"Saya, bahkan tidak senang akan mobil tua sekalipun. Bagi saya,
lebih baik memilih seekor kuda. Kuda adalah mahluk yang lebih
manusiawi " - J.D. Salinger, dalam Catcher in the Rye.
KUDA adalah barang hidup. Bagi saya memelihara kuda adalah
hobi", kata Oetari Soehardjono.
Ia menolak menyebutkan umurnya. Wanita ini adalah isteri dari
Direktur Jenderal Pos & Telekomunikasi Mayor Jenderal
Soehardjono. Kecil, dengan kulit yang banyak tertimpa matahari,
siang itu di ranch-nya, Oetari Soehardjono mengenakan celana
jeans. Kakinya tertutup kaos putih dan sandal yang berpotongan
sederhana merek Scholl. Kemeja laki-laki yang sudah kusam
warnanya, melekat di tubuhnya. Di sana-sini bahkan ada
bolong-bolong kecil karena umur kemeja yang sudah tua. Sedikit
bekas bedak masih tampak di mukanya, tapi dia tidak mengenakan
make-up sama sekali. Ia lulusan HBS Bandung.
"Yaah, sepanjang hari seluruh minggu, saya mengurus kuda",
katanya sambil duduk terhenyak di kursi bambu, di emperan
rumahnya yang berbentuk biasa dan dibangun dari kayu. Bau minyak
wangi masih tersedot oleh hidung. Givenchy III. Di kedua
kupingnya, ada subang bermata berlian, tangan kiri ada sebentuk
cincin dari emas putih dan batu jade atau green beryl. Di tangan
kanannya, ada sebentuk cincin lain dengan batu yang lebih banyak
dan besar dari smoky quartz.
Lady Wentworth Indonesia
Ia lahir di Banjarnegara, kota kecil sebelah timur Purwokerto,
Jawa Tengah. "Saya sekarang lagi sibuk mereistrasi kuda-kuda
anggota Pordasi", ujarnya. Pordasi adalah Persatuan Olahraga
Berkuda Seluruh Indonesia. Suaminya jadi Ketua Umum. Sementara
ini Pordasi telah mencatat sekitar 300 ekor kuda pacu. Untuk
kuda tunggang, hal ini baru akan diusulkan dalam kongres kerja
Pordasi bulan depan.
"Inilah mereka yang telah mencatatkan diri", kata Oetari
Soehardjono sambil menyodorkan buku besar yang penuh catatan
nama kuda, umur kuda, Jenis, dan nama pembelinya. Antara lain
tercatat nam Hein Victor Worang dari Sulawesi Utara, Solichin
Gautama Purnanegara dari Jawa Barat. Dan dari Jakarta-lah
tercatat banyak nama pemiliknya. Antara lain tentu saja keluarga
Soehardjono. Kini jumlah kudanya lebih dari 100 ekor. Keluarga
ini pulalah yang memulai mengimpor kuda-kuda thoroughbred (kuda
yang berketurunan murni) dari Australia.
"Hobi saya ini sekalian mengemban suatu ide, yaitu perkembangan
kuda Indonesia", ujar Oetari. Begitu gandrungnya dengan kuda,
hingga "suami saya kalau ke luar negeri dalam dinas, selalu
menyempatkan waktu untuk berkumpul dengan orang-orang kuda".
Indonesia sendiri, baru tahun 1975 masuk jadi anggota Federation
Equestre Internationale (Perkumpulan Internasional Ketangkasan
Berkuda). Sampai tahun lalu, Pangeran Philip, suami dari Ratu
Elizabeth II adalah presiden untuk FEI ini.
Menurut pengakuannya, kalau keluar negeri dia melulu untuk
melihat balapan kuda atau mencari bibit kuda terbaik. Menurut
pendapatnya untuk Indonesia paling tidak harus mengambil waktu
16 tahun, sebelum mendapatkan kuda-kuda standar Indonesia yang
baik.
"Lima tahun pertama, usaha saya ini hanya fiasco (kegagalan -
Red.) saja. Tak tahu berapa sudah jumlah uang dan waktu yang
terbuang. Tidak ada pemikiran cost and accounting", ujarnya
ketika ditanya berapa kekayaan dan perkudaan ini. Tambahnya
lagi: "Kini yang berbekas cuma pengalaman yang berguna untuk
bekal. Dan sekarang inilah rupanya sudah mulai berubah".
Apakah Oetari Soehardjono nantinya bisa disebutkan sebagai Lady
Wentworth Indonesia, itu wanita Inggeris yang berhasil
mengawinkan kuda standar yang cukup jagoan? Oetari, yang cerdas
dan mengerti empat bahasa (Inggeris, Belanda, Perancis dan
Jerman) cuma tertawa saja. Ujarnya: "Saya cuma belajar dari
pengalaman dan baca buku". Banyak buku-buku tentang kuda
tersimpan di ruang kerjanya. Antara lain sebuah buku pemberian
bekas Duta Besar AS, Francis Galbraith berjudul Thoroughbreds, I
have known. Sepucuk surat perpisahan yang manis juga masih
ditempelkan di buku tersebut, tertanggal 2 Pebruari 1974.
Ranch milik suami isteri Soehardjono seluas 25 Ha, terletak di
Pamulang, sebelah selatan kota Jakarta dan termasuk daerah
Bogor. Tanah seluas itu dibagi dua oleh jalan umum. Pada pintu
gerbang yang terbuat dari besi, tampak tulisan jelas: Pamulang
Stud & Stable. (Peternakan dan Kandang Kuda Pamulang).
Masuk menjorok ke dalam, suasana serba kuda begitu terasa. Dari
kejauhan, ada patung besar putih, patung seekor induk kuda
dengan anaknya. Anjing-anjing yang berkeliaran, kuda-kuda yang
sedang dituntun perawatnya, tampak di sela-sela pohon yang
besar. Di kanan-kiri, ada kandang kuda yang rapi, dalam bangunan
yang terbuat dari rangka besi dan batako, mirip gudang-gudang di
Tanjungpriok.
Di tengah, di mana jalan masuk jadi terhenti, ada ruman panggung
potongan sederhana. Semuanya dibuat dari kayu balok besar-besar.
Mirip rumah pertanian di Jawa Barat, tapi di-Barat-kan jadi
rumah ranch gaya Amerika. Di rumah inilah kini keluarga
Soehardjono tinggal, sementara rumah instansinya di Kebayoran
ditempati oleh adiknya. Ada lagi sebuah rumah yang lain. terbuat
dari kayu, tidak berpanggung. Sebagian dari rumah itu digunakan
untuk dapur, kamar kerja sang nyonya dan sebagian untuk kantor
Pordasi. Juga sebagai tempat tamu, yang tak begitu akrab
tentunya. Beberapa perangkat kursi bambu ukir, memang cocok
untuk rumah gaya ini. Ada meja makan panjang dengan taplak meja
batik dan piring antik di atasnya. Di dapur, ada oven dan
perlengkapan lainnya yang mirip dapur orang-orang di Barat.
"Tanah ini dulu saya beli murah sekali", ujar Oetari
Soehardjono. Dia mengatakan sekitar tahun 1965, dibeli seringgit
semeter. Dulu "tidak ada orang yang mau tinggal di sini".
Dulunya, tanah ini milik seorang Belanda, de Heer Damann, yang
karena masuk internir Jepang, kemudian meninggal. Kemudian
dimiliki oleh Dr. Murad dan baru kemudian dibeli Soehardjono.
"Selama 12 tahun, kami bangun tempat ini sedikit demi sedikit",
katanya lagi. Di seberang jalan yang memisah ranch itu, ada
stadion kuda, yang bisa saja jadi saingan Pulo Mas. Dari rumah
panggung bergaya Eropa, orang bisa melihat dengan jelas situasi
stadion itu.
Ada ruangan ber-ac, kursi kayu tebal gaya Jerman dan pengunjung
bisa memesan minuman dingin. Ada toko kecil untuk siapa saja
yang ingin membeli perlengkapan naik kuda (dari baju komplit di
atas Rp 50.000 sampai sepatu bot, celana, jas dan topi). Di
dinding, terpampang berbagai lukisan kuda, pamplet balapan kuda
dari mana saja dan simbol-simbol kuda lainnya.
Di lapangan yang luas, tampak lapangan kecil berpasir keras
untuk latihan menunggang kuda. Juga terdapat stadion balap kuda
yang lebih besar. Dan lebih jauh lagi, stadion besar dalam
ruangan. Pemandangan serba hijau rata dan di kejauhan ditumbuhi
rumput setinggi semeter. "Saya coba tanam sendiri rumput bibit
dari luar negeri", kata Oetari.
Menurut pengakuannya, stadion ini baru selesai secara komplit
tahun kemarin. Pegawainya kini ada sekitar 40 orang, tapi dia
menolak untuk menyebutkan berapa jllmlah kudanya. "Hitung saja
sendiri berapa, kalau induknya saja saya punya 30 ekor. Kan
setiap tahun selalu beranak", katanya. "Kuda hamil dalam waktu
11 bulan".
Demi Puspa Utama
Harga seekor kuda tunggang sekitar Rp 300.000. Kuda pacu, lebih
mahal lagi. Untuk harga Indonesia, kuda yang sudah dikawinkan
dengan kuda ras dari Australia, bisa mencapai sekitar tiga juta
rupiah. Di Pamulang, banyak kuda-kuda yang indekost. Untuk kuda
tunggang, ongkos titip setiap bulannya sekitar Rp 35.000. Kuda
balap, bisa lipat dua dari jumlah itu. "Untuk kuda pacu
makanannya harus lebih banyak protein untuk memperkuat kaki dan
ototnya. Juga dia tidak boleh terlalu gemuk, agar larinya bisa
kencang", kata Oetari.
Berapa harga makanan seharinya untuk kuda-kuda tersebut?
"Mengapa tanya harga segala?", kata Oetari sedikit tersinggung.
"Kalkulasikan saja sendiri, misalnya untuk kuda tunggang.
Seharinya dia harus diberi 3 kg dedak, 3 kg jagung dan « sampai 1
kg kacang ijo, gabah 2 - 3 kg, dilengkapi dengan vitamin dan
garam". Perlu diketahui, untuk kuda macam gedongan ini, harus
makan rumput tertentu yang belum bisa ditanam di Indonesia. Jadi
harus impor. Juga makanan tambahan lainnya. Kata Oetari: "Selama
ini kami impor sendiri-sendiri, dan tidak diselenggarakan oleh
Pordasi. Karena setiap pemilik kuda kemauannya lain-lain".
Harganya? "Saya keberatan kalau menyinggung soal uang. Kita
bicara soal kuda saja".
"Saya begitu gemarnya akan kuda, karena anak saya juga penggemar
kuda". Anak tunggalnya, Puspa Utama, 21 tahun, begitu tamat SMP
tak mau melanjutkan sekolah lagi. "Dia ingin memperdalam tentang
kuda saja. Lantas kami kirim ke Jerman untuk lima tahun", tambah
sang ibu. Kini, Puspa Utama berada di Sydney dan tempat-tempat
lainnya di Australia, untuk turut balapan kuda, sekalian
memperdalam pengetahuannya tentang kuda. Tambah nyonya
Soehardjono lagi: "Dia bahkan pernah mengatakan kalau menikah
nanti, dia ingin punya isteri yang seperti ibunya", kata Oetari.
Lari Terus
"Saya bertemu pak Soehardjono di lapangan", kata Oetari
menyingkapkan selintas tentang pernikahannya. Asal dari Yogya,
ketika mudanya, Soehardjono beberapa kali turut regu Yogya untuk
PON. Pertama, atlit dari tolak peluru, kemudian turut regu
anggar. Oetari sendiri juga gemar olahraga, terutama berenang.
"Pokoknya, saya tidak mau kalau didesas-desuskan yang
tidak-tidak", katanya lagi, ketika ditanyakan betulkah dia punya
kuda di Argentina, di salah satu tempat di Texas AS atau di
Australia. "Wah, semua itu, moga-moga saja nantinya terkabul,
saya punya kuda di mana-mana". Tambahnya lagi: "Apa lagi
didesas-desuskan mendapat komisi 40 juta dolar AS. Saya sampai
ngelamun, kalau itu betul, apa saja ya yang akan saya beli?".
Apa yang menjadi harapannya? "Hanya satu", katanya. "Agar
Indonesia nanti memiliki kuda elit, yang bisa dijadikan standar
Indonesia". Seekor dari beberapa kuda pacunya, bernama Cempaka,
pernah memenangkan untuk kejuaraan Derby tahun kemarin, dan
berhasil meraih Piala Peternak, untuk jarak 1400 m, waktu 1.38,3
menit. Mempunyai ayah dari Australia, Cempaka ini adalah salah
satu kuda kebanggaan keluarga Soehardjono.
Tambahnya lagi: "Saya ini cuma pegawainya anak saya. Setelah ada
pengumuman bahwa ABRI dan keluarganya tidak boleh memiliki
perusahaan apapun, Pamulang saya hibahkan pada anak saya".
Diakuinya pula, bahwa memelihara dan beternak kuda tidaklah
menghasilkan keuntungan uang. "Pemeliharaannya memerlukan
ketekunan, dan tidak menguntungkan uang sama sekali. Jadi, kalau
ingin memelihara kuda, paling sedikit anda harus memiliki sebuah
Mercy".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini