulan penjara. Padahal, ketiga pemuda berusia 25 sampai 30 tahun itu dibawa Jaksa Hartoyo ke sidang dengan tuduhan berat: menguasai senjata api secara gelap dan melakukan penganiayaan. Pelaku kedua kejahatan itu diancam dengan hukuman mati dan 12 tahun penjara. Tapi Hartoyo memang tidak menuntut hukuman seberat itu: antara 4 dan 6 bulan penjara untuk ketiga terdakwa. Cerita penganiayaan dan senjata api gelap itu bermula hanya dari saling pandang Totok dan Tommy dengan Ahmad Baihaki dan kawan-kawannya, 30 Juni lalu. Hari itu Ahmad bersama Razali dan Jajang, sesama buruh bangunan, kembali dari pekerjaannya di kompleks Gudang Peluru Jakarta. Di salah satu blok dalam kompleks rumah mewah itu, ketiga buruh tadi melewati serombongan pemuda yang lagi duduk-duduk di pinggir jalan. Ahmad, secara tidak sengaja, melihat ke salah seorang pemuda itu, yang kemudian diketahui bernama Totok. "Ngapain lu mlototin gue," hardik Totok. Ahmad, yang kebetulan pincang, mengaku meminta maaf, tapi Totok tambah marah. Sebab itu, Ahmad dan kawan-kawannya mencoba menghindar. Ketika itulah ia mendengar tembakan. Ketiga buruh bangunan itu semakin menjauh. Tapi rupanya, seorang di antara rombongan pemuda itu, Tommy, mengejar dan memukul Ahmad. Belum puas, Tommy mencabut pisau, dan menusuk Ahmad sehingga luka di dada dan ketiaknya. Ahmad menjerit. Ketika itu Totok muncul, dan kembali mencabut pistolnya, lalu mengetok kepala Ahmad dengan gagang pistol itu. Pistol itu menyalak lagi. Dengan darah bertetesan, Ahmad, ayah dua orang anak itu, sampai ke rumahnya dengan terhuyung-huyung. Totok, 25, yang ditemui TEMPO di tempat tahanan mengaku memukul Ahmad dengan pistol FN kaliber 32. Tapi ia membantah telah mengeroyok Ahmad "Bagaimana bisa dibilang mengeroyok, kami hanya berdua, sementara Ahmad berempat," kata Totok, yang mengaku pernah menjadi taruna Akabri. Ia malah mengaku dibentak Ahmad, ketika matanya bertemu pandang dengan buruh bangunan itu pada hari kejadian. Totok mengaku terpaksa menggunakan pistol, milik Bambang, karena ia diancam oleh salah seorang teman Ahmad dengan sebilah pisau. Selain pistol FN kaliber 32, Totok juga mengaku memiliki sepucuk pistol FN kaliber 45, yang dibelinya ketika belajar menjadi penerbang di Amerika. Dengan pistol itu ia, Maret lalu, melukai korban lain, Andrew. "Tapi kini saya tidak akan mengulangi perbuatan itu," sesal putra seorang purnawirawan perwira menengah itu. Terlepas siapa yang benar dari dua keterangan itu, soalnya kini, mengapa pengadilan menyidangkan perkara itu dengan hakim tunggal dan sebagai perkara sumir. Hakim Saroso mengaku memimpin sidang itu karena diminta oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Imam Soetopo. Sementara itu, kata Saroso, pihak kejaksaan hanya menuntut perkara itu secara sumir. Saroso juga menganggap wajar vonisnya yang hanya sekitar 6 bulan penjara karena jaksa juga menuntut demikian. "Saya menyetujui tuntutan jaksa itu," kata Saroso. Selain itu, katanya, ia mempertimbangkan permintaan keluarga korban agar berdamai. "Tidak ada maksud apa-apa dari putusan itu," tambahnya. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Imam Soetopo, juga menganggap vonis itu wajar saja - juga mengenai waktu sidang yang ditentukan pukul 8 pagi. "Itu 'kan sudah termasuk jam kerja," katanya. Ia juga tidak keberatan Saroso menyidangkan perkara itu secara sumir dan hakim tunggal. "Kejaksaan yang meminta perkara itu secara sumir, dan kami terpaksa menggunakan hakim tunggal karena tenaga hakim masih kurang," katanya. Jaksa Hartoyo ternyata tidak bersedia bicara banyak untuk kasus itu. "Perkara itu mudah pembuktiannya, karena itu diajukan secara sumir, dan hakim lagi pula menyetujuinya," kata Hartoyo. Pengacara ketiga terhukum, Henry Yosodiningrat, tentu saja menyetujui proses persidangan itu. " 'Kan motto persidangan adalah cepat, murah, dan sederhana," tambah Henry, yang dalam sidang itu langsung membacakan pembelaannya secara lisan. Ya, kalau semuanya sudah sepakat begitu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini