DENGAN timbulnya perusahaan-perusahaan bar dan restoran dewasa
ini, yang mempekerjakan pramuria-pramuria", kata Gubernur Haji
Asnawi Mangku Alam dari Sumatera Selatan "maka timbul
pertanyaan apakah kasus ini sudah ditampung dan diatur oleh
pasal-pasal tersebut". Yakni ketentuan yang melarang
mempekerjakan wanita di malam hari. Gubernur, yang memberi
sambutan pada pembukaan Simposium Hukum Perburuhan, 20-22
Januari lalu di Sungai Gerong Palembang, masih banyak memberikan
contoh lain, yang akhirnya memulangkannya kepada pertemuan
ilmiah itu untuk membicarakannya.
Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja, yang pada gilirannya
memberi pengarahan dan membuka simposium untuk lebih 100 peserta
itu, juga menyinggung soal pekerja wanita ini. Betulkah
pemberian lapangan kerja kepada kaum yang sibuk mau emansipasi
ini akan membawa efek positif bagi penurunan angka kelahiran
Kalau ya, kata Menteri, "maka dalam hukum perburuhan perlu ada
semacam jaminan bahwa bagi kaum wanita terbuka kesempatan kerja
yang sama seperti bagi kaum pria".
Tapi toh, masih ada juga pengusaha yang segan mengambil tenaga
hawa ini. Soalnya kaum wanita, bagaimanapun, tak bisa lari dari
kodratnya untuk hamil dan melahirkan. Artinya mereka harus
mendapat cuti. Bahkan adakalanya perusahaan yang bersangkutan
harus pula memberi tunjangan kelahiran dan lain-lain. Maka
menteri melihat perlunya para hadirin dan hadirat Simposium
berfikir-fikir sedikit: bagaimana membuat keseimbangan: tidak
mengurangi kesempatan kerja bagi perempuan, tapi tidak
menimbulkan risiko bagi si pengusaha.
Kurang 10 Tahun
Juga pasal anak-anak bawah umur yang bekerja. Menteri memandang
ideal ketentuan hukum yang melarang mereka mencari nafkah dalam
konteks hubungan perburuhan. Tapi seperti pada persoalan kaum
perempuan pekerja tadi, harus dikaji pula kebalikannya. Sebab
terutama dalam masyarakat pedesaan, anak-anak masih tetap
merupakan faktor ekonomis dalam kehidupan keluarga. "Sehingga
apabila kita tidak berhati-hati menetapkan batas usia kerja
itu, mungkin akan timbul berbagai permasalahan dalam kehidupan
ekonomis kelurga di daerah-daerah pedesaan, yang justru
mengandalkan tenaga si anak, bahkan sak mereka berusia kurang
dari 10 tahun", katanya.
Simposium karya Badan Pembinaan Hukum hasional itu, bekerjasama
dengan Departemen Nakertranskop dan Universitas Sriwijaya,
memang bukan hanya mengurus soal anak-anak dan wanita pekerja.
Ilustrasi Menteri maupun Gubernur tersebut berkaitan dengan
pengarahan secara keseluruhan bagaimana Simposium dapat membantu
BPHN dan departemen teknis pemerintah menjajagi kemungkinan
pembentukan wajah dan isi dari hukum perburuhan yang tepat.
Harapan petinggi hukum dan petinggi daerah tersebut ternyata tak
sia-sia. Duduk dalam ruangan ber-AC tinggi-maklum di kompleks
Pertamina -- peserta yang kebanyakan dari Jakarta dan dari
berbagai kalangan itu saling berebut bicara. Sedang prasaran
sudah jauh-jauh hari disampaikan, meliputi: keadaan hukum
perburuhan di Indonesia oleh Oetoyo Oesman SH Dirjen Perwatan,
Departernen Nakertranskop dan UI berbagai permasalahan
perburuhan oleh KADIN dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia
serta problim penyelesaian perburuhan oleh P4P dan Universitas
Sriwijaya.
Tatkala seorang pembicara menyinggung soal hubungan perburuhan
Pancasila, misalnya, Prof. Ny. Ani Abbas Manoppo SH dari
Universitas Sumatera Utara mengingatkan bahwa di samping
hukumnya yang belum lengkap, tak kalah penting adalah faktor
pelaksana. Sebab adakalanya mereka menjalankan tugasnya jauh
dari cara-cara yang terpandang, di samping ada pula yang jadi
"alat pengusaha". Padahal dalam semangat hubungan perburuhan
Pancasila, semua tindakan "haruslah dengan Pancasila, jadi
Pancasila jangan hanya di bibir saja".
Tak kurang pula gagasan yang hanya asal ke luar saja, mungkin
pembicaranya ingin asbun, asal bunyi. Dan tugas moderator dan
pelapor menjadi tidak mudah dalam membimbing para pembicara
supaya tetap pada relnya. Tapi untunglah, setelah ke sana ke
mari, Simposium pada akhirnya berhasil menghimpun beberapa pokok
pikiran segar, dalam tiga kelompok. Kelompok I antara lain
mencatat bahwa untuk meningkatkan partisipasi buruh, lembaga
tripartite - buruh, pengusaha dan Pemerintah - memegang peranan
penting perlu penyempurnaan peraturan perundangan tentang
perlindungan sosial untuk semua karyawan pengawasan perburuhan
dirasakan kurang berperan dalam fungsinya meningkatkan kepastian
hukum dan martabat buruh sebagai manusia perlu ketentuan tegas
dalam masalah pengalihan teknologi peninjauan pengaturan uang
jasa bagi buruh yang mengajukan permohonan untuk berhenti
sendiri.
Pemilikan Saham
Pada kelompok II disebutkan perlunya memikirkan masalah asuransi
jaminan sosial secara lebih luas dan menyeluruh kemudian
pembaharuan hukum perburuhan di masa mendatang hendaklah
menitikberatkan pada aspek sosial dan keadilan. Dan kelompok III
tentang masalah perselisihan perburuhan, yang banyak kaitannya
dengan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan,
baik di Pusat (P4P), maupun di Daerah (4D).
Ada tiga pilihan untuk perbaikan pranata ini. Pertama
meningkatkan P4P dan P4D secara tegas sebagai pengadilan
perburuhan yang berdiri sendiri dan di luar organisasi badan
peradilan umum, serta hanya tunduk pada kasasi Mahkamah Agung.
Kedua, idem dengan yang di atas, hanya lebih longgar sedikit:
pengadilan perburuhan itu dimaksudkan dalam lingkup organisasi
peradilan umum. Dan ketiga, P4P dan P4D dengan
penyempurnaan-penyempurnaan dijadikan badan arbitrase atau
perwasitan. Kemudian untuk memperkecil kemungkinan timbulnya
perselisihan perburuhan, dinilai amat baik bila buruh
diikutsertakan dalam pemilikan saham. Ada pula pandangan yang
menginginkan agar fakultas hukum membuka jurusan hukum
perburuhan, supaya bisa lahir kader-kader yang trampil dalam
mengelola masalah perselisihan ini.
Dalam dua hari orang memang tak bisa menuntut hasil yang
mendalam dari suatu pertemuan ilmiah. Tapi namanya juga
simposium: ia sekedar merekam fikiran-fikiran yang membersit
keluar. Tugas berikutnya adalah pada BPHN dan Departemen teknis
sendiri. Dan dengan Simposium Palembang ini BPHN sudah
mengadakan 5 pertemuan ilmiah selama 1976/77. Masih ada dua
program lagi: Lokakarya Penyusunan Program Legislatif, 4-6
Pebruari di Manado, dan Lokakarya Sistim Penemuan Kembali
Peraturan Perundang-Undangan, 7-9 Maret, Malang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini