Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Ny. soehardjono: diakah lady ...

Oetari soehardjono hobinya mengurus kuda dan ingin mengembangkan kuda di indonesia. memiliki ranch dan stadion kuda di pamulang seluas 25 ha. puspa utama, anaknya, di sidney mendalami masalah kuda.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya, bahkan tidak senang akan mobil tua sekalipun. Bagi saya, lebih baik memilih seekor kuda. Kuda adalah mahluk yang lebih manusiawi " - J.D. Salinger, dalam Catcher in the Rye. KUDA adalah barang hidup. Bagi saya memelihara kuda adalah hobi", kata Oetari Soehardjono. Ia menolak menyebutkan umurnya. Wanita ini adalah isteri dari Direktur Jenderal Pos & Telekomunikasi Mayor Jenderal Soehardjono. Kecil, dengan kulit yang banyak tertimpa matahari, siang itu di ranch-nya, Oetari Soehardjono mengenakan celana jeans. Kakinya tertutup kaos putih dan sandal yang berpotongan sederhana merek Scholl. Kemeja laki-laki yang sudah kusam warnanya, melekat di tubuhnya. Di sana-sini bahkan ada bolong-bolong kecil karena umur kemeja yang sudah tua. Sedikit bekas bedak masih tampak di mukanya, tapi dia tidak mengenakan make-up sama sekali. Ia lulusan HBS Bandung. "Yaah, sepanjang hari seluruh minggu, saya mengurus kuda", katanya sambil duduk terhenyak di kursi bambu, di emperan rumahnya yang berbentuk biasa dan dibangun dari kayu. Bau minyak wangi masih tersedot oleh hidung. Givenchy III. Di kedua kupingnya, ada subang bermata berlian, tangan kiri ada sebentuk cincin dari emas putih dan batu jade atau green beryl. Di tangan kanannya, ada sebentuk cincin lain dengan batu yang lebih banyak dan besar dari smoky quartz. Lady Wentworth Indonesia Ia lahir di Banjarnegara, kota kecil sebelah timur Purwokerto, Jawa Tengah. "Saya sekarang lagi sibuk mereistrasi kuda-kuda anggota Pordasi", ujarnya. Pordasi adalah Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia. Suaminya jadi Ketua Umum. Sementara ini Pordasi telah mencatat sekitar 300 ekor kuda pacu. Untuk kuda tunggang, hal ini baru akan diusulkan dalam kongres kerja Pordasi bulan depan. "Inilah mereka yang telah mencatatkan diri", kata Oetari Soehardjono sambil menyodorkan buku besar yang penuh catatan nama kuda, umur kuda, Jenis, dan nama pembelinya. Antara lain tercatat nam Hein Victor Worang dari Sulawesi Utara, Solichin Gautama Purnanegara dari Jawa Barat. Dan dari Jakarta-lah tercatat banyak nama pemiliknya. Antara lain tentu saja keluarga Soehardjono. Kini jumlah kudanya lebih dari 100 ekor. Keluarga ini pulalah yang memulai mengimpor kuda-kuda thoroughbred (kuda yang berketurunan murni) dari Australia. "Hobi saya ini sekalian mengemban suatu ide, yaitu perkembangan kuda Indonesia", ujar Oetari. Begitu gandrungnya dengan kuda, hingga "suami saya kalau ke luar negeri dalam dinas, selalu menyempatkan waktu untuk berkumpul dengan orang-orang kuda". Indonesia sendiri, baru tahun 1975 masuk jadi anggota Federation Equestre Internationale (Perkumpulan Internasional Ketangkasan Berkuda). Sampai tahun lalu, Pangeran Philip, suami dari Ratu Elizabeth II adalah presiden untuk FEI ini. Menurut pengakuannya, kalau keluar negeri dia melulu untuk melihat balapan kuda atau mencari bibit kuda terbaik. Menurut pendapatnya untuk Indonesia paling tidak harus mengambil waktu 16 tahun, sebelum mendapatkan kuda-kuda standar Indonesia yang baik. "Lima tahun pertama, usaha saya ini hanya fiasco (kegagalan - Red.) saja. Tak tahu berapa sudah jumlah uang dan waktu yang terbuang. Tidak ada pemikiran cost and accounting", ujarnya ketika ditanya berapa kekayaan dan perkudaan ini. Tambahnya lagi: "Kini yang berbekas cuma pengalaman yang berguna untuk bekal. Dan sekarang inilah rupanya sudah mulai berubah". Apakah Oetari Soehardjono nantinya bisa disebutkan sebagai Lady Wentworth Indonesia, itu wanita Inggeris yang berhasil mengawinkan kuda standar yang cukup jagoan? Oetari, yang cerdas dan mengerti empat bahasa (Inggeris, Belanda, Perancis dan Jerman) cuma tertawa saja. Ujarnya: "Saya cuma belajar dari pengalaman dan baca buku". Banyak buku-buku tentang kuda tersimpan di ruang kerjanya. Antara lain sebuah buku pemberian bekas Duta Besar AS, Francis Galbraith berjudul Thoroughbreds, I have known. Sepucuk surat perpisahan yang manis juga masih ditempelkan di buku tersebut, tertanggal 2 Pebruari 1974. Ranch milik suami isteri Soehardjono seluas 25 Ha, terletak di Pamulang, sebelah selatan kota Jakarta dan termasuk daerah Bogor. Tanah seluas itu dibagi dua oleh jalan umum. Pada pintu gerbang yang terbuat dari besi, tampak tulisan jelas: Pamulang Stud & Stable. (Peternakan dan Kandang Kuda Pamulang). Masuk menjorok ke dalam, suasana serba kuda begitu terasa. Dari kejauhan, ada patung besar putih, patung seekor induk kuda dengan anaknya. Anjing-anjing yang berkeliaran, kuda-kuda yang sedang dituntun perawatnya, tampak di sela-sela pohon yang besar. Di kanan-kiri, ada kandang kuda yang rapi, dalam bangunan yang terbuat dari rangka besi dan batako, mirip gudang-gudang di Tanjungpriok. Di tengah, di mana jalan masuk jadi terhenti, ada ruman panggung potongan sederhana. Semuanya dibuat dari kayu balok besar-besar. Mirip rumah pertanian di Jawa Barat, tapi di-Barat-kan jadi rumah ranch gaya Amerika. Di rumah inilah kini keluarga Soehardjono tinggal, sementara rumah instansinya di Kebayoran ditempati oleh adiknya. Ada lagi sebuah rumah yang lain. terbuat dari kayu, tidak berpanggung. Sebagian dari rumah itu digunakan untuk dapur, kamar kerja sang nyonya dan sebagian untuk kantor Pordasi. Juga sebagai tempat tamu, yang tak begitu akrab tentunya. Beberapa perangkat kursi bambu ukir, memang cocok untuk rumah gaya ini. Ada meja makan panjang dengan taplak meja batik dan piring antik di atasnya. Di dapur, ada oven dan perlengkapan lainnya yang mirip dapur orang-orang di Barat. "Tanah ini dulu saya beli murah sekali", ujar Oetari Soehardjono. Dia mengatakan sekitar tahun 1965, dibeli seringgit semeter. Dulu "tidak ada orang yang mau tinggal di sini". Dulunya, tanah ini milik seorang Belanda, de Heer Damann, yang karena masuk internir Jepang, kemudian meninggal. Kemudian dimiliki oleh Dr. Murad dan baru kemudian dibeli Soehardjono. "Selama 12 tahun, kami bangun tempat ini sedikit demi sedikit", katanya lagi. Di seberang jalan yang memisah ranch itu, ada stadion kuda, yang bisa saja jadi saingan Pulo Mas. Dari rumah panggung bergaya Eropa, orang bisa melihat dengan jelas situasi stadion itu. Ada ruangan ber-ac, kursi kayu tebal gaya Jerman dan pengunjung bisa memesan minuman dingin. Ada toko kecil untuk siapa saja yang ingin membeli perlengkapan naik kuda (dari baju komplit di atas Rp 50.000 sampai sepatu bot, celana, jas dan topi). Di dinding, terpampang berbagai lukisan kuda, pamplet balapan kuda dari mana saja dan simbol-simbol kuda lainnya. Di lapangan yang luas, tampak lapangan kecil berpasir keras untuk latihan menunggang kuda. Juga terdapat stadion balap kuda yang lebih besar. Dan lebih jauh lagi, stadion besar dalam ruangan. Pemandangan serba hijau rata dan di kejauhan ditumbuhi rumput setinggi semeter. "Saya coba tanam sendiri rumput bibit dari luar negeri", kata Oetari. Menurut pengakuannya, stadion ini baru selesai secara komplit tahun kemarin. Pegawainya kini ada sekitar 40 orang, tapi dia menolak untuk menyebutkan berapa jllmlah kudanya. "Hitung saja sendiri berapa, kalau induknya saja saya punya 30 ekor. Kan setiap tahun selalu beranak", katanya. "Kuda hamil dalam waktu 11 bulan". Demi Puspa Utama Harga seekor kuda tunggang sekitar Rp 300.000. Kuda pacu, lebih mahal lagi. Untuk harga Indonesia, kuda yang sudah dikawinkan dengan kuda ras dari Australia, bisa mencapai sekitar tiga juta rupiah. Di Pamulang, banyak kuda-kuda yang indekost. Untuk kuda tunggang, ongkos titip setiap bulannya sekitar Rp 35.000. Kuda balap, bisa lipat dua dari jumlah itu. "Untuk kuda pacu makanannya harus lebih banyak protein untuk memperkuat kaki dan ototnya. Juga dia tidak boleh terlalu gemuk, agar larinya bisa kencang", kata Oetari. Berapa harga makanan seharinya untuk kuda-kuda tersebut? "Mengapa tanya harga segala?", kata Oetari sedikit tersinggung. "Kalkulasikan saja sendiri, misalnya untuk kuda tunggang. Seharinya dia harus diberi 3 kg dedak, 3 kg jagung dan « sampai 1 kg kacang ijo, gabah 2 - 3 kg, dilengkapi dengan vitamin dan garam". Perlu diketahui, untuk kuda macam gedongan ini, harus makan rumput tertentu yang belum bisa ditanam di Indonesia. Jadi harus impor. Juga makanan tambahan lainnya. Kata Oetari: "Selama ini kami impor sendiri-sendiri, dan tidak diselenggarakan oleh Pordasi. Karena setiap pemilik kuda kemauannya lain-lain". Harganya? "Saya keberatan kalau menyinggung soal uang. Kita bicara soal kuda saja". "Saya begitu gemarnya akan kuda, karena anak saya juga penggemar kuda". Anak tunggalnya, Puspa Utama, 21 tahun, begitu tamat SMP tak mau melanjutkan sekolah lagi. "Dia ingin memperdalam tentang kuda saja. Lantas kami kirim ke Jerman untuk lima tahun", tambah sang ibu. Kini, Puspa Utama berada di Sydney dan tempat-tempat lainnya di Australia, untuk turut balapan kuda, sekalian memperdalam pengetahuannya tentang kuda. Tambah nyonya Soehardjono lagi: "Dia bahkan pernah mengatakan kalau menikah nanti, dia ingin punya isteri yang seperti ibunya", kata Oetari. Lari Terus "Saya bertemu pak Soehardjono di lapangan", kata Oetari menyingkapkan selintas tentang pernikahannya. Asal dari Yogya, ketika mudanya, Soehardjono beberapa kali turut regu Yogya untuk PON. Pertama, atlit dari tolak peluru, kemudian turut regu anggar. Oetari sendiri juga gemar olahraga, terutama berenang. "Pokoknya, saya tidak mau kalau didesas-desuskan yang tidak-tidak", katanya lagi, ketika ditanyakan betulkah dia punya kuda di Argentina, di salah satu tempat di Texas AS atau di Australia. "Wah, semua itu, moga-moga saja nantinya terkabul, saya punya kuda di mana-mana". Tambahnya lagi: "Apa lagi didesas-desuskan mendapat komisi 40 juta dolar AS. Saya sampai ngelamun, kalau itu betul, apa saja ya yang akan saya beli?". Apa yang menjadi harapannya? "Hanya satu", katanya. "Agar Indonesia nanti memiliki kuda elit, yang bisa dijadikan standar Indonesia". Seekor dari beberapa kuda pacunya, bernama Cempaka, pernah memenangkan untuk kejuaraan Derby tahun kemarin, dan berhasil meraih Piala Peternak, untuk jarak 1400 m, waktu 1.38,3 menit. Mempunyai ayah dari Australia, Cempaka ini adalah salah satu kuda kebanggaan keluarga Soehardjono. Tambahnya lagi: "Saya ini cuma pegawainya anak saya. Setelah ada pengumuman bahwa ABRI dan keluarganya tidak boleh memiliki perusahaan apapun, Pamulang saya hibahkan pada anak saya". Diakuinya pula, bahwa memelihara dan beternak kuda tidaklah menghasilkan keuntungan uang. "Pemeliharaannya memerlukan ketekunan, dan tidak menguntungkan uang sama sekali. Jadi, kalau ingin memelihara kuda, paling sedikit anda harus memiliki sebuah Mercy".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus