Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Wahyu yang hilang, kraton yang ...

Menurut konsep tradisional, kekuasaan raja berdasarkan wahyu tuhan, yang sifatnya tidak langgeng. kepercayaan adanya jatah waktu sering dilancarkan dalam ramalan. masyarakat umum mempercayai ramalan-ramalan tersebut.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENURUT konsep tradisionil, kekuasaan suatu dinasti atau raja berdasarkan wahyu Tuhan. Tetapi bila wahyu dapat dianugerahkan pada suatu keluarga atau seseorang, maka wahyu ini juga dapat menghilang dari mereka. Memang ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa wahyu sifatnya tidak langgeng, melainkan bersifat makin lama makin berkurang. Sehingga suatu dinasti (kraton) dikatakan tidak akan lebih tua dari pada 100 tahun, atau pemerintahan seorang raja tidak lama dari pada seumur jagung. Kepercayaan adanya jatah waktu bagi kekuasaan ini sering dilancarkan dalam ramalan-ramalan, bila diperkirakan kekuasaan mendekati akhir riwayatnya. Ramalan-ramalan tersebut sering dilancarkan oleh pihak oposisi. Namun bagaimanapun juga masyarakat umum mempercayai ramalan-ramalan tersebut, terutama bila pemerintahan dinasti atau raja dianggap jelek. Bahkan sebenarnya kalangan kraton sendiri suka percaya tentang itu. Tidak ada sesuatu yang lebih mendemoralisir golongan berkuasa dari pada ramalan-ramalan tersebut. Sebab perubahan dinasti merupakan suatu perubahan yang radikal, bahkan revolusioner. Tidak ada seorang pun di kalangan elite yang berkuasa yang berkepentingan akan perubahan radikal. Dilihat dari sudut ini maka gejala kepercayaan bahwa wahyu telah hilang menunjukkan kehilangan kepercayaan akan diri sendiri, dan juga hasrat untuk tetap memerintah. Maka dari itu adalah agak penting bagi kita untuk meninjau asal mula dari ramalan-ramalan itu. Juga untuk menanyakan adakah dalam tubuh politik kerajaan Jawa di masa lampau ada sesuatu penyakit yang menimbulkan takhyul itu. Perlu juga dikatakan di sini bahwa di masyarakat-masyarakat lain juga ada semacam takhyul tersebut, dengan akibat-akibat sama. Yakni kemacetan roda pemerintahan dan apati, sebab itulah gejala utama wahyu yang hilang. Dalam sejarah Jawa, umur dinasti biasanya singkat: 100 tahun, paling-paling 150 tahun, dall serin lebih kurang dari se-abad. Berlainan dengan ini adalah masa pemerintahan raja-rajanya. Banyak raja yang memerintah lama dan Hamengku Buwana I (1749 - 1792) misalnya 44 tahun. Bahkan bila kita bisa percaya datanya, ada raja Cirebon dan Banten dalam abad ke-17 yang memerintah selama 55 tahun dan 80 tahun. Tapi pemerintahan lama ini rupanya tidak mengakibatkan makin kokohnya dinasti. Justru sebaliknya, menimbulkan persoalan bagi pengganti-penggantinya. Akibatnya perubahan politik yang drastis, ataupun kekacauan-kekacauan lain, sehingga meruntuhkan dinasti. Mungkinkah dalam peralihan kekuasaan dari seorang raja tua ke putera mahkota yang muda terletak sumber kegoncangan politik ini? Untuk menjelaskan ini sebaiknya kita melihat pada krisis dinastik Mataram (didirikan sekitar 1570) yang pertama. Setelah raja ke-tiga dinasti ini, yaitu Sultan Agung (1613-1645) wafat, ia digantikan oleh cucunya, Amangkurat I (1645-1677). Seakan-akan penggantian tahta dari Sultan Agung ke Amangkurat ini menyangkal teori bahwa masa pemerintahan lama akan disusul oleh kekacauan. Memang Sultan Agung seorang raja besar, yang sampai titik terakhir memegang semua jaringan kekuasaan di tangannya. Namun sebenarnya perubahan fakta secara damai ini juga hanya sepintas-lalu saja. Dari permulaan sang raja baru bertujuan untuk menyatukan ke tangannya segala kekuasaan. Penasehat-penasehat tua kakeknya disingkirkan, bahkan dibunuh, termasuk adiknya sendiri, Pangeran Alit. Penindasan terhadap semua oposisi dilakukan oleh raja Amangkurat. Pemimpin agama, ulama-ulama dari aliran yang bertentangan dengan konsep agama raja baru itu, dibunuh bersama dengan keluarga dan anak buah mereka. Tiap kali jatuh korban-korban dari 5000 sampai 6000 orang. Amangkurat I memang mungkin dapat dikatakan raja terkejam dalam sejarah Jawa Duta VOC pertama ke istana Mataram menceritakan bahwa "sistim pemerintahan semacam ini tidak mungkin dipikirkan di Belanda .... di mana para penasehat tua dibunuh untuk melowongkan tempat-tempat bagi mereka pada yang muda ... " Bukan saja orang asing yang tidak setuju dengan teror itu, tetapi juga orang Jawa sendiri. Seperti dikatakan oleh Babad Tanah Jawi yang malahan dibuat oleh dinasti Mataram sendiri: Pada zaman itu semua yang diinginkan sang lata bertentangan dengan adat. Beliau sering memakai kekerasan terhadap orang lain dan sering menjatuhkan hukuman mati di depan umum. Para bupati, mantri dan pangeran saling mencuri lungguh (tanah). Tata kerajaan makin lama makin hancur... Pemerintahan Amangkurat I kelihatannya demikian kuat - dengan sistim teror. Dia menindas semua oposisi. Masyarakat merasa tidak berdaya lagi menghadapinya. Dalam keadaan demikian lalu dari proses alam diharapkan pembebasan dari kekuasaan raja yang bertentangan dengan tata-tenteram lan adat ini. Memang benar rupanya bahwa alam akan pada akhirnya mengadakan intervensi. Di kraton timbul bintang baru: pangeran mahkota yang muda yang tidak sabar menunggu taat wafat ayahnya. Putera mahkota ingin merebut kekuasaan pada saat itu juga. Saat menjelang perubahan zaman lebih menonjol, sebab di sekitar putera-mahkota terdapat kalangan kraton sebaya. Penggantian tahta akan berarti munculnya wajah-wajah baru dan pembaruan generasi sekaligus. Tidak berbeda dengan saat wafatnya Sultan Agung. Apa sejarah berdarah akan terulang lagi? Kali ini golongan tua, orang-orang yang memihak Amangkurat, lari ke pihak oposisi yang berpangkal pada putera-mahkota. Untuk apa para penasehat dan mantri Amangkurat I mengabdi pada seorang raja yang akan tutup usia tidak lama lagi? Di kraton timbul berbagai macam intdk. Bukan lagi memerintah dan pemerintahan yang dipikirkan, tapi kekuasaan dan kedudukan dipakai untuk mengintrik, menjamin kedudukan di masa depan. Keadaan ini menimbulkan kemacetan roda kekuasaan. Tapi perubahan yang akan datang sebenarnya hanya merupakan perubahan dalam umur kalangan berkuasa, dan dalam wajah tokoh-tokoh pemerintahan. Bukan merupakan perubahan struktural. Tapi dengan berkembangnya intrik-intrik kraton datang oposisi lain yang mengancam dengan perubahan lebih radikal. Yakni dari daerah. Pada akhir zaman Amangkurat I, tokoh oposisi dari daerah ini terkenal dalam sejarah sebagai Panembahan Rama. Dalam kronik dinasti Mataram ia disebut Raden Ambalik (pengkhianat). Ia keturunan seorang wali, Sunan Tembayat, berumur 100 tahun pada waktu akhir hidup Amangkurat I. Terkenal sebagai sangat sakti dan mampu meramal hari depan. Panembahan Rama ini yang jadi dalang kekacauan yang akan datang. Ia menginginkan cucunya Raden Trunojoyo dari Madura untuk mendirdkan dinasti dan kraton baru. Tapi untuk sementara dia berintrik dengan putera-mahkota Mataram untuk mencapai tujuannya. Pihak lain muncul. Perampok-perampok Bugis mendarat di pantai Jawa Timur dan dijadikan sekutu Trunojoyo. Putera mahkota dikirimkan dengan tentara Matararn untuk menyerang pemberontakan di Jawa Timur. Para pembikin intrik menjanjikan pada putera mahkota perang-perangan tak sungguh-sungguh sebagai tipu-muslihat. Dalam kenyataan tentara Mataram dipukul dan dihancurkan oleh Trunojoyo-Bugis. Panembahan Rama sekarang menggunakan peranannya sebagai Guru Tanah Jawa dengan melancarkan ramalan tentang berakhirnya dinasti Mataram, karena umurnya sudah 100 tahun. Memang ini kehatannya benar. Kraton diserbu pemberontak-pemberontak, raja dan puteranya lari. Amangkurat I wafat dalam perjalanan di Tegal dan diberi gelar Tegalwangi. Putera mahkota sebagai Amangkurat II (1677-1702) hanya dapat merebut tahtanya kembali dengan bantuan VOC. Trunojoyo dibunuh oleh keris susuhunan sendiri. Tapi Panembahan Rama hanya bisa ditembak mati oleh tentara Belanda, sebab tak seorang Jawa pun yang berani membunuhnya. Di lain pihak kerajaan Mataram sebenarnya tidak akan pulih kembali, pola pemberontakan, perang saudara dan kegoncangan lain makin lama makin melemahkannya, dan mendorongnya lebih ke tangan Belanda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus