KELUHAN para pencari keadilan atas ketidakberesan tingkah-laku
lembaga peradilan umumnya berikut para hakim mulai disuarakan.
Tentu masih dalam rangka pungli dan opstibnya. Peradin
(Persatuan Advokat Indonesia), setelah didengar keterangannya
sekitar pengalamannya berhubungan dengan pengadilan oleh Ketua
Opstib Pusat Sudomo, mengeluarkan unek-unek di hati para
pengacara selama ini: "Lembaga peradilan dewasa ini kurang
memancarkan kewibawaan." Faktanya? Jangan ditanya lagi bentuk
dan jumlahnya, karena sudah terlalu banyak. Mulai dari soal
tingkah laku hakim-hakimnya, administrasi kepaniteraan, sampai
soal mahal dan lambannya berurusan dengan pengadilan -- semuanya
semrawut.
Opstib belum lagi menurunkan tangannya untuk meraba setiap
sudut gedung pengadilan. Muncul pula kritik pedas ke alamat
hakim lembaga peradilannya dari Banjarmasin. Yaitu dari sebuah
pidato Dies Natalis Universitas Lambungmangkurat, yang dibacakan
oleh Lektor FH Unlam Gt. Ibrahim Aman SH, 21 September lalu.
"Ada satu hal yang sulit bagi pengadilan untuk melepaskan
pengaruh kekuasaannya dari pengaruh 'duit'. Segala sesuatu
berputar di sekitar uang .... " Begitu menurut Aman.
Aman juga menyinggung ucapan-ucapan sinis dari orang yang pernah
mengalami kesulitan di pengadilan: KUHP bukan berarti lagi yang
sebenarnya, tapi jadi 'kasih-uang-habis perkara.' Bukti yang
paling sederhana banyak diperoleh. Lihat saja keengganan
masyarakat untuk menyelesaikan persoalan sipilnya melalui
keputusan hakim. Bahkan soal yang penting, seperti perkara
perceraian yang perlu diperoleh keputusan hakim dengan cepat,
"baru dapat diselesaikan hingga tingkat kasasi dalam waktu 3 a 4
tahun."
Dengan begitu Aman mengambil kesimpulan yang sudah kerap
diperdengarkan: keadilan merupakan barang mewah. "Hanya
orang-orang kaya saja yang dapat menikmati keadilan di
Indonesia. Bagi rakyat kecil biarlah perkara dan ketidak-adi]an
dipendam dalam hati saja, seraya mengeluh 'Tuhan Maha
Mengetahui' " Melengkapi kritiknya, Aman tanda menyatakan:
dengan contoh yang banyak dapat dikemukakan, seperti hakim yang
bertingkah sebagai pemihak dalam mengadili, "menyebabkan wajah
peradilan kita tidak secantik dan semulus dewi kean."
Tukang Becakpun
Tapi baik kritik Peradin dari Jakarta maupun Aman dari Unlam
Banjarmasin, oleh si alamat kritik, ternyata dianggap tak
mengena. IKAHI (Ikatan Hakim Indonesia) Kalimantan Selatan cepat
menggeliat kena kritik Aman. Tiga hari setelah pidato dies ke
XIX Unlam, IKAHl mengeluarkan pernyataan: kritik Aman itu
merupakan "penilaian yang negatif terhadap para hakim dan
lembaga peradilan . . . " Dan menurut organisasi hakim itu,
penilaian begitu "sangat gegabah dan bersifat tidak edukatif,
sehingga dapat merendahkan martabat/wibawa pengadilan dan
hakim."
Apakah setiap kritik - yang disertai fakta sekalipun -- berarti
menyinggung martabat dan keagungan hakim? Entahlah. Tapi IKAHI
Kalsel itu berdalih: yang boleh menilai tingkahlaku haklm
hanyalah Mahkamah Agung atau induknya yang lain, Departemen
Kehakiman.
Itu sesuai juga dengan sikap Mahkamah Agung. Ketua MA, Prof.
Oemar Seno Adji, yang tampak kesal mendengar bawahannya kena
kritik. ".... jadi sekarang kami diawasi oleh advokat, begitu?"
(TEMPO, 1 Oktober). Mengapa tidak? Siapa saja boleh mengumpat
tingkahlaku hakim bila perlu. "Bahkan tukang becak sekalipun
boleh mengeritik hakim dan lembaga pengadilan," kata advokat RO
Tambunan (bukan anggota Peradin). Apa lagi jika penilaian itu
datannya dari organisasi para pengacara, orang terdekat dengan
pengadilan, yang anggotanya setiap hari duduk di setiap pojok
pengadilan. Walaupun begitu, menurut Tambunan, tidak hanya
sebagian hakim saja yang jelek. Banyak pengacara juga bertingkah
tak adil. "Baik hanya menuruti maupun berinisiatif memberikan
pungli kepada hakim."
Seperti juga IKAHI Kalsel, IKAHI Pusat juga bertugas
membersihkan wajah pengadilan dari kecaman pengacara. Jawabnya
juga seragam: sikap mengeritik hakim & lembaga peradilan seperti
Peradin itu "merendahkan martabat dan wibawa pengadilan."
Hanya, dua pekan lalu, lewat forum MAHINDO (Majelis Hukum
Indonesia) IKAHI berunding dengan Peradin membicarakan soal
kritik itu. Suasananya nyaman. Sehabis makan malam di run-lah
Sekretaris MAHINDO Harjono Tjitrosubollo SH, dengan tusuk gigi
masih di mulut, 12 sarjana hukum mulai bicara. Pembicaraan
tertutup. Tapi apa yang dibicarakan cukup bisa diduga. Peradin
tentu tak hendak mencabut apa yang telah dilontarkannya
sebagai kritik sehat terhadap hal yang menyangkut keentingan
umum. IKAHI, tentu saja, ingin pernyataan lain para advokat agar
tak terlalu mengusamkan wajah para anggotanya.
Pernyataan bersama pun dicapai. Polemik advokat vs hakim diakui
bersama, "telah mengganggu hubungan baik antara hakim dan
advokat.... " Seraya mengharap hubungan berikutnya agar lebih
luwes di antara keduanya. Peradin harus mengakui pernyataannya
yang terdahulu "telah menyinggung martabat seluruh lembaga
peradilan, hal mana sebenarnya tidak dimaksudkan oleh DPP
Peradin."
Lalu kritik yang dulu itu, dilontarkan oleh Soenarto
Soerodibroto SH setelah berjumpa dengan Sudomo - apa maksudnya?
Soenarto sendiri menjawab kepada TEMPO: "Seandainya IKAHI tidak
salah tangkap maksud Peradin ketegangan ini tak perlu terjadi."
Sebab wajah hakim dan pengadilan yang dikecam oleh Peradin,
"bukan seluruh hakim dan pengadilan yang ada di Indonesia." Di
beberapa tempat memang masih ada hakitll dan pengadilan yang
sehat. Tapi, seperti juga diakui dalam pertemuan MAHINDO, memang
ada "oknum-oknum' hakim yang tak beres. Hanya IKAHI ingin agar
Peradin tak membuat penilaian yang menggebyah-uyah mengucalkan
semua tampang, hakim dan pengadilannya. Tapi, kata Soenarto,
"coba kalau yang bicara waktu itu Pak .oomo (ketua Opstib Pusat
- Red) sendiri, barangkali tidak akan terjadi ketegangan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini