Tokoh perampok Slamet Gundul akan diadili dari kota ke kota. Bisakah hukumannya digabung? TERSANGKA perampok paling licin dalam dasawarsa terakhir ini, Slamet Gundul alias Supriyadi, 34 tahun, akhirnya pekan-pekan ini disidangkan di Pengadilan Negeri Bekasi. Reputasinya di dunia hitam cukup menakjubkan. Lebih dari delapan tahun, ia berhasil lolos dari sergapan polisi. Selama itu pula, bos garong yang dikenal sebagai spesialis perampok nasabah bank ini menggegerkan berbagai kota di seantero Jawa. Dalam catatan polisi, sedikitnya ia telah melakukan 55 kali perampokan. Polisi hampir kehabisan akal membekuk perampok yang satu ini. Sebab itu, pada 1989, Mabes Polri mengeluarkan perintah keras pada aparatnya: "Tangkap Slamet Gundul hidup atau mati." Lelaki bertato naga dan wanita di lengannya itu berkali-kali kepergok, tapi selalu lolos. Dua tahun lalu, bersama kawannya, Slamet dicegat tim reserse Polri, ketika mobil komplotan perampok itu hendak mengisi bensin di Klaten, Jawa Tengah. Tembakan polisi dilayani kawanan tersebut dengan tembakan balasan. Tembak-menembak di depan umum itu berakhir dengan tiga anggota komplotan Slamet terkapar disambar peluru. Tapi Slamet, yang terluka di kedua bahunya, masih sempat kabur dengan motor yang dirampasnya ketika itu juga (TEMPO, 15 Juli 1989). Toh sehebat-hebatnya penjahat ada batasnya. Pada Juni lalu, Slamet akhirnya tertangkap di kawasan Morokrembangan, Surabaya. Sejak itu, tempat penahanan Slamet dipindah-pindah mulai dari Surabaya, Semarang, sampai Jakarta. Sebab, di semua kota itu ia punya perkara. Di Jawa Tengah saja, misalnya, daftar dosa Slamet yang dibuat polisi cukup panjang. Awal 1989, kawanan Slamet berhasil menjarah duit Rp 159 juta. Uang itu ia rampok dari pedagang tembakau asal Kendal, dari juragan ikan asin, serta uang milik Universitas Islam Sultan Agung. Di samping itu, uang nasabah BCA cabang Peterongan, Semarang, kena sikat Rp 28,5 juta, dan karyawan PT Nyonya Meneer kena rampok Rp 34 juta. Sementara itu, di Jawa Timur, kejahatan yang dilakukan Slamet tergolong kecil, sebatas pencurian. Tapi yang bisa menyudutkan dia nanti di persidangan, menurut seorang sumber di Polda setempat kepada Kelik M. Nugroho dari TEMPO, adalah ditemukannya sebuah granat di tempat persembunyiannya di Surabaya. "Slamet bisa diancam undang-undang senjata api," kata sumber itu. Di wilayah Polda Metro Jaya, Slamet diketahui pernah mencuri pistol milik anggota polisi perairan, pada 1986. Saat mencuri tas dari dalam mobil Kijang di daerah Grogol, Jakarta Barat, Slamet juga menemukan pistol Colt 38 di dalam tas curian itu. Senjata-senjata itulah yang dipakai Slamet untuk merampok nasabah bank di berbagai tempat di Jakarta dan Bekasi. Belum lagi "utang" Slamet di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Pada 1987, ia dan dua orang temannya diadili di situ dan divonis masing-masing 3 tahun penjara. Tapi, ketika mereka digiring kembali ke mobil tahanan, Slamet mendorong petugas yang mengawalnya. Petugas ketika itu hanya berhasil menangkap seorang di antara mereka, sedangkan Slamet dan seorang temannya kabur dengan sepeda motor yang sudah menunggunya di luar halaman pengadilan. Kali ini Pengadilan Negeri Bekasi mendapat "kehormatan" pertama menyidangkan tokoh yang hampir melegenda itu. Jaksa Sabirin mendakwa Slamet dengan pasal perampokan (pasal 365 KUHP), yang mengancam terdakwa dengan hukuman maksimal 12 tahun penjara. Setelah dari Bekasi, kabarnya Slamet akan segera menjalani persidangan di berbagai pengadilan wilayah Jakarta. Setelah itu, Semarang, lantas Surabaya, dan tak tertutup kemungkinan di kota lainnya lagi. Karena itulah, lantas muncul suara-suara masyarakat: berapa tahun Slamet akan menerima ganjaran hukuman? Sebab, jika ia divonis dalam satu perkara saja, 10 tahun, total hukuman yang akan diterimanya dari berbagai pengadilan bisa mencapai 50 tahun lebih. Menurut Jaksa Sabirin, Slamet Gundul nanti harus menjalani total masa hukuman yang diputuskan semua pengadilan yang mengadilinya. "Eksekusinya dilakukan beruntun. Setelah satu hukuman selesai dijalani, langsung putusan pengadilan berikutnya dieksekusi," ujarnya. Pendapat Sabirin itu mengagetkan guru besar hukum pidana Fakultas Hukum UGM, Prof. Bambang Purnomo. "Kalau penggabungan hukuman bisa dilakukan, bisa saja Slamet kena hukuman 80 tahun. Tapi secara logika dan berdasarkan asas hukum kita, hal itu tak bisa diterima. Jangan sampai kita mengadili dengan hukuman gregetan," ujarnya. Ahli hukum pidana Universitas Diponegoro, Prof. Muladi, juga sependapat bahwa pengadilan tak bisa menghukum seseorang melebihi batas hukuman maksimum yang ditetapkan undang-undang hukum pidana. "Asas hukum pidana kita tak mengenal penggabungan atau penjumlahan putusan pengadilan, jika penggabungan itu dapat melebihi batas ancaman pidana dari pasal yang dituduhkan," katanya. Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi itu mengambil rujukan pasal 65 dan 66 KUHP. Berdasarkan pasal itu, jika setiap kejahatan Slamet Gundul diancam hukuman maksimal 12 tahun penjara, pengadilan tak boleh menghukum dia untuk semua kejahatan itu lebih dari 12 tahun penjara. Satu-satunya cara pengadilan menghukum lebih berat dari ancaman hukuman maksimal tersebut hanya menetapkan hukuman tambahan, dan besarnya tak boleh melebihi sepertiga dari ancaman hukuman maksimal. Artinya, bila sebuah pengadilan sudah memvonis Slamet 16 tahun penjara, pengadilan berikutnya tak boleh menjatuhkan hukuman apa pun. "Hakim berikutnya hanya boleh memvonis Slamet Gundul itu bersalah," katanya. Aries Margono, Bambang Sujatmoko (Jakarta), Heddy Lugito (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini