Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menangkal Mega, Menyiasati UUD

Pasal 8 UUD 1945 akan diamendemen. Ada anggapan, upaya itu sekadar meletakkan landasan hukum sehingga tertutup peluang bagi Megawati untuk jadi orang nomor satu di Indonesia.

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERENTANAN fisik Abdurrahman Wahid telah lama jadi bahan spekulasi, bahkan sebelum kiai dari Ciganjur itu terpilih sebagai presiden pada 21 Oktober 1999. Ketika ia terserang flu ringan dua pekan lalu, yang merebak bukan sekadar rumor, tapi kewaspadaan politik. Soalnya, pihak-pihak tertentu khawatir, jangan-jangan presiden yang suka humor ini tak akan sanggup merampungkan tugasnya sampai lima tahun ke depan. Andaikata kekhawatiran itu jadi kenyataan—dengan kata lain presiden berhalangan tetap—menurut Pasal 8 UUD 1945, otomatis Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri menjadi presiden. Sampai di sini, gunjingan politik seputar sakit flu itu pun menjadi diskursus kenegaraan yang amat serius. Dan sebabnya tak lain karena sebagian kalangan di MPR, Fraksi Reformasi khususnya, kurang bisa menerima apabila posisi nomor satu itu diisi oleh Megawati. Sikap anti-Megawati ini tentu tidak tanpa alasan. Minimal seperti yang dikatakan Penasihat Fraksi Reformasi, A.M. Lutfi, bahwa performa Megawati selama menjadi wakil presiden masih kurang meyakinkan. "Dalam Sidang Umum MPR 1999, kami memang memilih Megawati sebagai wakil presiden, dengan anggapan jabatan itu cuma ban serep dan untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan. Tapi, kalau Mega harus jadi nomor satu, kami punya pemikiran sendiri," ujar Lutfi, anggota DPR dari Partai Amanat Nasional. Masalahnya sekarang, bagaimana mewujudkan aspirasi tersebut. Cara yang dibenarkan adalah melalui jalur hukum, yakni mengamendemen (mengubah) Pasal 8 UUD 1945. Kebetulan Badan Pekerja MPR sedang mempersiapkan amendemen UUD 1945 tahap kedua, untuk diajukan dalam sidang MPR, 18 Agustus 2000. Amendemen tahap pertama seperti diketahui sudah dilakukan pada Oktober 1999. Menurut Lutfi, Pasal 8 mesti diamendemen. Sehingga, bila Gus Dur berhalangan tetap, Mega tidak otomatis menjadi presiden. Usul amendemen dari Fraksi Reformasi pada intinya menjadikan kondisi sebaliknya dari ketentuan Pasal 8, yang menetapkan bahwa wakil presiden otomatis menjadi presiden bila jabatan itu lowong. Alasan lain yang membuat wakil presiden tak otomatis menjadi presiden, kata Lutfi, juga karena pemilihan Gus Dur sebagai presiden dan Megawati selaku wakil presiden tidak dilakukan sekaligus alias satu paket, melainkan terpisah. Bila pemilihan itu dilakukan secara berpasangan seperti yang berlaku di Amerika Serikat, wakil presiden otomatis menjadi presiden. Itulah yang terjadi pada wakil presiden Amerika, Lindon Johnson, manakala presiden John F. Kennedy dipastikan tewas tertembak. Fraksi Reformasi melengkapi usulnya dengan ketentuan bahwa wakil presiden bisa menjalankan fungsi presiden sampai MPR, yang kini bersidang setahun sekali, berhasil memilih presiden baru. Dalam proses pemilihan tersebut, sang wakil presiden berhak mencalonkan diri sebagai presiden. Lutfi pun menyatakan bahwa usul amendemen itu sudah menjadi tekad bulat kelompok Poros Tengah di MPR. Kelak, bila dilakukan voting di MPR atas usul itu, "Posisi kami akan kuat, seperti ketika dulu memenangkan Gus Dur sebagai presiden," ucap Lutfi. Bahkan, Golkar kabarnya akan mendukung amendemen versi Fraksi Reformasi itu. Padahal, pekan lalu, Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung telah melontarkan gagasan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kepresidenan. Dalam RUU itu, Pasal 8 yang menetapkan wakil presiden otomatis menjadi presiden tetap tercantum. Tapi RUU itu dikritik banyak pihak karena aturan tentang presiden seharusnya dimuat dalam undang-undang dasar (konstitusi), bukan dalam undang-undang. Akhirnya, RUU baru akan dibahas setelah amendemen UUD 1945 rampung. Bisa ditebak, amendemen versi Fraksi Reformasi itu ditentang keras oleh PDI Perjuangan. Menurut Firman Jaya Daeli dari partai yang diketuai Megawati itu, fraksinya di MPR akan menolak usaha mengamendemen Pasal 8. "Argumentasi untuk itu tidak kuat. Dari segi ilmu politik dan hukum tata negara, wakil presiden akan naik secara otomatis bila presiden berhalangan tetap," ujar Firman menegaskan. Lagi pula, Megawati punya legitimasi hukum karena MPR memilihnya untuk masa lima tahun. Praktek ketatanegaraan di negara-negara bersistem presidensiil juga seperti itu. Firman pun beranggapan bahwa amendemen itu lebih berunsur manuver politik sesaat, untuk menahan gerak maju Mega. "Pasal 8 berlaku untuk siapa pun wakil presidennya (termasuk bila wakil presiden kelak dari Fraksi Reformasi). Kebetulan saja sekarang Mega yang menjadi wakil presiden," tambah Firman. Bukan mustahil usul amendemen Fraksi Reformasi itu didasarkan pada kekhawatiran akan terulangnya pola Presiden Soeharto, yang langsung menunjuk wakilnya (B.J. Habibie) sebagai presiden tanpa konsultasi dengan MPR, 21 Mei 1998. Memang, dalam hal ini substansi masalahnya lebih pada cara pergantian yang diskenariokan oleh Soeharto, dengan memanggil Mahkamah Agung untuk mengambil sumpah Habibie, padahal upacara itu seharusnya dilakukan di DPR. Selain itu, tak bisa dimungkiri lagi, Habibie itu masih kroninya Soeharto. Ahli hukum tata negara Harun Alrasid berpendapat, ketentuan Pasal 8 sudah bagus. "Bila jabatan presiden lowong, siapa pun wakil presidennya, dialah yang menjadi presiden. Kenapa ketentuan itu mesti diutak-utik? Apalagi kalau sampai MPR mesti bersidang lagi untuk memilih presiden baru. Itu pemborosan," katanya menekankan. Kalaupun Pasal 8 mau diamendemen, menurut Harun, sebaiknya kondisi presiden berhalangan tetap yang perlu ditambahkan. Sementara sebelumnya cuma ada tiga kemungkinan berhalangan tetap, yakni mangkat, berhenti, atau tak dapat melakukan kewajibannya, kemungkinan keempat adalah diberhentikan oleh MPR karena dianggap melanggar haluan negara. Yang juga perlu ditambahkan, menurut Harun, adalah pasal baru tentang pejabat sementara yang menjalankan fungsi presiden bila presiden dan wakil presiden berhalangan tetap. Aturan tentang sistem pengisian jabatan itu harus diubah pula, sehingga pemilihan dua jabatan strategis itu bersifat satu paket dan sekaligus. Dengan demikian, calon presiden dan wakil presiden bisa dari kekuatan politik yang sama atau mempunyai pandangan politik yang sama. Agaknya, pembahasan DPR seputar amendemen Pasal 8 UUD 1945 akan seru dan alot. Mestinya, bukan cuma pasal itu yang disempurnakan, tapi juga pasal baru yang menjamin sistem check and balance. Kalau tidak, kekuasan presiden akan tetap sangat besar (executive heavy) dan terpusat, sehingga tak bisa dikontrol dan diimbangi oleh kekuasan lembaga negara lainnya, baik DPR maupun Mahkamah Agung. Happy Sulistyadi, Edy Budiyarso, Hani Pudjiarti, dan Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus