MENURUT konsep tradisionil, kekuasaan suatu dinasti atau raja
berdasarkan wahyu Tuhan. Tetapi bila wahyu dapat dianugerahkan
pada suatu keluarga atau seseorang, maka wahyu ini juga dapat
menghilang dari mereka.
Memang ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa wahyu sifatnya
tidak langgeng, melainkan bersifat makin lama makin berkurang.
Sehingga suatu dinasti (kraton) dikatakan tidak akan lebih tua
dari pada 100 tahun, atau pemerintahan seorang raja tidak lama
dari pada seumur jagung.
Kepercayaan adanya jatah waktu bagi kekuasaan ini sering
dilancarkan dalam ramalan-ramalan, bila diperkirakan kekuasaan
mendekati akhir riwayatnya. Ramalan-ramalan tersebut sering
dilancarkan oleh pihak oposisi. Namun bagaimanapun juga
masyarakat umum mempercayai ramalan-ramalan tersebut, terutama
bila pemerintahan dinasti atau raja dianggap jelek. Bahkan
sebenarnya kalangan kraton sendiri suka percaya tentang itu.
Tidak ada sesuatu yang lebih mendemoralisir golongan berkuasa
dari pada ramalan-ramalan tersebut. Sebab perubahan dinasti
merupakan suatu perubahan yang radikal, bahkan revolusioner.
Tidak ada seorang pun di kalangan elite yang berkuasa yang
berkepentingan akan perubahan radikal. Dilihat dari sudut ini
maka gejala kepercayaan bahwa wahyu telah hilang menunjukkan
kehilangan kepercayaan akan diri sendiri, dan juga hasrat untuk
tetap memerintah. Maka dari itu adalah agak penting bagi kita
untuk meninjau asal mula dari ramalan-ramalan itu. Juga untuk
menanyakan adakah dalam tubuh politik kerajaan Jawa di masa
lampau ada sesuatu penyakit yang menimbulkan takhyul itu.
Perlu juga dikatakan di sini bahwa di masyarakat-masyarakat lain
juga ada semacam takhyul tersebut, dengan akibat-akibat sama.
Yakni kemacetan roda pemerintahan dan apati, sebab itulah gejala
utama wahyu yang hilang.
Dalam sejarah Jawa, umur dinasti biasanya singkat: 100 tahun,
paling-paling 150 tahun, dall serin lebih kurang dari se-abad.
Berlainan dengan ini adalah masa pemerintahan raja-rajanya.
Banyak raja yang memerintah lama dan Hamengku Buwana I (1749 -
1792) misalnya 44 tahun. Bahkan bila kita bisa percaya datanya,
ada raja Cirebon dan Banten dalam abad ke-17 yang memerintah
selama 55 tahun dan 80 tahun. Tapi pemerintahan lama ini rupanya
tidak mengakibatkan makin kokohnya dinasti. Justru sebaliknya,
menimbulkan persoalan bagi pengganti-penggantinya. Akibatnya
perubahan politik yang drastis, ataupun kekacauan-kekacauan
lain, sehingga meruntuhkan dinasti.
Mungkinkah dalam peralihan kekuasaan dari seorang raja tua ke
putera mahkota yang muda terletak sumber kegoncangan politik
ini? Untuk menjelaskan ini sebaiknya kita melihat pada krisis
dinastik Mataram (didirikan sekitar 1570) yang pertama.
Setelah raja ke-tiga dinasti ini, yaitu Sultan Agung (1613-1645)
wafat, ia digantikan oleh cucunya, Amangkurat I (1645-1677).
Seakan-akan penggantian tahta dari Sultan Agung ke Amangkurat
ini menyangkal teori bahwa masa pemerintahan lama akan disusul
oleh kekacauan. Memang Sultan Agung seorang raja besar, yang
sampai titik terakhir memegang semua jaringan kekuasaan di
tangannya. Namun sebenarnya perubahan fakta secara damai ini
juga hanya sepintas-lalu saja.
Dari permulaan sang raja baru bertujuan untuk menyatukan ke
tangannya segala kekuasaan. Penasehat-penasehat tua kakeknya
disingkirkan, bahkan dibunuh, termasuk adiknya sendiri, Pangeran
Alit. Penindasan terhadap semua oposisi dilakukan oleh raja
Amangkurat. Pemimpin agama, ulama-ulama dari aliran yang
bertentangan dengan konsep agama raja baru itu, dibunuh bersama
dengan keluarga dan anak buah mereka. Tiap kali jatuh
korban-korban dari 5000 sampai 6000 orang.
Amangkurat I memang mungkin dapat dikatakan raja terkejam dalam
sejarah Jawa Duta VOC pertama ke istana Mataram menceritakan
bahwa "sistim pemerintahan semacam ini tidak mungkin dipikirkan
di Belanda .... di mana para penasehat tua dibunuh untuk
melowongkan tempat-tempat bagi mereka pada yang muda ... " Bukan
saja orang asing yang tidak setuju dengan teror itu, tetapi juga
orang Jawa sendiri. Seperti dikatakan oleh Babad Tanah Jawi yang
malahan dibuat oleh dinasti Mataram sendiri:
Pada zaman itu semua yang diinginkan sang lata bertentangan
dengan adat. Beliau sering memakai kekerasan terhadap orang lain
dan sering menjatuhkan hukuman mati di depan umum. Para bupati,
mantri dan pangeran saling mencuri lungguh (tanah). Tata
kerajaan makin lama makin hancur...
Pemerintahan Amangkurat I kelihatannya demikian kuat - dengan
sistim teror. Dia menindas semua oposisi. Masyarakat merasa
tidak berdaya lagi menghadapinya. Dalam keadaan demikian lalu
dari proses alam diharapkan pembebasan dari kekuasaan raja yang
bertentangan dengan tata-tenteram lan adat ini.
Memang benar rupanya bahwa alam akan pada akhirnya mengadakan
intervensi. Di kraton timbul bintang baru: pangeran mahkota yang
muda yang tidak sabar menunggu taat wafat ayahnya. Putera
mahkota ingin merebut kekuasaan pada saat itu juga. Saat
menjelang perubahan zaman lebih menonjol, sebab di sekitar
putera-mahkota terdapat kalangan kraton sebaya. Penggantian
tahta akan berarti munculnya wajah-wajah baru dan pembaruan
generasi sekaligus. Tidak berbeda dengan saat wafatnya Sultan
Agung.
Apa sejarah berdarah akan terulang lagi? Kali ini golongan tua,
orang-orang yang memihak Amangkurat, lari ke pihak oposisi yang
berpangkal pada putera-mahkota. Untuk apa para penasehat dan
mantri Amangkurat I mengabdi pada seorang raja yang akan tutup
usia tidak lama lagi? Di kraton timbul berbagai macam intdk.
Bukan lagi memerintah dan pemerintahan yang dipikirkan, tapi
kekuasaan dan kedudukan dipakai untuk mengintrik, menjamin
kedudukan di masa depan.
Keadaan ini menimbulkan kemacetan roda kekuasaan. Tapi perubahan
yang akan datang sebenarnya hanya merupakan perubahan dalam umur
kalangan berkuasa, dan dalam wajah tokoh-tokoh pemerintahan.
Bukan merupakan perubahan struktural.
Tapi dengan berkembangnya intrik-intrik kraton datang oposisi
lain yang mengancam dengan perubahan lebih radikal. Yakni dari
daerah. Pada akhir zaman Amangkurat I, tokoh oposisi dari daerah
ini terkenal dalam sejarah sebagai Panembahan Rama. Dalam kronik
dinasti Mataram ia disebut Raden Ambalik (pengkhianat). Ia
keturunan seorang wali, Sunan Tembayat, berumur 100 tahun pada
waktu akhir hidup Amangkurat I. Terkenal sebagai sangat sakti
dan mampu meramal hari depan.
Panembahan Rama ini yang jadi dalang kekacauan yang akan datang.
Ia menginginkan cucunya Raden Trunojoyo dari Madura untuk
mendirdkan dinasti dan kraton baru. Tapi untuk sementara dia
berintrik dengan putera-mahkota Mataram untuk mencapai
tujuannya.
Pihak lain muncul. Perampok-perampok Bugis mendarat di pantai
Jawa Timur dan dijadikan sekutu Trunojoyo. Putera mahkota
dikirimkan dengan tentara Matararn untuk menyerang pemberontakan
di Jawa Timur. Para pembikin intrik menjanjikan pada putera
mahkota perang-perangan tak sungguh-sungguh sebagai
tipu-muslihat.
Dalam kenyataan tentara Mataram dipukul dan dihancurkan oleh
Trunojoyo-Bugis. Panembahan Rama sekarang menggunakan peranannya
sebagai Guru Tanah Jawa dengan melancarkan ramalan tentang
berakhirnya dinasti Mataram, karena umurnya sudah 100 tahun.
Memang ini kehatannya benar. Kraton diserbu
pemberontak-pemberontak, raja dan puteranya lari. Amangkurat I
wafat dalam perjalanan di Tegal dan diberi gelar Tegalwangi.
Putera mahkota sebagai Amangkurat II (1677-1702) hanya dapat
merebut tahtanya kembali dengan bantuan VOC. Trunojoyo dibunuh
oleh keris susuhunan sendiri. Tapi Panembahan Rama hanya bisa
ditembak mati oleh tentara Belanda, sebab tak seorang Jawa pun
yang berani membunuhnya.
Di lain pihak kerajaan Mataram sebenarnya tidak akan pulih
kembali, pola pemberontakan, perang saudara dan kegoncangan lain
makin lama makin melemahkannya, dan mendorongnya lebih ke tangan
Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini