Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Di gurun,pilihan yang sulit

Campur tangan as dalam krisis teluk menyebabkan bush berada dalam posisi sulit. blokade ekonomi atau perang hanya akan menaikan harga minyak dan resesi. dukungan publik amerika akan merosot.

25 Agustus 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam krisis Teluk, ke mana Amerika melangkah, yang bakal dijumpainya tampaknya kesulitan. Perang atau kemacetan hanya membuahkan resesi. Maukah warga AS menanggungnya? AMERIKA bak judul sebuah film komedi: maju kena, mundur kena. Celakanya, dalam krisis Teluk ini yang dipertaruhkan bukan saraf ketawa, melainkan nyawa dan sejumlah kehancuran. Keputusan Presiden Bush memblokade Irak, kata bekas Menteri Luar Negeri AS Henry Kissinger, menyebabkan Amerika berada di titik yang tak bisa mundur. Keputusan itu menyebabkan popularitas Bush naik. Menurut pengumpulan pendapat harian New York Times, lebih dari 75% responden menyetujui sanksi ekonomi terhadap Irak. Dan lebih dari 65% menyetujui pengiriman pasukan ke Timur Tengah. Tapi untuk terus bertahan dan maju, yang dipertaruhkan Bush bukan hanya lebih dari 100.000 tentara. Melainkan anggaran 16 juta dolar sehari, dan bila perang meledak, dalam perhitungan seorang direktur lembaga studi internasional di AS, tak kurang dari semilyar dolar mesti dikeluarkan oleh Paman Sam. Presiden George Bush sendiri sebenarnya mengakui ancaman itu. Dalam pidato yang diucapkannya di Pentagon, kantor tempat keputusan-keputusan besar militer diambil, Rabu pekan lalu, ia mengaku krisis di Teluk akan mengancam sendi-sendi kehidupan Amerika. Tapi Amerika, kata Bush, tak punya pilihan. Sebagai negeri superkuat, Amerika tak bisa melihat undang-undang internasional diinjak-injak begitu saja oleh satu negara. Amerika hadir di Teluk untuk mempertahankan kedaulatan Arab Saudi, yang terancam oleh seorang diktator, dan sekaligus berupaya memulihkan kedaulatan pemerintah Kuwait yang telah dirobohkan. Tujuan itu, kata pemerintah Amerika lagi, akan dicapai oleh blokade ekonomi atas Irak. Perkiraan itu didasarkan pada filosofi strategi yang menyatakan suatu aksi defensif lama-lama punya kekuatan memaksa (dalam hal ini, memaksa Irak agar menyerah, mundur dari Kuwait). Repotnya, itu bukan perhitungan matematika yang hanya punya satu jawaban. Saddam Hussein, presiden Irak yang kini namanya kondang di seluruh dunia itu, boleh jadi memang merasa terkurung lalu angkat tangan. Tapi bukannya tak mungkin kehadiran kekuatan militer sebuah superkuat dipandang Saddam sebagai suatu provokasi. Dan tampaknya, yang terakhir inilah yang terjadi. Langkah-langkah Saddam berbaik-baik dengan Iran, lawan perangnya selama delapan tahun -- kemudian dilarangnya warga negeri-negeri Barat meninggalkan Kuwait dan Irak lebih dekat menuju jalan mengadu kekuatan senjata daripada mengibarkan bendera putih. Untuk keluar dari kemacetan itu, bisa saja Amerika, dengan segala peralatan perangnya yang ultramodern, mendahului memukul. Tapi konsekuensinya sungguh berat. Sebuah perang kimia besar untuk pertama kalinya akan terjadi. Bukan hanya mereka yang bertempur akan menanggung akibatnya, tapi juga kawasan sekitar pertempuran. Tak ada jaminan bahwa kedua belah pihak akan membatasi wilayah sebaran senjata kirnia hanya di medan laga. Dan Amerika akan memikul beban moril, sebab dialah yang memulai perang terbuka. Sebaliknya, andaikan saling memelototi saja yang terjadi, Amerika menanggung risiko besar juga. Moril tentaranya akan turun karena perintah perang yang tak kunjung turun. Kehadiran tentara AS tentu juga akan membuat suasana tak enak, bila berlama-lama, pada lingkungan sekitar. Selain, seperti sudah disebutkan, besarnya ongkos yang mesti ditanggung: US$ 16 juta sehari. Bagaimana mungkin ekonomi Amerika yang sedang amburadul bisa menanggung beban seberat itu? Harapannya, suatu resesi tak mungkin ditampik. Dan apa pun sebabnya, publik Amerika tampaknya tak akan lama mendukung kebijaksanaan yang mengakibatkan hidup mereka sengsara. Dan yang membuat langkah apa pun yang dibuat Amerika menjadi tak populer, karena perang atau kamacetan sama-sama mengakibatkan harga minyak naik. Bila perang pecah, jelas produksi di Teluk akan terganggu. Bila blokade saja yang terjadi, setidaknya dari Irak dan Kuwait tak mengalir minyak. Memang, kekurangan kebutuhan konsumen bisa ditutup dengan menaikkan kuota tiap negara dalam OPEC. Hingga jumlah produksi terjaga. Tapi hal ini tentu tak akan dibiarkan oleh Saddam Hussein. Dengan segala cara, antara lain menyabot ladang minyak Arab Saudi, produsen terbesar, produksi minyak akan tetap berkurang. Dan langkah Saddam ini pun bisa meledakkan perang. Tampaknya, kebijaksanaan Bush masih didasarkan seperti ketika perang dingin masih hangat. Ketika itu, kata Ted Galen Carpenter, direktur lembaga studi internasional di AS, di harian Inlernational Herald Tribune, semua agresi yang muncul memang bisa ditebak didukung oleh Uni Soviet. Mau tak mau, AS, ketika itu, sebagai superkuat di pihak Barat, mesti turun tangan. Dan biasanya ini akan mendapat dukungan dari negara-negara Barat. Yang terjadi kini, setidaknya dukungan terhadap AS adalah dengan reserve. Prancis, misalnya, dalam perkara memulangkan warganya dari Irak dan Kuwait, awal pekan ini, dikabarkan mencoba berusaha sendiri, lepas dari Amerika. Bahkan sementara Bush menyebut warga asing di Irak dan Kuwait sebagai "sandera", Presiden Mitterrand tak menggunakan kata "sandera" itu. Amerika rupanya terjebak permainan Saddam Hussein: tergesa-gesa melakukan aksi. Mungkin turun tangannya PBB (bila ini tak dianggap terlambat) bisa membantu. ADN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus