PEMANDANGAN bukit dan lembah, yang tak menentu bentuknya, kini tak tampak lagi. Sejak April lalu, hamparan tanah seluas 20,1 ha di Jalan Karangsari, Kelurahan Sukadamai, Medan itu sudah diratakan buldozer. Di lokasi itu, yang kini dikelilingi pagar seng, sebentar lagi akan dipasang pipa-pipa riol. Di situ kelak akan berdiri berbagai bangunan mewah, termasuk sekitar 450 rumah real estate, milik developer PT Taman Malibu Indah (TMI). Bagi PT TMI, proyek megah bernilai Rp 45 milyar itu tentu saja amat bergengsi, sekaligus bakal "subur". Tidak demikian halnya dengan Sultan Deli, Azmy Perkasa Alam Alhaj, yang menganggap penguasaan PT TMI atas tanah milik adat (hak ulayat) masyarakat Deli itu adalah tidak sah. "Itu tanah kami," ujar Tuanku Azmy, Pemangku Adat Masyarakat Melayu, yang juga anggota MPR utusan Sumatera Utara. Berdasarkan itu, pekan-pekan ini Sultan Deli menggugat PT TMI, Yayasan Adi Upaya (Yasau) -- milik TNI-AU -- dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Medan ke Pengadilan Negeri Medan. Selain menuntut ganti rugi Rp 1 milyar, Sultan juga menuntut agar PT TMI segera menyerahkan tanah tersebut kepadanya. Hanya saja, sebelum "perang" dimulai, pada Sabtu pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Soeharto memberikan kesempatan bagi para pihak supaya berdamai. Menurut sejarahnya, begitu kemerdekaan RI diproklamasikan, Tuanku Azmy menyerahkan seluruh tanah kesultanan itu kepada Pemerintah RI. Namun, bukan berarti hak adat Sultan hilang begitu saja. Hal serupa juga terjadi di beberapa wilayah adat, yang diakui dan melebur menjadi bagian republik ini. Misalnya, tanah swapraja di Kasunanan Surakarta (Jawa Tengah) dan di Kesultanan Yogyakarta. Pengakuan berlakunya hak adat ini pun tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960. Alkisah, untuk kepentingan militer (tanah Sultan kebetulan dekat dengan lapangan terbang Polonia), KSAP Jenderal T.B. Simatupang memberikan hak kepada TNIAU untuk menguasai tanah seluas 1.379 ha di sekitar Polonia -- termasuk tanah Sultan tadi. "Kalau untuk kepentingan negara, Sultan tak keberatan," ujar kuasa hukum Tuanku Azmy, Amin Arjoso. Pada 1970, Meteri Dalam Negeri memperkuat keputusan KSAP itu. Sebagai pengelola tanah itu, ditunjuklah PT Surya Digantara, yang kemudian berubah nama menjadi Yasau. Dalam keputusan tadi, Yasau diharuskan membebaskan dulu tanah tersebut dan membayar ganti rugi kepada para penduduk yang tinggal di situ. Belakangan, Yasau dikabarkan tak membayar sepenuhnya ganti rugi tersebut. Pada 1987, tanpa diketahui Sultan Deli, Yasau mengajukan permohonan sertifikat hak pakai atas tanah itu ke Mendagri. Alasan Yasau, tanah itu akan digunakan untuk kepentingan perumahan para anggotanya. Pada 25 Agustus 1987, Dirjen Agraria dengan gampang mengeluarkan sertifikat hak pakai untuk Yasau. Hanya saja, di sertifikat, yang anehnya tak disebutkan batas akhirnya itu, Yasau tak boleh mengalihkan tanah tersebut. Ternyata, pada 1988 Yasau menjual tanah itu dengan harga Rp 28 ribu per m2 kepada PT TMI. Selanjutnya, PT TMI, selain akan membangun perumahan mewah, juga mengkapling tanah tersebut dan menjualnya seharga Rp 225 ribu/m2. Tentu saja Sultan Deli berang. "Kalau ternyata untuk kepentingan komersil, kenapa tidak saya sendiri yang melakukan? Saya mampu, kok," kata Tuanku Azmy, sebagaimana dituturkan Amin Arjoso. Akhirnya, Sultan Deli terpaksa membawa perkara itu ke meja hijau. "Tergugat jelas tidak beritikad baik. Mereka melakukan penyelundupan hukum," tutur Amin Arjoso. Pihak Yasau dan PT TMI menampik tudingan itu. "Kami berhak atas tanah itu. Kami punya sertifikatnya," kata Perwira Hukum TNI-AU Medan, Kapten B. Tambunan. Kepala Bagian Hukum PT TMI, Benyamin, malah menganggap Sultan hanya semata-mata menggugat soal sejarah. "Hitam di atas putih, surat-surat tanah itu lengkap pada kami," ujar Benyamin. Menurut Kepala BPN Medan, S.A. Situmorang, tanah itu sebenarnya berasal dan tanah negara. Tapi, "Sampai saat ini, tak benar tanah itu sudah dialihkan TNI-AU ke pihak lain," kata Situmorang. Lain lagi tanggapan Wali Kota Medan Bachtiar Djafar. Menurut Bachtiar, hak pakai Yasau itu sebatas untuk kepentingan angkatan, bukan untuk dialihkan kepada pihak lain." Sebagai pemilik sahnya, ujarnya lagi, ya, tetap Sultan Deli. "Yasau hanya berhak sebatas mengelola atau memakai tanah itu," ujar Bachtiar. Belum lagi jelas bagaimana perdamaian para pihak berperkara itu, muncul nama Datuk Syahbaruddin dan Datuk Muhammad Cheer -- dua dari empat datuk di Kesultanan Deli yang juga mengklaim bahwa tanah tersebut milik mereka. Seluas 12,8 ha tanah itu milik Datuk Syahbaruddin, sedangkan seluas 7,3 ha punya Datuk Muhammad Cheer. Untuk mengurus pembayaran ganti rugi dari Yasau, Datuk Muhammad Cheer menguasakannya kepada Datuk Syahbaruddin. Pada Oktober 1975, Yasau memang memberi panjar berupa 20% nilai ganti rugi sebesar Rp 8,7 juta -- tanah itu dihargai Rp 200 per m . Tapi hingga kini sisa pembayaran itu tak kunjung dilunasi. "Mereka benar-benar menipu kami," ujar Datuk Syahbaruddin. Sebab itu, ia memilih untuk menuntut tanah tersebut. Sementara itu, sekitar delapan orang penggarap tanah itu -- ikut meramaikan sengketa. Pekan-pekan ini, mereka juga menggugat ketiga tergugat tadi. Mereka mendalilkan bahwa tanahnya telah diserobot tanpa diberi ganti rugi. Monaris Simangunsong, Sarluhut Napitupulu (Medan), Hp. S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini