Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengatur Buruh Dari Palembang

Simposium hukum perburuhan oleh BPHN bekerja sama dengan departemen nakertranskop serta Universitas Sriwijaya, di Palembang. Lokakarya berikutnya akan diadakan di Manado dan Malang.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN timbulnya perusahaan-perusahaan bar dan restoran dewasa ini, yang mempekerjakan pramuria-pramuria", kata Gubernur Haji Asnawi Mangku Alam dari Sumatera Selatan "maka timbul pertanyaan apakah kasus ini sudah ditampung dan diatur oleh pasal-pasal tersebut". Yakni ketentuan yang melarang mempekerjakan wanita di malam hari. Gubernur, yang memberi sambutan pada pembukaan Simposium Hukum Perburuhan, 20-22 Januari lalu di Sungai Gerong Palembang, masih banyak memberikan contoh lain, yang akhirnya memulangkannya kepada pertemuan ilmiah itu untuk membicarakannya. Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja, yang pada gilirannya memberi pengarahan dan membuka simposium untuk lebih 100 peserta itu, juga menyinggung soal pekerja wanita ini. Betulkah pemberian lapangan kerja kepada kaum yang sibuk mau emansipasi ini akan membawa efek positif bagi penurunan angka kelahiran Kalau ya, kata Menteri, "maka dalam hukum perburuhan perlu ada semacam jaminan bahwa bagi kaum wanita terbuka kesempatan kerja yang sama seperti bagi kaum pria". Tapi toh, masih ada juga pengusaha yang segan mengambil tenaga hawa ini. Soalnya kaum wanita, bagaimanapun, tak bisa lari dari kodratnya untuk hamil dan melahirkan. Artinya mereka harus mendapat cuti. Bahkan adakalanya perusahaan yang bersangkutan harus pula memberi tunjangan kelahiran dan lain-lain. Maka menteri melihat perlunya para hadirin dan hadirat Simposium berfikir-fikir sedikit: bagaimana membuat keseimbangan: tidak mengurangi kesempatan kerja bagi perempuan, tapi tidak menimbulkan risiko bagi si pengusaha. Kurang 10 Tahun Juga pasal anak-anak bawah umur yang bekerja. Menteri memandang ideal ketentuan hukum yang melarang mereka mencari nafkah dalam konteks hubungan perburuhan. Tapi seperti pada persoalan kaum perempuan pekerja tadi, harus dikaji pula kebalikannya. Sebab terutama dalam masyarakat pedesaan, anak-anak masih tetap merupakan faktor ekonomis dalam kehidupan keluarga. "Sehingga apabila kita tidak berhati-hati menetapkan batas usia kerja itu, mungkin akan timbul berbagai permasalahan dalam kehidupan ekonomis kelurga di daerah-daerah pedesaan, yang justru mengandalkan tenaga si anak, bahkan sak mereka berusia kurang dari 10 tahun", katanya. Simposium karya Badan Pembinaan Hukum hasional itu, bekerjasama dengan Departemen Nakertranskop dan Universitas Sriwijaya, memang bukan hanya mengurus soal anak-anak dan wanita pekerja. Ilustrasi Menteri maupun Gubernur tersebut berkaitan dengan pengarahan secara keseluruhan bagaimana Simposium dapat membantu BPHN dan departemen teknis pemerintah menjajagi kemungkinan pembentukan wajah dan isi dari hukum perburuhan yang tepat. Harapan petinggi hukum dan petinggi daerah tersebut ternyata tak sia-sia. Duduk dalam ruangan ber-AC tinggi-maklum di kompleks Pertamina -- peserta yang kebanyakan dari Jakarta dan dari berbagai kalangan itu saling berebut bicara. Sedang prasaran sudah jauh-jauh hari disampaikan, meliputi: keadaan hukum perburuhan di Indonesia oleh Oetoyo Oesman SH Dirjen Perwatan, Departernen Nakertranskop dan UI berbagai permasalahan perburuhan oleh KADIN dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia serta problim penyelesaian perburuhan oleh P4P dan Universitas Sriwijaya. Tatkala seorang pembicara menyinggung soal hubungan perburuhan Pancasila, misalnya, Prof. Ny. Ani Abbas Manoppo SH dari Universitas Sumatera Utara mengingatkan bahwa di samping hukumnya yang belum lengkap, tak kalah penting adalah faktor pelaksana. Sebab adakalanya mereka menjalankan tugasnya jauh dari cara-cara yang terpandang, di samping ada pula yang jadi "alat pengusaha". Padahal dalam semangat hubungan perburuhan Pancasila, semua tindakan "haruslah dengan Pancasila, jadi Pancasila jangan hanya di bibir saja". Tak kurang pula gagasan yang hanya asal ke luar saja, mungkin pembicaranya ingin asbun, asal bunyi. Dan tugas moderator dan pelapor menjadi tidak mudah dalam membimbing para pembicara supaya tetap pada relnya. Tapi untunglah, setelah ke sana ke mari, Simposium pada akhirnya berhasil menghimpun beberapa pokok pikiran segar, dalam tiga kelompok. Kelompok I antara lain mencatat bahwa untuk meningkatkan partisipasi buruh, lembaga tripartite - buruh, pengusaha dan Pemerintah - memegang peranan penting perlu penyempurnaan peraturan perundangan tentang perlindungan sosial untuk semua karyawan pengawasan perburuhan dirasakan kurang berperan dalam fungsinya meningkatkan kepastian hukum dan martabat buruh sebagai manusia perlu ketentuan tegas dalam masalah pengalihan teknologi peninjauan pengaturan uang jasa bagi buruh yang mengajukan permohonan untuk berhenti sendiri. Pemilikan Saham Pada kelompok II disebutkan perlunya memikirkan masalah asuransi jaminan sosial secara lebih luas dan menyeluruh kemudian pembaharuan hukum perburuhan di masa mendatang hendaklah menitikberatkan pada aspek sosial dan keadilan. Dan kelompok III tentang masalah perselisihan perburuhan, yang banyak kaitannya dengan lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, baik di Pusat (P4P), maupun di Daerah (4D). Ada tiga pilihan untuk perbaikan pranata ini. Pertama meningkatkan P4P dan P4D secara tegas sebagai pengadilan perburuhan yang berdiri sendiri dan di luar organisasi badan peradilan umum, serta hanya tunduk pada kasasi Mahkamah Agung. Kedua, idem dengan yang di atas, hanya lebih longgar sedikit: pengadilan perburuhan itu dimaksudkan dalam lingkup organisasi peradilan umum. Dan ketiga, P4P dan P4D dengan penyempurnaan-penyempurnaan dijadikan badan arbitrase atau perwasitan. Kemudian untuk memperkecil kemungkinan timbulnya perselisihan perburuhan, dinilai amat baik bila buruh diikutsertakan dalam pemilikan saham. Ada pula pandangan yang menginginkan agar fakultas hukum membuka jurusan hukum perburuhan, supaya bisa lahir kader-kader yang trampil dalam mengelola masalah perselisihan ini. Dalam dua hari orang memang tak bisa menuntut hasil yang mendalam dari suatu pertemuan ilmiah. Tapi namanya juga simposium: ia sekedar merekam fikiran-fikiran yang membersit keluar. Tugas berikutnya adalah pada BPHN dan Departemen teknis sendiri. Dan dengan Simposium Palembang ini BPHN sudah mengadakan 5 pertemuan ilmiah selama 1976/77. Masih ada dua program lagi: Lokakarya Penyusunan Program Legislatif, 4-6 Pebruari di Manado, dan Lokakarya Sistim Penemuan Kembali Peraturan Perundang-Undangan, 7-9 Maret, Malang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus