Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengeritik Martabat Siapa ?

Berbagai kalangan mengeritik ketidak beresan lembaga peradilan. menimbulkan ketegangan para hakim. persoalan akan selesai bila pak domo turun tangan.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KELUHAN para pencari keadilan atas ketidakberesan tingkah-laku lembaga peradilan umumnya berikut para hakim mulai disuarakan. Tentu masih dalam rangka pungli dan opstibnya. Peradin (Persatuan Advokat Indonesia), setelah didengar keterangannya sekitar pengalamannya berhubungan dengan pengadilan oleh Ketua Opstib Pusat Sudomo, mengeluarkan unek-unek di hati para pengacara selama ini: "Lembaga peradilan dewasa ini kurang memancarkan kewibawaan." Faktanya? Jangan ditanya lagi bentuk dan jumlahnya, karena sudah terlalu banyak. Mulai dari soal tingkah laku hakim-hakimnya, administrasi kepaniteraan, sampai soal mahal dan lambannya berurusan dengan pengadilan -- semuanya semrawut. Opstib belum lagi menurunkan tangannya untuk meraba setiap sudut gedung pengadilan. Muncul pula kritik pedas ke alamat hakim lembaga peradilannya dari Banjarmasin. Yaitu dari sebuah pidato Dies Natalis Universitas Lambungmangkurat, yang dibacakan oleh Lektor FH Unlam Gt. Ibrahim Aman SH, 21 September lalu. "Ada satu hal yang sulit bagi pengadilan untuk melepaskan pengaruh kekuasaannya dari pengaruh 'duit'. Segala sesuatu berputar di sekitar uang .... " Begitu menurut Aman. Aman juga menyinggung ucapan-ucapan sinis dari orang yang pernah mengalami kesulitan di pengadilan: KUHP bukan berarti lagi yang sebenarnya, tapi jadi 'kasih-uang-habis perkara.' Bukti yang paling sederhana banyak diperoleh. Lihat saja keengganan masyarakat untuk menyelesaikan persoalan sipilnya melalui keputusan hakim. Bahkan soal yang penting, seperti perkara perceraian yang perlu diperoleh keputusan hakim dengan cepat, "baru dapat diselesaikan hingga tingkat kasasi dalam waktu 3 a 4 tahun." Dengan begitu Aman mengambil kesimpulan yang sudah kerap diperdengarkan: keadilan merupakan barang mewah. "Hanya orang-orang kaya saja yang dapat menikmati keadilan di Indonesia. Bagi rakyat kecil biarlah perkara dan ketidak-adi]an dipendam dalam hati saja, seraya mengeluh 'Tuhan Maha Mengetahui' " Melengkapi kritiknya, Aman tanda menyatakan: dengan contoh yang banyak dapat dikemukakan, seperti hakim yang bertingkah sebagai pemihak dalam mengadili, "menyebabkan wajah peradilan kita tidak secantik dan semulus dewi kean." Tukang Becakpun Tapi baik kritik Peradin dari Jakarta maupun Aman dari Unlam Banjarmasin, oleh si alamat kritik, ternyata dianggap tak mengena. IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) Kalimantan Selatan cepat menggeliat kena kritik Aman. Tiga hari setelah pidato dies ke XIX Unlam, IKAHl mengeluarkan pernyataan: kritik Aman itu merupakan "penilaian yang negatif terhadap para hakim dan lembaga peradilan . . . " Dan menurut organisasi hakim itu, penilaian begitu "sangat gegabah dan bersifat tidak edukatif, sehingga dapat merendahkan martabat/wibawa pengadilan dan hakim." Apakah setiap kritik - yang disertai fakta sekalipun -- berarti menyinggung martabat dan keagungan hakim? Entahlah. Tapi IKAHI Kalsel itu berdalih: yang boleh menilai tingkahlaku haklm hanyalah Mahkamah Agung atau induknya yang lain, Departemen Kehakiman. Itu sesuai juga dengan sikap Mahkamah Agung. Ketua MA, Prof. Oemar Seno Adji, yang tampak kesal mendengar bawahannya kena kritik. ".... jadi sekarang kami diawasi oleh advokat, begitu?" (TEMPO, 1 Oktober). Mengapa tidak? Siapa saja boleh mengumpat tingkahlaku hakim bila perlu. "Bahkan tukang becak sekalipun boleh mengeritik hakim dan lembaga pengadilan," kata advokat RO Tambunan (bukan anggota Peradin). Apa lagi jika penilaian itu datannya dari organisasi para pengacara, orang terdekat dengan pengadilan, yang anggotanya setiap hari duduk di setiap pojok pengadilan. Walaupun begitu, menurut Tambunan, tidak hanya sebagian hakim saja yang jelek. Banyak pengacara juga bertingkah tak adil. "Baik hanya menuruti maupun berinisiatif memberikan pungli kepada hakim." Seperti juga IKAHI Kalsel, IKAHI Pusat juga bertugas membersihkan wajah pengadilan dari kecaman pengacara. Jawabnya juga seragam: sikap mengeritik hakim & lembaga peradilan seperti Peradin itu "merendahkan martabat dan wibawa pengadilan." Hanya, dua pekan lalu, lewat forum MAHINDO (Majelis Hukum Indonesia) IKAHI berunding dengan Peradin membicarakan soal kritik itu. Suasananya nyaman. Sehabis makan malam di run-lah Sekretaris MAHINDO Harjono Tjitrosubollo SH, dengan tusuk gigi masih di mulut, 12 sarjana hukum mulai bicara. Pembicaraan tertutup. Tapi apa yang dibicarakan cukup bisa diduga. Peradin tentu tak hendak mencabut apa yang telah dilontarkannya sebagai kritik sehat terhadap hal yang menyangkut keentingan umum. IKAHI, tentu saja, ingin pernyataan lain para advokat agar tak terlalu mengusamkan wajah para anggotanya. Pernyataan bersama pun dicapai. Polemik advokat vs hakim diakui bersama, "telah mengganggu hubungan baik antara hakim dan advokat.... " Seraya mengharap hubungan berikutnya agar lebih luwes di antara keduanya. Peradin harus mengakui pernyataannya yang terdahulu "telah menyinggung martabat seluruh lembaga peradilan, hal mana sebenarnya tidak dimaksudkan oleh DPP Peradin." Lalu kritik yang dulu itu, dilontarkan oleh Soenarto Soerodibroto SH setelah berjumpa dengan Sudomo - apa maksudnya? Soenarto sendiri menjawab kepada TEMPO: "Seandainya IKAHI tidak salah tangkap maksud Peradin ketegangan ini tak perlu terjadi." Sebab wajah hakim dan pengadilan yang dikecam oleh Peradin, "bukan seluruh hakim dan pengadilan yang ada di Indonesia." Di beberapa tempat memang masih ada hakitll dan pengadilan yang sehat. Tapi, seperti juga diakui dalam pertemuan MAHINDO, memang ada "oknum-oknum' hakim yang tak beres. Hanya IKAHI ingin agar Peradin tak membuat penilaian yang menggebyah-uyah mengucalkan semua tampang, hakim dan pengadilannya. Tapi, kata Soenarto, "coba kalau yang bicara waktu itu Pak .oomo (ketua Opstib Pusat - Red) sendiri, barangkali tidak akan terjadi ketegangan."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus