Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mewasiti Pupuk Yang 'Nyasar

Melalui pengadilan wasit internasional, sengketa jual beli pupuk berakhir. PT Dharma iaga dikalahkan lawannya Icec & harus menanggung ongkos tambahan pengangkutan pupuk yang terlantar di Yunani.(hk)

2 November 1985 | 00.00 WIB

Mewasiti Pupuk Yang 'Nyasar
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
PERUSAHAAN milik negara PT Dharma Niaga, akhirnya, dikalahkan dan di haruskan menanggung sendiri ongkos tambahan senilai US$ 1,2 juta untuk mengangkut pupuk yang telantar di Yunani. Keputusan itu diambil oleh majelis wasit internasional, yang diketuai Tun Muhamed Suffian (dari Malaysia), dalam sebuah sidang arbitrase (peradilan wasit) internasional di Bali, dua pekan lalu. Keputusan peradilan wasit internasional itu menandai pula berakhirnya sengketa panjang antara pihak Indonesia, Dharma Niaga, dan pihak penjual pupuk International Commodities Export Company (ICEC). Sengketa yang sudah berumur tiga tahun itu sempat pula menjadi urusan peradilan tiga negara, yaitu Yunani, Indonesia, dan Amerika Serikat. "Keputusan arbitrase itu merupakan keputusan akhir. Dengan begitu, baik pihak Indonesia maupun ICEC harus mencabut semua perkara mereka di peradilan tinggi negara itu," ujar Adnan Buyung Nasution, pengacara ICEC, yang memenangkan peradilan wasit internasional pertama di Indonesia itu. Sengketa melelahkan yang memakan biaya besar dan melibatkan ahli-ahli hukum berbagai negara itu bermula pada 1982. Pemerintah Indonesia, ketika itu, menunjuk Dharma Niaga sebagai pelaksana impor pupuk sebanyak 173 ribu ton dengan nilai US$ 24,5 juta, dalam rangka subsidi pupuk untuk musim tanam 1982/1983. Sekaligus pula pemerintah menetapkan ICEC, sebuah perusahaan komoditi ekspor terbesar di Amerika Serikat, sebagai rekanan. Di Indonesia kepentingan ICEC diurus oleh PT Curah Niaga Internasional. Tiga buah kontrak antara ICEC dan Dharma Niaga ditandatangani untuk jual beli itu. Sesuai dengan kontrak, pupuk ratusan ribu ton itu diangkut 16 kali dengan kapal ke Indonesia. Sebagian besar pengangkutan dari negara-negara produsen pupuk itu, di antaranya Tunisia, Turki, dan Libanon, sampai ke pelabuhan-pelabuhan Indonesia dengan selamat. Hanya dua buah kapal yang tersangkut, yaitu MV Dumbaia dan MV Koukounaries, yang masing-masing membawa 10 ribu ton pupuk senilai Rp 4 milyar. Dumbaia meninggalkan pelabuhan Tunisia, 9 Agustus 1982, dengan perkiraan akan sampai ke Indonesia sekitar November. Ternyata, hanya sehari setelah berangkat, kapal carteran perusahaan pupuk Tunisia itu mengalami kerusakan mesin. Kapal bermuatan pupuk itu akhirnya terdampar di pelabuhan Pirearus, Yunani. Entah kebetulan atau tidak, Koukounaries yang berangkat dari Turki, 10 Desember, dengan tujuan Palembang - akhirnya terdampar pula di Pirearus. Koukounaries membuang jangkar di Yunani dengan alasan pihak ICEC belum melunasi ongkos angkut yang menjadi kewajibannya. Lebih celaka lagi, belakangan pihak Koukounaries mengklaim bahwa pupuk yang ada di kapal itu merupakan miliknya. Pertengkaran pun muncul antara Dharma Niaga dan ICEC. Dalam kontrak disebutkan, jual beli pupuk itu dilakukan dengan cara C & F (cost and freight) yang ditafsirkan Dharma Niaga bahwa semua risiko ditanggung penjual sampai ke pelabuhan tujuan. Sementara itu, pihak ICEC berpegang kepada kebiasaan perdagangan internasional bahwa dengan cara itu pihak penjual sudah tidak bertanggung jawab setelah barang dikapalkan dan pembeli menerima Bill of Lading. Sengketa menjadi urusan peradilan Yunani. Pemilik kapal mencoba menuntut ICEC, sementara Dharma Niaga menuntut pemilik kapal dan juga ICEC. Pada Juni 1983, peradilan Yunani memutuskan pupuk di kapal itu adalah milik Dharma Niaga. Soalnya kemudian, siapa yang bertanggung jawab membawa pupuk itu ke Indonesia. ICEC menunjuk Dharma Niaga sebagai pemilik barang, sebaliknya Dharma Niaga menunjuk ICEC sebagai penjual. Hanya saja, agar barang tidak rusak, Dharma Niaga, awal 1984, terpaksa membawa pulang pupuk itu dengan biaya tambahan. Menurut Direktur Keuangan Dharma Niaga, Benarto, pihaknya terpaksa mengeluarkan ongkos angkut tambahan sebesar US$ 1,2 juta. Kerugian Dharma Niaga seluruhnya, termasuk bunga, US$ 4,3 juta. Belum lagi kerugian yang diderita petani akibat terlambatnya penyediaan pupuk pada musim tanam 1982/1983 itu. Kerugian itulah yang dituntut Dharma Niaga melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara ICEC menuntut pula melalui peradilan distrik New York, Amerika, agar dinyatakan tidak bertanggung jawab atas risiko pengangkutan pupuk itu ke Indonesia. Persoalan semakin berbelit-belit. Apalagi Kejaksaan Tinggi Jakarta mengusut kasus kerugian negara itu dan menduga ada tindak pidana korupsi di balik insiden itu. Semua proses hukum itu belum menghasilkan keputusan apa-apa. Kedua pihak yang bersengketa, Dharma Niaga dan ICEC, akhirnya sepakat membawa persoalan ke lembaga arbitrase internasional. Dharma Niaga menunjuk Kartadjumena sebagai anggota majelis, sementara ICEC menunjuk Robin dari Hong Kong. Kedul pihak sepakat menunjuk bekas Ketua Mahkamah Agung Malaysia, Tun Mohamed Suffian, sebagai ketua majelis wasit. Setelah mengadakan sidang permulaan di Hong Kong, majelis wasit internasional itu memasuki tahap penentuan di Bali, dari 7 sampai 16 Oktober lalu. Pihak Dharma Niaga, yang dalam sidang itu diwakili Pengacara Sudargo Gautama (Indonesia) dan White Case (AS), tetap berpendirian bahwa dalam sengketa itu harus dipakai hukum yang berlaku di Indonesia. Sesuai dengan hukum Indonesia, tanggung jawab penjual atas barang baru selesai bila secara fisik barang sudah sampai ke pembeli. Pihak Indonesia beranggapan, dengan syarat kontrak C & F berarti bahwa pihak ICEC bertanggung jawab atas semua risiko, sampai barang tiba di pelabuhan Indonesia. Untuk itu Dharma Niaga mengajukan saksi-saksi ahli, antara lain Prof. Oemar Senoadji, Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Nyonya Santoso, dan P.K. Pukundan (Biro Maritim Internasional). Sementara itu, pihak ICEC, yang diwakili Buyung Nasution dan Davis Polk & Wardwell (AS), tetap berpendapat bahwa hukum yang harus dipakai adalah hukum dagang internasional. Menurut aturan-aturan internasional itu, sesuai dengan kontrak C & F, pihak penjual hanya bertanggung jawab sampai barang dikapalkan dan penjual menerima uang dari bank, sementara pembeli menerima Bill of Lading. "Dengan Bill of Lading itu, pembeli sudah bisa menjual lagi barang itu bahkan, kasarnya, pembeli bisa menyuruh barang itu ditenggelamkan," ujar Buyung. Karena itu, ICEC bertahan bahwa semua risiko sudah di tangan pembeli sebagai pemilik penuh atas barang itu. Untuk itu ICEC mengajukan saksi ahli, A.G.S. Pollock (Inggris), Soerjadi (bekas Ketua Mahkamah Agung Indonesia), Jack Berg (AS), dan H.C. George Tsounas (Yunani). Majelis wasit internasional ternyata sependirian dengan ICEC. Dalam sebuah keputusan lisan di Bali itu, majelis memutuskan Dharma Niaga bertanggung jawab penuh atas kerugian itu. Diputuskan pula bahwa kedua pihak sebenarnya beritikad baik dan karena itu tidak lagi akan melanjutkan semua perkara mereka di pengadilan mana pun. Keputusan tertulis akan dikeluarkan dalam sidang penutupan yang direncanakan dua bulan mendatang di Manila. "Mereka secara sukarela memilih peradilan wasit internasional, karena itu harus konsekuen menerima putusan lembaga itu," ujar Buyung. Prof. Sudargo Gautama dari Dharma Niaga menganggap bahwa keputusan di Bali itu belum putusan akhir. "Itu baru infortnal guidance," kata Gautama, yang membantah bahwa wasit-wasit internasional itu orang-orang hebat. "Mereka orang yang ditunjuk kedua pihak dan dibayar," tambah Gautama. Pengacara kawakan itu juga tidak bisa menerima tindakan Buyung dan ICEC yang menyebarluaskan peristiwa kemenangan itu kepada pers. "Seharusnya, secara ketimuran, jika ada kerugian, kedua pihak menanggung bersama. Itu kalau mereka masih mau berdagang dengan Indonesia," ujar Gautama. Ketua wasit internasional, Tun Mohamed Suffian, membenarkan bahwa keputusan di Bali itu sudah terakhir. Tapi ia tidak bersedia mengungkapkan isi keputusan itu. "Sidang arbitrase itu tertutup untuk umum. Keputusannya pun rahasia, termasuk kepada pers," kata Tun Mohamed Suffian kepada TEMPO di Malaysia. Ia sendiri merasa heran dengan bocornya hasil sidang itu di Indonesia. Satu-satunya upaya yang bisa dilakukan Dharma Niaga sekarang adalah mengklaim pihak asuransi atau menuntut pemilik kapal. Tapi celakanya, menurut Direktur Dharma Niaga Benarto, pihaknya hanya mengasuransikan barang itu untuk sebagian risiko, seperti kapal tenggelam. Menuntut pemilik kapal? "Asal masih bisa ditemukan pemilik kapal itu. Sebab, mereka sudah bangkrut Koukounaries sudah dilelang, sementara Dumbaia rusak sama sekali," tambah Guatama. Karni Ilyas Laporan Happy S. (Jakarta) & Ekram Atamimi (Malaysia)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus