Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Semuanya karena allah

Di sela-sela persidangan di pn bekasi, tempo sempat mewawancarai slamet gundul,34. ia bercerita tentang serangkaian kegiatan perampokan yang di lakukan bersama komplotannya.

26 Oktober 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENAMPILAN Slamet Gundul, 34 tahun, memang terkesan keras. Wajahnya dingin. Bertubuh pendek kekar, dengan rambut lurus kaku, di lengan kanan anak Kampung Sukun, Malang, ini terlihat jelas tato dan bekas luka tembakan. Slamet Gundul mengaku nama aslinya Supriyadi. Nama Slamet, katanya, julukan dari teman-temannya karena dia sering luput dari beberapa kali peristiwa yang mengancam keselamatannya. Sedangkan nama Gundul melekat di belakang namanya sejak ia digunduli petugas dalam suatu razia KTP di Surabaya. Sebulan menjadi penjahat, Slamet, yang cuma lulus SMP itu, mengaku pernah mencoba berbagai usaha di jalan yang benar dari menjadi kuli pasar sampai pekerja bangunan. Toh perjalanan hidup akhirnya membawanya ke dunia hitam. Di sela-sela persidangannya di PN Bekasi, Slamet mengutarakan sebagian kiprahnya kepada wartawan TEMPO Bambang Sujatmoko. Hanya saja, sebagian masih disimpannya. "Saya takut nanti cerita saya mempengaruhi persidangan,' katanya. Berikut petikan wawancaranya: Bagaimana awalnya sampai Anda bisa menjadi penjahat? Dulu waktu zaman susah, saya pernah menjadi pelaut. Tapi tidak disetujui istri. Lalu saya bekerja di sebuah bengkel di Penggilingan, Jakarta. Di situ, saya berkenalan dengan kakak beradik Walidi dan Waluyo. Mereka suka mengajak saya bersenang-senang. Tak sedikit uang yang saya terima dari mereka. Saya merasa berutang budi. Diajak apa saja oleh mereka, saya mau saja. Akhirnya, saya berkomplot dengan mereka, merampok ke mana -mana. Pertama kali, kami merampok di Pulokambing (Jakarta) tahun 1987. Dengan keahlian dan keberanian saya mengendarai motor dalam setiap perampokan dan selalu berhasil. Wong namanya telanjur apa boleh buat. Waluyo saat ini meringkuk di LP Solo, sedangkan Walidi tewas saat adu tembak dengan polisi di Pandan Simping (Jawa Tengah). Selain kalian bertiga, siapa saja komplotan Anda yang lain? Kami bertiga menjadi intinya. Sekali perampokan, biasanya, dicari satu teman lagi. Kami memang tidak mau kebanyakan orang. Orang-orang menjuluki komplotan kami dengan sebutan "kelompok solo tiga". Walidi dan Waluyo itu memang asli dari Solo, lagi pula mereka sudah berkomplot sejak di sana dengan julukan "solo satu" dan "solo dua". Bagaimana setiap operasi direncanakan? Komplotan ini tidak ada yang mimpin. Setiap rencana, kami rembukan sama-sama. Kalau operasinya menyangkut nasabah bank, biasanya, saya yang rencanakan, karena saya banyak tahu. Mungkin karena saya sulit ditangkap, polisi menduga saya pemimpinnya. Bagaimana pembagian hasil rampokan? Saya, Walidi, dan Waluyo dapat bagian yang sama, sedang anggota lainnya saya tidak tahu. Walidi yang membagi. Kadang saya masih kekurangan uang juga. Soalnya, saya termasuk royal, suka membagi-bagikan uang kepada orang-orang yang saya kenal. Tapi, dari hasil merampok, saya sempat membeli mobil Honda Civic pada 1987. Sebelum Anda ditangkap, apakah pernah berniat berhenti dari merampok? Tidak. Soalnya, saya takut. Menurut peraturan preman (istilah dunia hitam di kalangan mereka -Red.), setiap anggota yang berkhianat harus dihukum mati. Itu sudah dibuktikan oleh kelompok "solo satu" ketika merampok di Jalan Kwini, Jakarta. Anda sering lolos dari sergapan polisi, apa ada ilmunya? Lolos yang pertama, ketika penyergapan di rumah saya di Pondok Kopi (Jakarta). Kalau tidak salah, ada 62 polisi yang mengepung. Anehnya, saya bisa lari tanpa cedera dan polisi tidak ada yang melihat. Lalu di Pandan Simping (Jawa Tengah). Saat itu saya bersama Bagio, Waluyo, dan Sugeng seusai merampok BCA di Yogya. Ketika mengisi bensin di Pandan Simping itu, kami disergap. Tangan dan kaki saya tertembak, tapi saya lari terus. Malah saya sempat terjatuh, dan pistol saya terlempar. Anehnya lagi, biar banyak polisi di sana, mereka tidak ada yang mengejar. Lalu saya masuk kampung, numpang ojek motor ke Solo. Sungguh, saya tidak punya ilmu apa-apa. Semuanya karena Allah. Saya punya prinsip, saya percaya kepada agama saya. Saya dilahirkan di lingkungan Islam. Waktu di LP Cipinang saya sempat belajar baca Al Quran, dan sering sembahyang malam. Sayangnya, keselamatan itu tidak menyadarkan saya. Mungkin iman saya kurang tebal. Moebanoe Moera

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus